Situasi saat ini seakan tak menentu keadaanya. Semua terjadi begitu cepat. lautan pasang mata manusia sedang menanti kehadiran calon pemimpin yang akan menyelamatkan bangsa yang akan di tentukan lewat Pemilu Tahun 2024. Rasanya, sudah 78 Tahun indonesia merdeka. Namun, merdeka yang diucapkan bahkan selalu dinyanyikan pada hari-hari peringatan besar menjelma menjadi "Simbol Merdeka Tak Bertuan". Begitu dilematisnya apabila kita melihat realitas bangsa ini yang kehancuranya terjadi berangsur-angsur. Janji-janji politik menjelang 2024 seakan hanya ucapan janji manis belaka. Tak bisa dipungkiri menjelang perhelatan pemilu khususnya pemilihan presiden tahun 2024 hampir sebagian kader dari partai politik semakin terjebak dalam jeratan politik identitas. Fenomena ini merupakan cerminan dari polarisasi politik yang semakin meningkat dan kecenderungan para politisi untuk memanfaatkan identitas kelompok sebagai strategi untuk memperoleh dukungan politik dan memenangkan pemilu. Politik identitas telah menjadi alat yang kuat dalam perebutan kekuasaan politik di Indonesia. Politisi cenderung mengambil jalan pintas dengan memobilisasi massa berdasarkan identitas kelompok, seperti agama, suku, atau kebangsaan. Mereka memanfaatkan isu-isu yang sensitif secara identitas untuk menciptakan ikatan emosional dengan para pendukung mereka. Berkenaan dengan hal itu, Menurut Stuart Hall, politik identitas melibatkan upaya untuk membentuk dan mempertahankan identitas kelompok tertentu dalam konteks perjuangan politik. (dalam Nego, 2020).
Pandangan Stuart Hall tersebut merupakan penekanan atas
pentingnya mengakui dan memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang
merasa terpinggirkan atau kurang diakui, serta memberikan wadah bagi mereka
untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mendorong perubahan sosial dan politik
yang lebih inklusif dan adil. Saat ini, Polarisasi politik semakin mengeras,
dengan terbentuknya kubu-kubu politik yang saling bertentangan. Partai-partai
politik terfragmentasi, lebih fokus pada kepentingan kelompok mereka sendiri
daripada membangun koalisi berdasarkan ideologi atau tujuan yang sama. Politisi
berusaha memanfaatkan politik identitas untuk menciptakan pemisahan yang lebih
jauh dalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial juga
berperan penting dalam menguatkan politik identitas. Pesan-pesan politik yang
berbasis identitas dapat dengan mudah menyebar melalui platform media sosial,
mempengaruhi pandangan dan perilaku politik masyarakat. Isu-isu yang berkaitan
dengan identitas seringkali menjadi topik yang paling banyak dibahas dan
menjadi bahan perdebatan sengit di ruang publik daring.
Pada tahun 2024, perhelatan pemilihan presiden di Indonesia
akan menjadi ajang pertarungan antara tiga figur calon yang mencerminkan
politik identitas yang menarik perhatian publik. Pertama, ada Ganjar Pranowo,
seorang kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Konsep politik
identitas yang dibangun oleh Ganjar Pranowo telah berhasil menarik perhatian
pendukungnya. Salah satu identitas yang sering kali terlihat adalah sikapnya
yang relatif lemah lembut dan penuh empati. Dalam beberapa waktu terakhir,
Ganjar Pranowo terlihat aktif melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok
Islam, terutama dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Langkah ini dilakukan
dengan tujuan untuk membangun citra politik yang positif dan menarik simpati
pemilih dari kalangan tersebut. Pendekatan ini memperlihatkan kemampuan Ganjar
Pranowo dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai kelompok
masyarakat, termasuk kelompok agama, sebagai bagian dari strategi politik
identitas yang dijalankannya.
Kedua, adalah
Anies Baswedan, yang merupakan usungan dari Partai Nasional Demokrat
(Nasdem). Pendekatan politik identitas yang digunakan oleh Anies Baswedan
terlihat lebih sederhana namun tetap menarik perhatian. Salah satu hal yang
terlihat jelas adalah aktivitasnya yang seringkali terekspos
di media sosial. Melalui media sosial, Anies Baswedan berusaha membangun kesan
positif dan menciptakan iklim yang memancing respons positif dari publik.
Selain itu, Anies Baswedan juga sering melakukan safari politik, yaitu
kunjungan ke berbagai tokoh agama dan kelompok-kelompok Islam. Langkah ini
bertujuan untuk memperkuat dukungan dan membangun hubungan yang erat dengan
pemuka agama serta kelompok-kelompok Islam. Hal ini menunjukkan kepekaan Anies
Baswedan terhadap kebutuhan akan representasi dan aspirasi dari
kelompok-kelompok identitas tersebut.
Ketiga, prabowo Subianto,
sebagai figur politik yang telah lama aktif di panggung politik Indonesia, juga
memiliki peran dalam konteks politik identitas dalam pemilihan presiden tahun
2024. Prabowo Subianto sebelumnya pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden
pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam konteks politik identitas, Prabowo
Subianto telah membangun citra politik yang mengandalkan identitas nasionalisme
dan kekuatan militer. Sebagai seorang mantan perwira militer dan menantu dari
Presiden Soeharto, Prabowo memperkuat identitasnya sebagai sosok yang kuat,
patriotik, dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional. Dalam
kampanye nya, Prabowo Subianto sering kali menyoroti isu-isu kebangsaan dan
keadilan sosial. Ia berupaya menggugah rasa kebanggaan nasional dan menekankan
pentingnya menjaga kedaulatan negara. Dalam hal ini, Prabowo Subianto
seringkali mengaitkan identitasnya dengan nilai-nilai keberanian, keadilan, dan
kepemimpinan yang kuat.
Selain itu, Prabowo Subianto juga menjalin hubungan dengan
berbagai kelompok identitas, termasuk kelompok militer, para veteran, dan
kelompok masyarakat adat. Pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat basis
dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan kelompok-kelompok identitas
tersebut. Namun, dalam konteks politik identitas, penting juga untuk mengakui
bahwa Prabowo Subianto juga menghadapi tantangan dan kritik terkait rekam
jejaknya di masa lalu. Isu-isu seperti pelanggaran hak asasi manusia dan
keterlibatannya dalam konflik politik di masa lalu menjadi sorotan yang perlu
diperhatikan dalam analisis politik identitas Prabowo Subianto. Dalam
menjalankan politik identitasnya, Prabowo Subianto juga menggunakan media
sosial sebagai alat untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan politiknya
kepada publik. Melalui media sosial, ia berusaha untuk membangun citra yang
kuat, menjangkau pendukung potensial, dan mempengaruhi opini publik.
Dalam konteks perubahan sistem perpolitikan pasca Orde Baru
menuju sistem politik demokrasi di Indonesia, konsep politik identitas
memainkan peran yang signifikan. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan.
Alhadar at.,al (2020) menyatakan Secara konstitusi kader setiap
partai politik memiliki hak berupa;
(1) Kebebasan Berekspresi.
Kebebasan berekspresi adalah salah
satu konsep penting dalam politik identitas partai politik saat ini di
Indonesia. Partai politik memiliki peran penting dalam mewakili aspirasi dan
kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda, termasuk kelompok yang beridentitas
berdasarkan agama, etnis, gender, dan daerah. Partai politik memiliki kebebasan
untuk menyuarakan dan mengartikulasikan pandangan politik mereka, termasuk
dalam hal politik identitas. Mereka dapat mengangkat isu-isu yang berkaitan
dengan identitas kelompok yang mereka wakili, baik dalam platform politik
mereka maupun melalui aktivitas kampanye. Dalam konteks politik identitas,
kebebasan berekspresi memungkinkan partai politik untuk mengadvokasi hak-hak
kelompok minoritas, memperjuangkan pengakuan dan kesetaraan, serta melawan
diskriminasi dan ketidakadilan yang mungkin dialami oleh kelompok tersebut.
Partai politik juga dapat menyampaikan aspirasi kelompok agama, etnis, atau
daerah tertentu, serta menjaga kepentingan mereka dalam proses pembuatan
kebijakan.
(2) Berasosiasi:
Berasosiasi merujuk pada kemampuan
individu atau kelompok untuk bergabung atau terhubung dengan organisasi,
gerakan, atau komunitas yang berbagi identitas atau tujuan politik yang sama.
Asosiasi ini dapat dilakukan secara formal melalui keanggotaan dalam partai
politik, kelompok advokasi, atau organisasi berbasis identitas. Hal ini juga
dapat terjadi secara informal melalui keterlibatan dalam komunitas online,
kelompok diskusi, atau aksi kolektif. Berasosiasi dalam politik identitas
sering dianggap penting karena melalui asosiasi, individu dan kelompok dapat
memperkuat dan memperluas pengaruh mereka dalam mendorong perubahan politik
yang berkaitan dengan identitas mereka. Mereka dapat memperjuangkan kepentingan
dan hak-hak kelompok mereka dengan cara yang lebih terorganisir dan
terkoordinasi. Asosiasi dalam politik identitas juga memberikan ruang bagi
individu dan kelompok untuk berbagi pengalaman, mendiskusikan isu-isu yang
relevan, memperoleh dukungan, dan membangun solidaritas dengan orang-orang yang
memiliki identitas serupa. Ini membantu memperkuat identitas kolektif dan
memobilisasi dukungan dalam upaya mencapai tujuan politik yang lebih
luas.Kebebasan Membentuk Partai Politik:
Disisi lain, Alfaqi (2016) dan Dhani (2019) berkesimpulan
yang sama bahwa politik identitas adalah alat perjuangan yang digunakan oleh
kelompok-kelompok untuk memperjuangkan keinginan dan kepentingan mereka.
Fenomena politik identitas sering muncul dalam konteks ketidakadilan atau
konflik antara kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik, etnis,
atau suku. Untuk itu, politik identitas mencerminkan upaya kelompok-kelompok
yang merasa terpinggirkan atau kurang diakui untuk mengorganisir diri,
menyuarakan aspirasi mereka, dan memperjuangkan perubahan sosial dan politik.
Ketika kelompok-kelompok ini menghadapi ketidakadilan atau merasa adanya
kesenjangan dalam perlakuan, mereka cenderung menggunakan identitas mereka
sebagai landasan perjuangan. Kemudian, kelompok-kelompok ini juga didasarkan
pada kesamaan dalam hal karakteristik etnis, agama, kesukuan, atau latar
belakang sosial. Mereka merasa bahwa identitas tersebut menjadi dasar
solidaritas dan persatuan dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan
memobilisasi identitas ini, kelompok-kelompok tersebut berharap dapat
memperoleh pengakuan, perlindungan, dan kesetaraan dalam konteks politik.
Dengan demikian, Dalam persiapan Pemilihan Presiden tahun
2024 di Indonesia, politik identitas menjadi faktor penting yang mempengaruhi
strategi para calon presiden. Ganjar Pranowo dari PDIP memanfaatkan pendekatan
politik identitas dengan fokus pada sikap lemah lembut dan empati, serta
melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama NU. Anies
Baswedan dari Nasdem juga menggunakan politik identitas dengan memanfaatkan
media sosial dan sering melakukan safari politik ke tokoh agama dan kelompok
Islam. Prabowo Subianto, yang memiliki rekam jejak politik yang panjang,
membangun citra politik yang didasarkan pada nasionalisme dan kekuatan militer,
serta menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok identitas seperti militer,
veteran, dan masyarakat adat. Para calon ini menggunakan politik identitas
sebagai alat untuk menarik dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan
kelompok-kelompok identitas yang menjadi basis dukungan potensial. Namun, penting
untuk menyadari tantangan dan kritik yang mereka hadapi terkait dengan rekam
jejak politik dan isu-isu kontroversial dalam penggunaan politik identitas.
Daftar Pustaka:
Alfaqi, M. Z. (2016).
Memahami Indonesia Melalui Perspektif Nasionalisme,
Politik Identitas, Serta Solidaritas. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 28(2).
Dhani, F. W. (2019).
Komunikasi Politik Berbasis Politik Identitas Dalam Kampanye Pilkada.
Metacommunication; Journal Of Communication Studies, 4(1), 143-157.
Alhadar, S., Adjie, Z.,
& Hasan, K. K. (2022). POLITIK IDENTITAS:(POLA KOMUNIKASI POLITIK TIM
ELNINO CENTER PADA PERHELATAN PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019). Jambura Journal
Civic Education, 2(2), 188-199.
Nego, O. (2020). Teologi
Multikultural Sebagai Respon Terhadap Meningkatnya Eskalasi Politik Identitas
Di Indonesia. PASCA: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 16(2),
121-139.
No comments:
Post a Comment