Monday 23 October 2023

Kisruh Menjelang Pemilu: Merdeka Yang Tidak Bertuan?

 

Yayan Sahi
Mahasiswa S2 Prodi PPKn UNG

Situasi saat ini seakan tak menentu keadaanya. Semua terjadi begitu cepat. lautan pasang mata manusia sedang menanti kehadiran calon pemimpin yang akan menyelamatkan bangsa yang akan di tentukan lewat Pemilu Tahun 2024. Rasanya, sudah 78 Tahun indonesia merdeka. Namun, merdeka yang diucapkan bahkan selalu dinyanyikan pada hari-hari peringatan besar menjelma menjadi "Simbol Merdeka Tak Bertuan". Begitu dilematisnya apabila kita melihat realitas bangsa ini yang kehancuranya terjadi berangsur-angsur. Janji-janji politik menjelang 2024 seakan hanya ucapan janji manis belaka. Tak bisa dipungkiri menjelang perhelatan pemilu khususnya pemilihan presiden tahun 2024 hampir sebagian kader dari partai politik semakin terjebak dalam jeratan politik identitas. Fenomena ini merupakan cerminan dari polarisasi politik yang semakin meningkat dan kecenderungan para politisi untuk memanfaatkan identitas kelompok sebagai strategi untuk memperoleh dukungan politik dan memenangkan pemilu. Politik identitas telah menjadi alat yang kuat dalam perebutan kekuasaan politik di Indonesia. Politisi cenderung mengambil jalan pintas dengan memobilisasi massa berdasarkan identitas kelompok, seperti agama, suku, atau kebangsaan. Mereka memanfaatkan isu-isu yang sensitif secara identitas untuk menciptakan ikatan emosional dengan para pendukung mereka. Berkenaan dengan hal itu, Menurut Stuart Hall, politik identitas melibatkan upaya untuk membentuk dan mempertahankan identitas kelompok tertentu dalam konteks perjuangan politik. (dalam Nego, 2020).

Pandangan Stuart Hall tersebut merupakan penekanan atas pentingnya mengakui dan memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau kurang diakui, serta memberikan wadah bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mendorong perubahan sosial dan politik yang lebih inklusif dan adil. Saat ini, Polarisasi politik semakin mengeras, dengan terbentuknya kubu-kubu politik yang saling bertentangan. Partai-partai politik terfragmentasi, lebih fokus pada kepentingan kelompok mereka sendiri daripada membangun koalisi berdasarkan ideologi atau tujuan yang sama. Politisi berusaha memanfaatkan politik identitas untuk menciptakan pemisahan yang lebih jauh dalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial juga berperan penting dalam menguatkan politik identitas. Pesan-pesan politik yang berbasis identitas dapat dengan mudah menyebar melalui platform media sosial, mempengaruhi pandangan dan perilaku politik masyarakat. Isu-isu yang berkaitan dengan identitas seringkali menjadi topik yang paling banyak dibahas dan menjadi bahan perdebatan sengit di ruang publik daring.

Pada tahun 2024, perhelatan pemilihan presiden di Indonesia akan menjadi ajang pertarungan antara tiga figur calon yang mencerminkan politik identitas yang menarik perhatian publik. Pertama, ada Ganjar Pranowo, seorang kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Konsep politik identitas yang dibangun oleh Ganjar Pranowo telah berhasil menarik perhatian pendukungnya. Salah satu identitas yang sering kali terlihat adalah sikapnya yang relatif lemah lembut dan penuh empati. Dalam beberapa waktu terakhir, Ganjar Pranowo terlihat aktif melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk membangun citra politik yang positif dan menarik simpati pemilih dari kalangan tersebut. Pendekatan ini memperlihatkan kemampuan Ganjar Pranowo dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok agama, sebagai bagian dari strategi politik identitas yang dijalankannya.

Kedua, adalah Anies Baswedan, yang merupakan usungan dari  Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Pendekatan politik identitas yang digunakan oleh Anies Baswedan terlihat lebih sederhana namun tetap menarik perhatian. Salah satu hal yang terlihat jelas adalah aktivitasnya yang seringkali terekspos di media sosial. Melalui media sosial, Anies Baswedan berusaha membangun kesan positif dan menciptakan iklim yang memancing respons positif dari publik. Selain itu, Anies Baswedan juga sering melakukan safari politik, yaitu kunjungan ke berbagai tokoh agama dan kelompok-kelompok Islam. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat dukungan dan membangun hubungan yang erat dengan pemuka agama serta kelompok-kelompok Islam. Hal ini menunjukkan kepekaan Anies Baswedan terhadap kebutuhan akan representasi dan aspirasi dari kelompok-kelompok identitas tersebut.

Ketiga, prabowo Subianto, sebagai figur politik yang telah lama aktif di panggung politik Indonesia, juga memiliki peran dalam konteks politik identitas dalam pemilihan presiden tahun 2024. Prabowo Subianto sebelumnya pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam konteks politik identitas, Prabowo Subianto telah membangun citra politik yang mengandalkan identitas nasionalisme dan kekuatan militer. Sebagai seorang mantan perwira militer dan menantu dari Presiden Soeharto, Prabowo memperkuat identitasnya sebagai sosok yang kuat, patriotik, dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional. Dalam kampanye nya, Prabowo Subianto sering kali menyoroti isu-isu kebangsaan dan keadilan sosial. Ia berupaya menggugah rasa kebanggaan nasional dan menekankan pentingnya menjaga kedaulatan negara. Dalam hal ini, Prabowo Subianto seringkali mengaitkan identitasnya dengan nilai-nilai keberanian, keadilan, dan kepemimpinan yang kuat.

Selain itu, Prabowo Subianto juga menjalin hubungan dengan berbagai kelompok identitas, termasuk kelompok militer, para veteran, dan kelompok masyarakat adat. Pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat basis dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan kelompok-kelompok identitas tersebut. Namun, dalam konteks politik identitas, penting juga untuk mengakui bahwa Prabowo Subianto juga menghadapi tantangan dan kritik terkait rekam jejaknya di masa lalu. Isu-isu seperti pelanggaran hak asasi manusia dan keterlibatannya dalam konflik politik di masa lalu menjadi sorotan yang perlu diperhatikan dalam analisis politik identitas Prabowo Subianto. Dalam menjalankan politik identitasnya, Prabowo Subianto juga menggunakan media sosial sebagai alat untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan politiknya kepada publik. Melalui media sosial, ia berusaha untuk membangun citra yang kuat, menjangkau pendukung potensial, dan mempengaruhi opini publik.

Dalam konteks perubahan sistem perpolitikan pasca Orde Baru menuju sistem politik demokrasi di Indonesia, konsep politik identitas memainkan peran yang signifikan. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Alhadar  at.,al (2020) menyatakan Secara konstitusi kader setiap partai politik memiliki hak berupa;

(1)  Kebebasan Berekspresi.

Kebebasan berekspresi adalah salah satu konsep penting dalam politik identitas partai politik saat ini di Indonesia. Partai politik memiliki peran penting dalam mewakili aspirasi dan kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda, termasuk kelompok yang beridentitas berdasarkan agama, etnis, gender, dan daerah. Partai politik memiliki kebebasan untuk menyuarakan dan mengartikulasikan pandangan politik mereka, termasuk dalam hal politik identitas. Mereka dapat mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan identitas kelompok yang mereka wakili, baik dalam platform politik mereka maupun melalui aktivitas kampanye. Dalam konteks politik identitas, kebebasan berekspresi memungkinkan partai politik untuk mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas, memperjuangkan pengakuan dan kesetaraan, serta melawan diskriminasi dan ketidakadilan yang mungkin dialami oleh kelompok tersebut. Partai politik juga dapat menyampaikan aspirasi kelompok agama, etnis, atau daerah tertentu, serta menjaga kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan.

(2)  Berasosiasi:

Berasosiasi merujuk pada kemampuan individu atau kelompok untuk bergabung atau terhubung dengan organisasi, gerakan, atau komunitas yang berbagi identitas atau tujuan politik yang sama. Asosiasi ini dapat dilakukan secara formal melalui keanggotaan dalam partai politik, kelompok advokasi, atau organisasi berbasis identitas. Hal ini juga dapat terjadi secara informal melalui keterlibatan dalam komunitas online, kelompok diskusi, atau aksi kolektif. Berasosiasi dalam politik identitas sering dianggap penting karena melalui asosiasi, individu dan kelompok dapat memperkuat dan memperluas pengaruh mereka dalam mendorong perubahan politik yang berkaitan dengan identitas mereka. Mereka dapat memperjuangkan kepentingan dan hak-hak kelompok mereka dengan cara yang lebih terorganisir dan terkoordinasi. Asosiasi dalam politik identitas juga memberikan ruang bagi individu dan kelompok untuk berbagi pengalaman, mendiskusikan isu-isu yang relevan, memperoleh dukungan, dan membangun solidaritas dengan orang-orang yang memiliki identitas serupa. Ini membantu memperkuat identitas kolektif dan memobilisasi dukungan dalam upaya mencapai tujuan politik yang lebih luas.Kebebasan Membentuk Partai Politik:

Disisi lain, Alfaqi (2016) dan Dhani (2019) berkesimpulan yang sama bahwa politik identitas adalah alat perjuangan yang digunakan oleh kelompok-kelompok untuk memperjuangkan keinginan dan kepentingan mereka. Fenomena politik identitas sering muncul dalam konteks ketidakadilan atau konflik antara kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik, etnis, atau suku. Untuk itu, politik identitas mencerminkan upaya kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau kurang diakui untuk mengorganisir diri, menyuarakan aspirasi mereka, dan memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Ketika kelompok-kelompok ini menghadapi ketidakadilan atau merasa adanya kesenjangan dalam perlakuan, mereka cenderung menggunakan identitas mereka sebagai landasan perjuangan. Kemudian, kelompok-kelompok ini juga didasarkan pada kesamaan dalam hal karakteristik etnis, agama, kesukuan, atau latar belakang sosial. Mereka merasa bahwa identitas tersebut menjadi dasar solidaritas dan persatuan dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan memobilisasi identitas ini, kelompok-kelompok tersebut berharap dapat memperoleh pengakuan, perlindungan, dan kesetaraan dalam konteks politik.

Dengan demikian, Dalam persiapan Pemilihan Presiden tahun 2024 di Indonesia, politik identitas menjadi faktor penting yang mempengaruhi strategi para calon presiden. Ganjar Pranowo dari PDIP memanfaatkan pendekatan politik identitas dengan fokus pada sikap lemah lembut dan empati, serta melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama NU. Anies Baswedan dari Nasdem juga menggunakan politik identitas dengan memanfaatkan media sosial dan sering melakukan safari politik ke tokoh agama dan kelompok Islam. Prabowo Subianto, yang memiliki rekam jejak politik yang panjang, membangun citra politik yang didasarkan pada nasionalisme dan kekuatan militer, serta menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok identitas seperti militer, veteran, dan masyarakat adat. Para calon ini menggunakan politik identitas sebagai alat untuk menarik dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan kelompok-kelompok identitas yang menjadi basis dukungan potensial. Namun, penting untuk menyadari tantangan dan kritik yang mereka hadapi terkait dengan rekam jejak politik dan isu-isu kontroversial dalam penggunaan politik identitas.

Daftar Pustaka:

Alfaqi, M. Z. (2016). Memahami Indonesia Melalui Perspektif Nasionalisme, Politik Identitas, Serta Solidaritas. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(2).

Dhani, F. W. (2019). Komunikasi Politik Berbasis Politik Identitas Dalam Kampanye Pilkada. Metacommunication; Journal Of Communication Studies, 4(1), 143-157.

Alhadar, S., Adjie, Z., & Hasan, K. K. (2022). POLITIK IDENTITAS:(POLA KOMUNIKASI POLITIK TIM ELNINO CENTER PADA PERHELATAN PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019). Jambura Journal Civic Education, 2(2), 188-199.

Nego, O. (2020). Teologi Multikultural Sebagai Respon Terhadap Meningkatnya Eskalasi Politik Identitas Di Indonesia. PASCA: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 16(2), 121-139.

 


No comments: