Monday 23 October 2023

Kisruh Menjelang Pemilu: Merdeka Yang Tidak Bertuan?

 

Yayan Sahi
Mahasiswa S2 Prodi PPKn UNG

Situasi saat ini seakan tak menentu keadaanya. Semua terjadi begitu cepat. lautan pasang mata manusia sedang menanti kehadiran calon pemimpin yang akan menyelamatkan bangsa yang akan di tentukan lewat Pemilu Tahun 2024. Rasanya, sudah 78 Tahun indonesia merdeka. Namun, merdeka yang diucapkan bahkan selalu dinyanyikan pada hari-hari peringatan besar menjelma menjadi "Simbol Merdeka Tak Bertuan". Begitu dilematisnya apabila kita melihat realitas bangsa ini yang kehancuranya terjadi berangsur-angsur. Janji-janji politik menjelang 2024 seakan hanya ucapan janji manis belaka. Tak bisa dipungkiri menjelang perhelatan pemilu khususnya pemilihan presiden tahun 2024 hampir sebagian kader dari partai politik semakin terjebak dalam jeratan politik identitas. Fenomena ini merupakan cerminan dari polarisasi politik yang semakin meningkat dan kecenderungan para politisi untuk memanfaatkan identitas kelompok sebagai strategi untuk memperoleh dukungan politik dan memenangkan pemilu. Politik identitas telah menjadi alat yang kuat dalam perebutan kekuasaan politik di Indonesia. Politisi cenderung mengambil jalan pintas dengan memobilisasi massa berdasarkan identitas kelompok, seperti agama, suku, atau kebangsaan. Mereka memanfaatkan isu-isu yang sensitif secara identitas untuk menciptakan ikatan emosional dengan para pendukung mereka. Berkenaan dengan hal itu, Menurut Stuart Hall, politik identitas melibatkan upaya untuk membentuk dan mempertahankan identitas kelompok tertentu dalam konteks perjuangan politik. (dalam Nego, 2020).

Pandangan Stuart Hall tersebut merupakan penekanan atas pentingnya mengakui dan memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau kurang diakui, serta memberikan wadah bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi mereka dan mendorong perubahan sosial dan politik yang lebih inklusif dan adil. Saat ini, Polarisasi politik semakin mengeras, dengan terbentuknya kubu-kubu politik yang saling bertentangan. Partai-partai politik terfragmentasi, lebih fokus pada kepentingan kelompok mereka sendiri daripada membangun koalisi berdasarkan ideologi atau tujuan yang sama. Politisi berusaha memanfaatkan politik identitas untuk menciptakan pemisahan yang lebih jauh dalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial juga berperan penting dalam menguatkan politik identitas. Pesan-pesan politik yang berbasis identitas dapat dengan mudah menyebar melalui platform media sosial, mempengaruhi pandangan dan perilaku politik masyarakat. Isu-isu yang berkaitan dengan identitas seringkali menjadi topik yang paling banyak dibahas dan menjadi bahan perdebatan sengit di ruang publik daring.

Pada tahun 2024, perhelatan pemilihan presiden di Indonesia akan menjadi ajang pertarungan antara tiga figur calon yang mencerminkan politik identitas yang menarik perhatian publik. Pertama, ada Ganjar Pranowo, seorang kader dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Konsep politik identitas yang dibangun oleh Ganjar Pranowo telah berhasil menarik perhatian pendukungnya. Salah satu identitas yang sering kali terlihat adalah sikapnya yang relatif lemah lembut dan penuh empati. Dalam beberapa waktu terakhir, Ganjar Pranowo terlihat aktif melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk membangun citra politik yang positif dan menarik simpati pemilih dari kalangan tersebut. Pendekatan ini memperlihatkan kemampuan Ganjar Pranowo dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok agama, sebagai bagian dari strategi politik identitas yang dijalankannya.

Kedua, adalah Anies Baswedan, yang merupakan usungan dari  Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Pendekatan politik identitas yang digunakan oleh Anies Baswedan terlihat lebih sederhana namun tetap menarik perhatian. Salah satu hal yang terlihat jelas adalah aktivitasnya yang seringkali terekspos di media sosial. Melalui media sosial, Anies Baswedan berusaha membangun kesan positif dan menciptakan iklim yang memancing respons positif dari publik. Selain itu, Anies Baswedan juga sering melakukan safari politik, yaitu kunjungan ke berbagai tokoh agama dan kelompok-kelompok Islam. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat dukungan dan membangun hubungan yang erat dengan pemuka agama serta kelompok-kelompok Islam. Hal ini menunjukkan kepekaan Anies Baswedan terhadap kebutuhan akan representasi dan aspirasi dari kelompok-kelompok identitas tersebut.

Ketiga, prabowo Subianto, sebagai figur politik yang telah lama aktif di panggung politik Indonesia, juga memiliki peran dalam konteks politik identitas dalam pemilihan presiden tahun 2024. Prabowo Subianto sebelumnya pernah mencalonkan diri sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam konteks politik identitas, Prabowo Subianto telah membangun citra politik yang mengandalkan identitas nasionalisme dan kekuatan militer. Sebagai seorang mantan perwira militer dan menantu dari Presiden Soeharto, Prabowo memperkuat identitasnya sebagai sosok yang kuat, patriotik, dan memiliki keberpihakan terhadap kepentingan nasional. Dalam kampanye nya, Prabowo Subianto sering kali menyoroti isu-isu kebangsaan dan keadilan sosial. Ia berupaya menggugah rasa kebanggaan nasional dan menekankan pentingnya menjaga kedaulatan negara. Dalam hal ini, Prabowo Subianto seringkali mengaitkan identitasnya dengan nilai-nilai keberanian, keadilan, dan kepemimpinan yang kuat.

Selain itu, Prabowo Subianto juga menjalin hubungan dengan berbagai kelompok identitas, termasuk kelompok militer, para veteran, dan kelompok masyarakat adat. Pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat basis dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan kelompok-kelompok identitas tersebut. Namun, dalam konteks politik identitas, penting juga untuk mengakui bahwa Prabowo Subianto juga menghadapi tantangan dan kritik terkait rekam jejaknya di masa lalu. Isu-isu seperti pelanggaran hak asasi manusia dan keterlibatannya dalam konflik politik di masa lalu menjadi sorotan yang perlu diperhatikan dalam analisis politik identitas Prabowo Subianto. Dalam menjalankan politik identitasnya, Prabowo Subianto juga menggunakan media sosial sebagai alat untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan politiknya kepada publik. Melalui media sosial, ia berusaha untuk membangun citra yang kuat, menjangkau pendukung potensial, dan mempengaruhi opini publik.

Dalam konteks perubahan sistem perpolitikan pasca Orde Baru menuju sistem politik demokrasi di Indonesia, konsep politik identitas memainkan peran yang signifikan. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Alhadar  at.,al (2020) menyatakan Secara konstitusi kader setiap partai politik memiliki hak berupa;

(1)  Kebebasan Berekspresi.

Kebebasan berekspresi adalah salah satu konsep penting dalam politik identitas partai politik saat ini di Indonesia. Partai politik memiliki peran penting dalam mewakili aspirasi dan kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda, termasuk kelompok yang beridentitas berdasarkan agama, etnis, gender, dan daerah. Partai politik memiliki kebebasan untuk menyuarakan dan mengartikulasikan pandangan politik mereka, termasuk dalam hal politik identitas. Mereka dapat mengangkat isu-isu yang berkaitan dengan identitas kelompok yang mereka wakili, baik dalam platform politik mereka maupun melalui aktivitas kampanye. Dalam konteks politik identitas, kebebasan berekspresi memungkinkan partai politik untuk mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas, memperjuangkan pengakuan dan kesetaraan, serta melawan diskriminasi dan ketidakadilan yang mungkin dialami oleh kelompok tersebut. Partai politik juga dapat menyampaikan aspirasi kelompok agama, etnis, atau daerah tertentu, serta menjaga kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan.

(2)  Berasosiasi:

Berasosiasi merujuk pada kemampuan individu atau kelompok untuk bergabung atau terhubung dengan organisasi, gerakan, atau komunitas yang berbagi identitas atau tujuan politik yang sama. Asosiasi ini dapat dilakukan secara formal melalui keanggotaan dalam partai politik, kelompok advokasi, atau organisasi berbasis identitas. Hal ini juga dapat terjadi secara informal melalui keterlibatan dalam komunitas online, kelompok diskusi, atau aksi kolektif. Berasosiasi dalam politik identitas sering dianggap penting karena melalui asosiasi, individu dan kelompok dapat memperkuat dan memperluas pengaruh mereka dalam mendorong perubahan politik yang berkaitan dengan identitas mereka. Mereka dapat memperjuangkan kepentingan dan hak-hak kelompok mereka dengan cara yang lebih terorganisir dan terkoordinasi. Asosiasi dalam politik identitas juga memberikan ruang bagi individu dan kelompok untuk berbagi pengalaman, mendiskusikan isu-isu yang relevan, memperoleh dukungan, dan membangun solidaritas dengan orang-orang yang memiliki identitas serupa. Ini membantu memperkuat identitas kolektif dan memobilisasi dukungan dalam upaya mencapai tujuan politik yang lebih luas.Kebebasan Membentuk Partai Politik:

Disisi lain, Alfaqi (2016) dan Dhani (2019) berkesimpulan yang sama bahwa politik identitas adalah alat perjuangan yang digunakan oleh kelompok-kelompok untuk memperjuangkan keinginan dan kepentingan mereka. Fenomena politik identitas sering muncul dalam konteks ketidakadilan atau konflik antara kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik, etnis, atau suku. Untuk itu, politik identitas mencerminkan upaya kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan atau kurang diakui untuk mengorganisir diri, menyuarakan aspirasi mereka, dan memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Ketika kelompok-kelompok ini menghadapi ketidakadilan atau merasa adanya kesenjangan dalam perlakuan, mereka cenderung menggunakan identitas mereka sebagai landasan perjuangan. Kemudian, kelompok-kelompok ini juga didasarkan pada kesamaan dalam hal karakteristik etnis, agama, kesukuan, atau latar belakang sosial. Mereka merasa bahwa identitas tersebut menjadi dasar solidaritas dan persatuan dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan memobilisasi identitas ini, kelompok-kelompok tersebut berharap dapat memperoleh pengakuan, perlindungan, dan kesetaraan dalam konteks politik.

Dengan demikian, Dalam persiapan Pemilihan Presiden tahun 2024 di Indonesia, politik identitas menjadi faktor penting yang mempengaruhi strategi para calon presiden. Ganjar Pranowo dari PDIP memanfaatkan pendekatan politik identitas dengan fokus pada sikap lemah lembut dan empati, serta melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama NU. Anies Baswedan dari Nasdem juga menggunakan politik identitas dengan memanfaatkan media sosial dan sering melakukan safari politik ke tokoh agama dan kelompok Islam. Prabowo Subianto, yang memiliki rekam jejak politik yang panjang, membangun citra politik yang didasarkan pada nasionalisme dan kekuatan militer, serta menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok identitas seperti militer, veteran, dan masyarakat adat. Para calon ini menggunakan politik identitas sebagai alat untuk menarik dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan kelompok-kelompok identitas yang menjadi basis dukungan potensial. Namun, penting untuk menyadari tantangan dan kritik yang mereka hadapi terkait dengan rekam jejak politik dan isu-isu kontroversial dalam penggunaan politik identitas.

Daftar Pustaka:

Alfaqi, M. Z. (2016). Memahami Indonesia Melalui Perspektif Nasionalisme, Politik Identitas, Serta Solidaritas. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 28(2).

Dhani, F. W. (2019). Komunikasi Politik Berbasis Politik Identitas Dalam Kampanye Pilkada. Metacommunication; Journal Of Communication Studies, 4(1), 143-157.

Alhadar, S., Adjie, Z., & Hasan, K. K. (2022). POLITIK IDENTITAS:(POLA KOMUNIKASI POLITIK TIM ELNINO CENTER PADA PERHELATAN PEMILU LEGISLATIF TAHUN 2019). Jambura Journal Civic Education, 2(2), 188-199.

Nego, O. (2020). Teologi Multikultural Sebagai Respon Terhadap Meningkatnya Eskalasi Politik Identitas Di Indonesia. PASCA: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 16(2), 121-139.

 


Saturday 1 July 2023

Mahasiswa Desa Pangahu Jadi Wisudawan Terbaik FIS UNG

 

Yayan Sahi, S.Pd

Sabtu 1 Juli 2023, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) merayakan momen bersejarah dengan menggelar acara wisuda bagi 1.402 mahasiswa, yang terdiri dari Program Doktor, Magister, dan Sarjana. Tetapi sorotan utama dari wisuda ini jatuh kepada seorang mahasiswa yang muncul dari pelosok desa Pangahu, di ujung Kabupaten Gorontalo yaitu Yayan Sahi Mahasiswa FIS UNG angkatan 2019. ia menyandang gelar Wisudawan Terbaik Fakultas Ilmu Sosial UNG dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.84 mendapat predikat Pujian dan menyelesaikan studinya hanya dalam waktu 3 tahun 1 bulan. Yayan Sahi, lahir di Pangahu pada tanggal 29 November 1999. Perjalanan pendidikannya dimulai di SDN 5 Satap Asparaga, kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Telaga Biru, dan melangkah ke jenjang SMA di SMAN 1 Telaga. Namun, prestasinya yang luar biasa tidak hanya terbatas pada keberhasilannya di kampus.

Selama masa studinya, Yayan Sahi telah mengumpulkan sejumlah prestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Dia pernah menjadi Finalis Debat Olimpiade Universitas Riau tingkat nasional, Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Universitas Riau tingkat nasional, Finalis Debat Nasional Universitas Lampung tingkat nasional, dan menjadi Tim Peraih Pendanaan PHP2D tingkat nasional. Selain itu, ia juga telah menulis dan menerbitkan 10 naskah jurnal penelitian dan pengabdian terakreditas Sinta, menjadi perwakilan UNG dalam ajang sociopreneur muda Indonesia di Universitas Gadjah Mada tingkat nasional, serta menjadi tim penemu sekaligus pencipta Lampion Sabut Kelapa dan Kecap Sari Baraja, kecap yang terbuat dari batang dan rambut jagung.

Dalam sebuah wawancara yang di Lakukan oleh Kumpran.id, Yayan Sahi dengan rendah hati mengungkapkan, "Raihan prestasi ini, saya berharap bisa memicu motivasi bagi anak-anak di desa-desa terpencil khususnya di Desa Pangahu Kecamatan Asparaga bahwa keterbatasan bukanlah penghalang. Alhamdulillah, saya juga sudah mendaftar sebagai mahasiswa S2 di Universitas ini." Penghargaan yang diterimanya bukan hanya menjadi suatu kebanggaan pribadi, tetapi juga melambangkan kebangkitan bahwa mahasiswa yang berasal dari pelosok desa juga mampu bersaing dengan mahasiswa di kota besar. Di balik keberhasilan Yayan Sahi sebagai wisudawan terbaik terdapat perjalanan pahit yang harus ia lalui.

Setelah konfirmasi dari Yayan Sahi sendiri, dia mengungkapkan bahwa perjalanan menuju titik ini penuh dengan tantangan dan kesulitan. Selama masa studinya, Yayan Sahi harus menghadapi berbagai situasi yang menuntutnya untuk bekerja keras demi mencapai pendidikan di tingkat universitas. Yayan Sahi pernah tinggal di panti asuhan, menjadi tukang pel-pel masjid, penjual ayam di pasar, dan bahkan bekerja sebagai pengantar es kristal di rumah-rumah makan yang berada di Kota Gorontalo. Ia melakukan segala pekerjaan ini dengan tujuan untuk memenuhi keinginannya untuk melanjutkan pendidikan di tingkat universitas. Melalui kerja keras dan ketekunan yang tidak kenal lelah, Yayan Sahi berhasil mengatasi segala rintangan yang ada di hadapannya. Dalam ungkapannya, ia juga menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah SWT yang telah mengabulkan doa-doa dan kerja kerasnya terlebih suport dari orang tuanya Nirwan Tolangga dan Suwardin Sahi.

Semangat dan tekadnya untuk mencapai pendidikan tinggi tidak tergoyahkan oleh situasi ekonomi atau lingkungan yang sulit. Ia membuktikan bahwa dengan kesungguhan dan tekad yang kuat, segala impian dapat terwujud. Kisah perjuangan Yayan Sahi ini menjadi inspirasi bagi banyak orang yang mungkin menghadapi kesulitan dalam perjalanan pendidikan mereka. Ia membuktikan bahwa dengan ketekunan, kerja keras, dan keyakinan pada diri sendiri, seseorang dapat mengatasi tantangan apa pun yang dihadapinya.

Penulis: Tim Redaksi Kumparan.Id



Saturday 20 May 2023

Peta Politik: Peluang dan Tantangan Partai Politik Baru Jelang Pemilu 2024

Ikbal Zakaria
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Goronta
lo

Di tengah kegembiraan dan ketegangan politik  saat ini, muncul sebuah fenomena menarik yang dapat menjadi sorotan yaitu munculnya partai politik baru. Seiring dengan berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di masyarakat, peluang dan tantangan bagi partai politik baru menjadi isu yang menarik untuk ditelusuri. Para pendiri partai politik baru melihat peluang yang terbuka di hadapan mereka. Mereka berharap dapat memberikan alternatif baru dalam wacana politik, mewakili suara-suara yang belum terdengar, dan membawa perubahan yang dianggap diperlukan oleh sebagian masyarakat.  Dengan tampil sebagai partai politik baru, mereka berharap dapat membangun kredibilitas dan menarik dukungan dari pemilih yang mencari alternatif di luar partai-partai yang sudah mapan. Namun di satu sisi, tidak diragukan lagi bahwa partai politik baru juga menghadapi tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah membangun nama dan identitas yang kuat di tengah keramaian partai politik yang sudah ada. Mereka harus melalui perjuangan untuk mendapatkan perhatian publik dan membangun reputasi yang dapat membedakan mereka dari partai-partai lainnya.

Sumber daya terbatas juga menjadi kendala bagi partai politik baru. Tidak seperti partai-partai yang sudah mapan dengan akses ke sumber daya finansial yang cukup, infrastruktur yang solid, dan jaringan yang luas, partai politik baru sering kali harus bergantung pada upaya relawan dan dukungan individu. Mereka perlu mencari cara kreatif untuk mengatasi keterbatasan ini dan memanfaatkan kekuatan digital dan media sosial untuk mengkomunikasikan pesan mereka kepada pemilih potensial. Persaingan dengan partai politik yang sudah ada juga merupakan tantangan yang nyata. Partai politik baru harus mampu membedakan diri mereka dari partai-partai yang sudah mapan dan menarik perhatian pemilih. Mereka harus mengidentifikasi isu-isu yang penting bagi masyarakat dan menyampaikan solusi yang meyakinkan untuk mendapatkan dukungan. Selain itu, peraturan pemilu yang berlaku juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi peluang partai politik baru. Beberapa negara memiliki aturan yang memberikan keuntungan kepada partai-partai yang sudah mapan atau mempersulit akses bagi partai politik baru untuk mendapatkan kursi dalam parlemen.

Tahun ini, tercatat ada enam partai politik pendatang baru yang ikut meramaikan kontestasi politik menjelang pemilu tahun 2024, antara lain Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Rakyat. Dalam peran mereka sebagai pendatang baru, setiap partai memiliki strategi dan pendekatan unik untuk menarik simpati masyarakat serta mengusung perubahan dengan tujuan mengatasi kekecewaan dan kebosanan publik terhadap partai politik yang dianggap korup dan manipulatif. Keberhasilan mereka dalam hal ini akan menjadi kunci untuk memperoleh dukungan suara dan memenangkan kepercayaan publik. Namun, jika strategi mereka tidak cukup kuat, partai baru tersebut berisiko menjadi semacam "penyelenggara" dalam pemilu tanpa perolehan yang signifikan. Tentu, kehadiran enam partai politik ini, tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka terus berusaha menggalang dukungan dengan berbagai metode untuk menarik simpati dari masyarakat Indonesia. Partai-partai ini menyadari betapa pentingnya popularitas dan dukungan publik dalam mencapai tujuan politik mereka.

Argumentasi diatas bukan tanpa alasan Fitria, (2023) mengemukakan bahwa naiknya elektabilitas enam partai baru tersebut tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang terurai sebagai berikut:

(1)    Partai Kebangkitan Nusantara (PKN): Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi naiknya elektabilitas mereka. Pertama, PKN menarik perhatian pemilih dengan menyajikan visi yang kuat tentang Islam yang moderat dan inklusif. Dalam konteks Indonesia yang beragam, PKN dapat menarik simpati pemilih yang mencari partai politik dengan pendekatan Islam yang moderat. Selain itu, PKN juga memperjuangkan keadilan sosial. Jika partai ini mampu menunjukkan komitmen mereka dalam memperjuangkan keadilan sosial dan mengatasi kesenjangan sosial, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

(2)    Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora): Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dipimpin oleh Fahri Hamzah, yang memiliki karisma dan kredibilitas yang kuat. Selain itu, Gelora juga fokus pada kepentingan rakyat. Jika partai ini mampu memposisikan diri mereka sebagai partai yang berkomitmen untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

(3)    Partai Ummat: Partai Ummat menarik perhatian pemilih dengan posisi mereka sebagai partai Islam konservatif. Partai ini dapat menarik dukungan dari pemilih yang mencari partai politik yang mewakili pandangan konservatif Islam. Jika Partai Ummat dapat memperjuangkan kepentingan dan hak-hak Muslim dengan konsisten, hal ini dapat mempengaruhi elektabilitas mereka.

(4)    Partai Pelita: Partai Pelita fokus pada peningkatan pendidikan dan kesejahteraan. Partai ini dapat menarik pemilih yang peduli dengan kualitas pendidikan dan kondisi kesejahteraan masyarakat. Jika Partai Pelita mampu mengartikulasikan komitmen mereka terhadap peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka. Selain itu, pemilihan calon yang berkualitas juga dapat mempengaruhi elektabilitas mereka. Jika Partai Pelita mampu memilih calon yang memiliki rekam jejak yang baik dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan, hal ini dapat mempengaruhi elektabilitas mereka.

(5)    Partai Rakyat Adil Makmur (Prima): Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) menarik perhatian pemilih dengan keberpihakan mereka terhadap buruh dan pekerja. Partai ini dapat memperjuangkan kepentingan buruh dan pekerja dengan komitmen yang kuat. Jika Prima mampu menunjukkan bahwa mereka secara konsisten memperjuangkan kepentingan dan hak-hak buruh dan pekerja, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas

Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa Dalam kesimpulan, faktor-faktor yang mempengaruhi naiknya elektabilitas partai politik baru seperti Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Rakyat dapat beragam tergantung pada karakteristik dan strategi masing-masing partai. Disisi lain, Barokah & Hertanto (2022) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor umum yang dapat mempengaruhi elektabilitas partai politik baru diantaranya; Pertama, visi dan tujuan yang jelas menjadi faktor penting. Partai politik baru perlu memiliki visi yang kuat dan tujuan yang relevan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Ketika partai mampu mengkomunikasikan visi dan tujuan mereka secara efektif, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka. Selanjutnya, keberpihakan pada isu-isu yang mendesak juga dapat mempengaruhi elektabilitas. Partai politik baru yang mampu mengidentifikasi dan memperjuangkan isu-isu yang dianggap penting oleh masyarakat, seperti keadilan sosial, kesejahteraan, pendidikan, atau kepentingan buruh, memiliki potensi untuk meningkatkan elektabilitas mereka. Selain itu, kepemimpinan yang kuat dan karisma tokoh utama partai juga dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan elektabilitas. Jika partai politik baru dipimpin oleh tokoh yang memiliki kredibilitas dan karisma yang tinggi, seperti Anies Baswedan dalam Partai Gelora, hal ini dapat menarik dukungan masyarakat. Terakhir, pemilihan calon yang berkualitas juga menjadi faktor penting. Jika partai politik baru mampu memilih calon yang memiliki rekam jejak yang baik dan kompetensi dalam bidang yang relevan, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa peta politik jelang pemilu 2024, partai politik baru seperti Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Rakyat, menghadapi peluang dan tantangan yang signifikan. Peluang terletak pada kemampuan mereka untuk menyajikan alternatif politik yang segar dan menarik bagi masyarakat. Visi yang jelas, fokus pada isu-isu mendesak, dan kepemimpinan yang kuat menjadi modal penting untuk meraih dukungan. Namun, tantangan yang dihadapi partai politik baru tidak boleh diabaikan. Persaingan dengan partai-partai yang sudah mapan, membangun basis massa yang solid, membangun citra kredibel, dan menjaga integritas dalam berpolitik merupakan tantangan yang perlu diatasi. Partai politik baru harus bekerja keras untuk memenangkan hati pemilih dengan membuktikan komitmen mereka dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Daftar Pustaka:

Barokah, F., & Hertanto, H. (2022). Disrupsi Politik: Peluang Dan Tantangan Partai Politik Baru Jelang Pemilu 2024. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 21(01), 1-13.

Fitria, B. (2023). Strategi Partai Politik Baru Menuju Pemilihan Umum 2024 (Studi Pada Partai Politik Gelombang Rakyat Indonesia Dan Partai Ummat Provinsi Lampung) (Doctoral Dissertation, Universitas Lampung).


 

Misteri di Balik Tirai: Opsi Jalan Tengah Partai Politik Terhadap Pemilu 2024

 

Riski Rahman
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Dunia politik memang memiliki daya tarik tersendiri. Segala hal bisa menjadi misteri sepanjang proses pemilihan, mulai dari pembentukan kepanitiaan, pendaftaran bakal calon hingga penghitungan hak suara. Pada saat itu, berbagai kalangan menggunakan parameter tertentu untuk mengukur peluang kemenangan bagi kandidat yang diunggulkan, termasuk para peneliti politik dan akademisi. Namun, di balik penggunaan parameter tersebut, kita semua merasa ragu apakah parameter tersebut benar-benar mencerminkan kebenaran secara menyeluruh. Jawabannya bisa saja iya dan bisa saja  tidak. Di dunia politik, segala sesuatu bisa terjadi. Kemenangan bisa berubah menjadi kekalahan, dan sebaliknya, kekalahan pun bisa berubah menjadi sebuah kemenangan. Menyikapi persoalan ini, tentu setiap individu/kelompok memiliki cara pandang yang berbeda mengenai pemilu namun pada akhirnya semua akan bersepakat yang sama bahwa, memang misteri dibalik tirai politik sifatnya selalu dinamis yang kapan saja bisa berubah-ubah.

Berbicara tentang pemilu, Pemilu merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan politik sebuah negara demokratis. Di Indonesia, Pemilu 2024 menjadi ajang kompetisi yang menentukan bagi partai politik dalam meraih suara dan posisi yang diinginkan. Dalam persaingan ini, muncul isu yang menarik perhatian, yaitu fenomena "Jalan Tengah" yang mempengaruhi kompetisi antarpartai politik menjelang Pemilu 2024. Pada Pemilu sebelumnya, partai politik di Indonesia cenderung terbagi menjadi dua kubu yang dominan, yaitu kubu pemerintah dan kubu oposisi. Namun, situasi politik saat ini menunjukkan adanya potensi pergeseran paradigma dalam kompetisi parpol. Istilah "Jalan Tengah" mengacu pada partai-partai politik yang berusaha untuk menempatkan diri di antara kedua kubu tersebut dan mengambil posisi netral atau moderat dalam berbagai isu politik. Berkenaan dengan hal itu Bawazir, (2015) menyatakan dalam konteks pemilu, "jalan tengah" mengacu pada pendekatan politik yang berada di tengah antara spektrum politik yang ekstrim atau radikal. Pendekatan ini mencerminkan usaha partai politik atau kandidat untuk memposisikan diri mereka sebagai alternatif moderat di antara pilihan politik yang ada.

Salah satu alasan munculnya fenomena "Jalan Tengah" ini adalah keinginan partai politik untuk menarik pemilih yang tidak sepenuhnya terikat pada kubu pemerintah atau oposisi. Dalam konteks Pemilu 2024 yang diperkirakan akan kompetitif, partai politik menyadari pentingnya meraih dukungan dari kelompok pemilih yang beragam dan memiliki preferensi politik yang tidak kaku. Oleh karena itu, mereka berupaya menawarkan narasi dan kebijakan yang lebih inklusif dan moderat. Namun, kehadiran partai-partai "Jalan Tengah" ini juga menimbulkan tantangan tersendiri. Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan partai-partai yang telah mapan dan memiliki basis dukungan yang kuat. Partai-partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Gerindra, dan Golkar masih mendominasi perolehan suara dalam hasil survei terbaru Litbang Kompas (2023). Partai "Jalan Tengah" perlu melakukan upaya ekstra untuk memperoleh perhatian pemilih dan meyakinkan mereka bahwa partai ini adalah alternatif yang baik.

Di sisi lain, partai "Jalan Tengah" juga dihadapkan pada tantangan ideologi dan citra. Mereka perlu menjaga keseimbangan antara mencerminkan sikap moderat dan mempertahankan identitas politik mereka. Posisi di tengah-tengah ini dapat menjadi tantangan untuk membangun narasi yang konsisten dan menarik bagi pemilih. Selain itu, pemilu tahun 2024 juga akan memiliki beberapa dinamika lain yang mempengaruhi kompetisi parpol. Jumlah peserta pemilu diperkirakan akan meningkat dari 16 partai pada pemilu sebelumnya menjadi 18 partai. Hal ini menambah persaingan di antara partai-partai yang ada. Selain itu, partai-partai juga harus menghadapi waktu kampanye yang terbatas hanya 75 hari, yang membatasi waktu mereka untuk mengenalkan diri dan mempengaruhi pemilih. Dalam kondisi tersebut, partai politik di Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat menjelang Pemilu 2024. Fenomena "Jalan Tengah" menjadi salah satu aspek menarik yang perlu diperhatikan dalam dinamika politik saat ini. Bagaimana partai politik mampu beradaptasi dan mengatasi tantangan ini akan menentukan kesuksesan mereka dalam meraih suara dan posisi yang diinginkan pada Pemilu mendatang.

Pada dasarnya munculnya opsi jalan tengah menjelang menuju 2024 dipengaruhi oleh dua faktor diantaranya; (1) Faktor Internal. Faktor internal meliputi; (a) Ideologi dan Orientasi Politik: Faktor internal terpenting yang mempengaruhi keberadaan partai politik "Jalan Tengah" adalah ideologi dan orientasi politik mereka. Partai-partai yang memilih jalur tengah cenderung memiliki pandangan moderat dan inklusif dalam berbagai isu politik. Mereka berupaya untuk mempertahankan keseimbangan antara kepentingan berbagai kelompok dan mempromosikan kompromi. (b) Kepemimpinan Partai: Peran kepemimpinan partai politik sangat penting dalam menentukan strategi politik dan arah partai. Kepemimpinan yang cenderung mengedepankan pendekatan moderat dan inklusif akan mendorong partai politik untuk mengambil jalur tengah dalam kompetisi politik. (c) Struktur Organisasi: Struktur organisasi partai politik juga dapat mempengaruhi keputusan untuk mengambil jalur tengah. Jika partai memiliki mekanisme internal yang memungkinkan partisipasi anggota dan mendukung diskusi dan debat yang sehat, kemungkinan adopsi jalur tengah akan lebih tinggi.

Selanjutnya, untuk faktor eksternal yang mempengaruhi jalan tengah partai politik menuju pemilu 2024; (a) Perubahan Pola Pemilih: Partai politik cenderung merespons perubahan pola pemilih dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan dukungan. Jika terjadi pergeseran pemilih ke arah tengah dan meningkatnya permintaan akan pendekatan politik moderat, partai politik akan cenderung mengadopsi jalur tengah untuk mengikuti tren tersebut. (b) Tuntutan Masyarakat: Tuntutan masyarakat terhadap partai politik juga dapat mempengaruhi keberadaan partai "Jalan Tengah". Jika masyarakat menginginkan kebijakan yang lebih inklusif dan kompromis dalam penyelesaian isu-isu politik, partai-partai akan cenderung berupaya memenuhi tuntutan ini dengan mengambil jalur tengah. (c) Dinamika Politik dan Konteks Nasional: Faktor eksternal seperti dinamika politik dan konteks nasional juga memainkan peran penting dalam keberadaan partai "Jalan Tengah". Jika terjadi polarisasi politik yang kuat antara kubu pemerintah dan oposisi, partai politik dapat melihat peluang dalam mengisi celah ini dengan pendekatan tengah untuk menarik pemilih yang mencari alternatif di luar kedua kubu tersebut. (d) Pengaruh Global: Pengaruh global juga dapat mempengaruhi adopsi jalur tengah oleh partai politik. Jika terdapat tren global di mana partai-partai yang mengedepankan pendekatan moderat dan inklusif mendapatkan dukungan yang kuat, partai politik dalam konteks nasional juga dapat terdorong untuk mengambil langkah serupa.

Secara keseluruhan, faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi partai politik dalam mengambil jalur tengah menuju Pemilu 2024 mencakup ideologi dan orientasi politik, kepemimpinan partai, struktur organisasi, perubahan pola pemilih, tuntutan masyarakat, dinamika politik nasional, konteks global, dan banyak faktor lainnya yang berinteraksi secara kompleks dalam dunia politik. Dalam tataran tertentu Fachrudin, (2013) Dalam konteks pemilu, "jalan tengah" mengacu pada pendekatan politik yang berada di tengah antara spektrum politik yang ekstrim atau radikal. Pendekatan ini mencerminkan usaha partai politik atau kandidat untuk memposisikan diri mereka sebagai alternatif moderat di antara pilihan politik yang ada dengan menggunakan alternatif; (1) Pendekatan Moderat: Partai politik yang mengambil jalan tengah cenderung mengusung pendekatan politik moderat. Mereka berusaha untuk mempertahankan keseimbangan antara kepentingan berbagai kelompok dan mencari solusi yang kompromis dalam penyelesaian isu-isu politik. Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari ekstremisme dan polarisasi politik. (2) Inklusivitas: Jalan tengah dalam pemilu juga mencerminkan semangat inklusivitas dan kerjasama. Partai politik yang mengambil jalur tengah berupaya untuk mewakili berbagai kelompok pemilih dan menawarkan solusi yang dapat diterima oleh mayoritas masyarakat. Mereka berusaha untuk menggabungkan pandangan dan kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus. (3) Merangkul Pemilih di Spektrum Politik: Salah satu tujuan utama partai politik yang mengadopsi jalan tengah adalah untuk menarik pemilih di spektrum politik yang luas. Mereka berharap dapat mengambil dukungan dari pemilih yang berada di antara pilihan yang ekstrem atau yang merasa tidak terwakili oleh partai lain. Dengan pendekatan moderat, mereka berupaya menjangkau pemilih dari berbagai latar belakang politik. (4) Stabilitas Politik: Jalan tengah dalam pemilu juga dapat dianggap sebagai upaya untuk memperkuat stabilitas politik. Dengan mengedepankan pendekatan yang moderat dan inklusif, partai politik dapat membantu mengurangi polarisasi politik yang ekstrim dan mempromosikan kerjasama antar partai. Hal ini dapat menciptakan lingkungan politik yang lebih stabil dan memfasilitasi penyelesaian masalah secara efektif.

Namun, penting untuk diingat bahwa konsep jalan tengah dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh partai politik dan pemilih. Apa yang dianggap sebagai jalan tengah oleh satu pihak mungkin tidak sama dengan pandangan pihak lain. Selain itu, strategi jalan tengah juga dapat menimbulkan kritik dari kelompok yang lebih ekstrem yang merasa bahwa pendekatan tersebut kurang konsisten atau tidak memadai dalam mengatasi isu-isu politik yang kompleks. Dalam kesimpulannya, "jalan tengah" dalam pemilu merujuk pada pendekatan politik moderat yang diambil oleh partai politik untuk mencapai stabilitas, inklusivitas, dan merangkul pemilih di spektrum politik yang luas. Pendekatan ini berusaha menghindari ekstremisme dan polarisasi politik dengan menggabungkan pandangan yang berbeda dan mencari solusi kompromis.

Meskipun pendekatan jalan tengah dapat membawa manfaat seperti mendapatkan dukungan yang luas dan memperkuat stabilitas politik, ada juga potensi untuk menghadapi tragedi atau dampak negatif. Hal ini meliputi hilangnya identitas politik yang jelas, kehilangan kepercayaan dan kesetiaan pemilih, tersingkirnya kelompok pendukung inti, dan tantangan dalam membangun aliansi dengan partai lain. Penting untuk dicatat bahwa interpretasi jalan tengah dapat berbeda-beda di antara partai politik dan pemilih, serta strategi jalan tengah dapat menimbulkan kritik dari kelompok yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, keberhasilan pendekatan jalan tengah dalam pemilu sangat tergantung pada konteks politik, implementasi strategi, dan kemampuan partai politik untuk memahami dan merespons kebutuhan pemilih dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA:

Fachrudin, A. (2013). Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi. Keira Publishing.

Bawazir, T. (2015). Jalan tengah demokrasi: antara fundamentalisme dan sekularisme. Pustaka Al Kautsar.


Melacak Jejak: Orientasi Pemilih Pemula Terhadap Partai Politik Menuju Pemilu 2024

Haikal Dahiba
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Tak terasa pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024 tinggal menghitung bulan. Para akademisi, politisi bahkan masyarakat biasa sedang menyaksikan gejolak pertarungan kekuasaan yang begitu dahsyat. Pembenaran kesaksian ini bukan tanpa alasan. Semakin berkembangnya zaman semua informasi mengalir lebih cepat bahkan tak bisa dibendung lagi. Namun, muncul pertanyaan yang mendasar bagi kita semua. Apakah mereka para kader partai politik bisa menarik simpati bagi para pemilih pemula yang akan pertama kali menggunakan hak suaranya dalam pemilu tahun 2024 yang akan datang? Tentu ini masih menjadi multitafsir dan menuai perdebatan dalam diskusi-diskusi publik saat ini. Salah satu hal yang menarik isu yang perlu untuk disoroti saat ini adalah pengaruh pemilih pemula terhadap partai politik. Pemilih pemula, yang merupakan kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak suara mereka dalam pemilihan umum, memiliki potensi besar dalam membentuk arah politik masa depan. Namun, dalam melacak jejak pemilih pemula terhadap partai politik menjelang Pemilihan Umum 2024, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diungkap dan dipahami.

Hitungan kontribusi besar pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu 2024 tak bisa dielakan lagi. hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), terdapat temuan yang menarik terkait pemilu mendatang, yaitu Pemilu 2024. Dzulfaroh, (2022). Survei tersebut mengindikasikan bahwa pemilih muda akan menjadi kekuatan dominan dalam pemilihan tersebut. Pemilih muda dalam survei ini didefinisikan sebagai warga berusia antara 17 hingga 39 tahun. Survei tersebut menyajikan prediksi bahwa proporsi pemilih muda pada Pemilu 2024 akan mencapai angka yang cukup signifikan, yakni mendekati 60 persen atau sekitar 190 juta warga. Hal ini menandakan bahwa pemilih muda akan memiliki pengaruh besar dalam menentukan hasil dan arah politik di masa depan. Jika prediksi ini akurat, maka angka sebesar 190 juta pemilih muda akan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan oleh para kandidat dan partai politik yang bertarung dalam Pemilu 2024. Dengan proporsi sebesar ini, penting bagi para calon pemimpin dan partai politik untuk mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan pemilih muda dalam merancang platform dan agenda politik mereka.

Meskipun kontribusi hak suara pemilih pemula dapat mendongkrak perolehan suara bagi para kader partai politik yang akan bertarung pada pemilu tahun 2024 banyak tantangan yang akan terjadi. Tantangan tersebut tercermin dari beberapa masalah diantaranya tingkat apatis dan ketidakpercayaan terhadap partai politik. Pemilih pemula sering merasa jauh dari dunia politik, meragukan integritas partai-partai yang ada, atau bahkan merasa bahwa partai politik tidak lagi mewakili aspirasi dan kebutuhan mereka. Hal ini dapat menyebabkan mereka kurang tertarik untuk terlibat dalam proses pemilihan umum dan memilih abstain sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang mereka anggap tidak efektif. Oleh karena itu, partai politik perlu mengatasi masalah ini dengan serius dan menciptakan lingkungan yang dapat membangkitkan antusiasme dan kepercayaan pemilih pemula. Selanjutnya, perbedaan generasional juga menjadi faktor yang signifikan dalam paradigma pemilih pemula. Generasi muda memiliki perhatian dan prioritas yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Selain itu, Isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan inovasi teknologi menjadi isu-isu penting bagi mereka. Oleh karena itu, partai politik perlu memahami dan menangkap pergeseran nilai-nilai ini serta menghadirkan platform yang relevan dengan aspirasi dan kekhawatiran pemilih pemula. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat komunikasi dua arah antara partai politik dan pemilih pemula, dengan mendengarkan dengan seksama aspirasi mereka, serta mengadakan dialog dan diskusi yang konstruktif tentang isu-isu yang penting bagi mereka. Olehnya karena itu melacak jejak pemilih pemula terhadap partai politik menjelang Pemilihan Umum 2024, penting bagi kita untuk memahami dan mengungkap fenomena masalah yang dihadapi oleh mereka. Dengan demikian, partai politik dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk beradaptasi dengan perubahan paradigma dan memperkuat hubungan dengan pemilih pemula, sehingga menciptakan perubahan politik yang lebih inklusif dan dinamis dalam Pemilihan Umum mendatang.

Pada dasarnya, pemilihan umum sering disebut sebagai pesta demokrasi yang dilakukan sebagai bentuk perwujudan rakyat baik pemilihan legislatif maupun eksekutif. Sebagai warga negara yang baik harus dapat terlibat dalam pemilihan tersebut. dalam pemilihan umum memiliki sifat Langsung, Umum, Bebas, Jujur Dan Adil. sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan. Pemilihan Umum ini dapat dilaksanakan oleh orang yang sudah berusia 17 tahun keatas atau yang sudah menikah, seperti halnya yang akan dilakukan oleh para pemilih pemula yang berada di SMA Negeri 1 Telaga. Sebagai pemilih pemula tentunya masih memiliki pengetahuan yang sangat minim terhadap pemilihan umum tersebut.

Berkenaan dengan Melacak Jejak: Orientasi Pemula Terhadap Partai Politik Menuju Pemilihan Umum 2024 Yunita & Stanislaus, (2014) dalam riset penelitian menemukan masalah yang dilihat dari tiga aspek diantaranya; (1) Dari segi kognitif. Para pemilih pemula seringkali menghadapi keterbatasan pengetahuan politik yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam memahami proses pemilihan dan isu-isu yang relevan. Informasi yang mereka dapatkan cenderung terbatas dan terpengaruh oleh media sosial. Keterbatasan ini dapat membuat mereka merasa bingung dan ragu-ragu dalam memilih. Mereka mungkin masih memiliki banyak pertanyaan dan kebingungan terkait dengan pemilihan tersebut. (2) Aspek afektif. Orientasi aspek ini, para pemilih pemula cenderung lebih mudah terpengaruh oleh opini dan keyakinan orang-orang terdekat mereka. Hal ini dapat mengaburkan kemampuan mereka untuk secara independen dan kritis mengevaluasi kandidat dan isu-isu politik. (3) Aspek evaluatif. Dalam aspek ini seringkali pemilih pemula menghadapi kesulitan dalam menilai dan mempertimbangkan kandidat serta platform politik yang ditawarkan. Kurangnya pengalaman dalam mengikuti pemilihan sebelumnya juga dapat membuat mereka merasa kesulitan dalam menilai kinerja dan kompetensi para kandidat. Sebagai hasilnya, keputusan mereka dalam memilih mungkin tidak didasarkan pada evaluasi yang mendalam dan rasional.

Berkenaan dengan hasil temuan di atas, temuan yang sama juga dilakukan Mahmud, Kamuli, dan Wantu (2022) mengindikasikan bahwa banyak pemilih pemula cenderung mengikuti panduan orang tua mereka daripada mengembangkan preferensi politik mereka sendiri. Hal ini mencerminkan pengaruh yang signifikan dari orang tua dalam proses pembentukan sikap politik anak-anak mereka. Dengan demikian, kita dapat menginterpretasikan bahwa sebetulnya Pemilih pemula sering kali mencari arahan dan panduan dalam menghadapi pemilihan, terutama jika mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman politik. Mereka mungkin merasa lebih nyaman dan percaya pada pandangan orang tua mereka yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Oleh karena itu, mereka cenderung mengikuti preferensi politik orang tua sebagai acuan dalam memilih calon dan partai politik.

Pengaruh orang tua dalam keputusan politik anak-anak mereka dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, ikatan emosional dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua dapat membentuk pandangan politik anak-anak mereka. Kedua, pengaruh orang tua dapat berasal dari kepercayaan politik yang diteruskan secara turun-temurun dalam keluarga. Ketiga, kepercayaan pada penilaian dan pengalaman orang tua dapat membuat pemilih pemula lebih cenderung mengandalkan pandangan mereka. Namun, penting juga untuk diakui bahwa tidak semua pemilih pemula mengikuti panduan orang tua mereka secara mentah-mentah. Beberapa pemilih pemula juga dapat memiliki preferensi politik yang berbeda dari orang tua mereka. Mereka mungkin melihat isu-isu politik dengan sudut pandang yang berbeda atau mengembangkan pemahaman politik yang independen.

Untuk mengatasi kecenderungan ini, pendidikan politik yang inklusif dan berimbang sangat penting. Pendidikan politik harus mendorong pemilih pemula untuk mengembangkan pemahaman yang kritis dan independen tentang isu-isu politik. Mereka perlu didorong untuk mempertimbangkan berbagai perspektif dan pendapat sebelum membuat keputusan politik mereka sendiri. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi pemilih pemula dalam proses politik. Mereka harus didorong untuk aktif terlibat dalam debat politik, mendengarkan berbagai sudut pandang, dan mencari informasi dari sumber yang beragam. Dengan cara ini, mereka dapat memperluas pengetahuan politik mereka dan mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan yang informan dan berdasarkan pemikiran kritis. Pihak-pihak terkait, termasuk partai politik, lembaga pendidikan, dan keluarga, juga memiliki peran penting dalam membantu pemilih pemula mengembangkan preferensi politik mereka sendiri. Mereka dapat memberikan informasi yang objektif, mendorong diskusi terbuka, dan memberikan ruang bagi pemilih pemula untuk mengemukakan pendapat mereka sendiri. Dengan demikian, pemilih pemula akan lebih mampu membuat keputusan politik yang didasarkan pada pemikiran dan evaluasi pribadi.

Daftar Pustaka:

Dzulfaroh, A.N, (2022)."Pemilu 2024 Didominasi Pemilih Muda, Apakah Peta Politik Akan Berubah.https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/27/143000565/pemilu-2024-didominasi-pemilih-muda-apakah-peta-politik-akan-berubah-?page=all.

Mahmud, R., Kamuli, S., & Wantu, A. (2022). Sosialisasi:“Santri Bertanya Pemilu Menjawab “Bagi Santri Di Pondok Pesantren Alkhairaat Kota Gorontalo. Amma: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(08), 1009-1014.

Yunita, R. P., & Stanislaus, S. (2014). Orientasi Politik Pemilih Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014. Journal Of Social And Industrial Psychology, 3(1).


Friday 19 May 2023

Dua Sisi: Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik Pada Pemilu 2024

 

Pitria Putri Arif
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Polarisasi dan mobilisasi oleh partai politik menjelang pemilu 2024 kini memunculkan kontroversi yang menimbulkan pro dan kontra. Bagaimana tidak. Saat ini, setiap kader partai politik berupaya menggunakan tempat-tempat strategis guna menarik sebanyak mungkin massa pendukung. Munculnya alternatif penggunaan rumah ibadah sebagai sarana mobilisasi massa menjadi fenomena yang perlu disorot. Tentu saja, hal ini tidak terjadi tanpa alasan yang jelas. Salah satu alasan utama para kader partai politik menggunakan rumah ibadah sebagai wadah mobilisasi masa adalah untuk memanfaatkan momentum yang ada. Para calon dari partai politik cenderung memanfaatkan momen-momen tersebut dengan konsep silaturahim. Mereka berharap melalui pertemuan-pertemuan tersebut, para calon dapat menarik simpati pendukung dan memastikan posisi mereka di pemilu.

 Pemanfaatan rumah ibadah sebagai tempat untuk meraih dukungan politik juga memiliki beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, rumah ibadah sering kali menjadi pusat kegiatan masyarakat dan memiliki basis pengikut yang kuat. Dengan memilih rumah ibadah sebagai tempat berkumpul, partai politik dapat mengakses langsung kelompok-kelompok masyarakat yang sering menghadiri tempat ibadah tersebut. Hal ini memberi kesempatan kepada para calon politik untuk berinteraksi secara langsung dengan massa dan membangun ikatan emosional yang lebih kuat. Selain itu, rumah ibadah juga dianggap sebagai tempat yang netral dan bermartabat di mata masyarakat. Dalam konteks politik yang sering kali penuh dengan kontroversi dan perdebatan, memilih rumah ibadah sebagai lokasi pertemuan dapat memberikan kesan yang positif bagi calon politik. Ini dapat meningkatkan citra dan reputasi mereka di mata masyarakat serta mendapatkan dukungan yang lebih besar. Namun, penggunaan rumah ibadah sebagai tempat mobilisasi massa juga menimbulkan polemik.

Beberapa pihak mungkin menganggap tindakan ini sebagai penyalahgunaan tempat suci untuk kepentingan politik. Mereka berpendapat bahwa rumah ibadah seharusnya tetap menjadi tempat untuk beribadah dan tidak seharusnya terlibat dalam urusan politik. Selain itu, tindakan ini juga dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat yang memiliki preferensi politik yang berbeda. Dalam menghadapi polarisasi politik dan mobilisasi massa menjelang pemilu 2024, perlu ada kebijakan yang jelas terkait penggunaan rumah ibadah sebagai wadah politik. Penting bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengatur dan mengawasi kegiatan politik di rumah ibadah agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan kebebasan beribadah. Selain itu, masyarakat juga harus bijak dalam menyikapi penggunaan rumah ibadah dalam konteks politik agar tidak terjadi polarisasi yang merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.

Namun, akhir-akhir ini nampaknya polarisasi dan mobilisasi masa yang dilakukan oleh kader partai politik dengan menggunakan rumah ibadah mulai nampak kepermukaan menjelang pemilihan umum di tahun 2024. Berbagai macam strategi yang dilakukan untuk memetakan kubu-kubu pendukung mereka guna menarik simpatisan masyarakat. Pentingnya untuk menyoroti ini tentu penulis memiliki alasan tertentu. Diantara kita semua pasti tidak menginginkan peristiwa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali di tahun ini. Contoh kasus itu misalnya kejadian yang sempat viral pada tahun 2018 di Masjid Al-Ihsan Banten. Dimana, Seorang kader partai politik menggunakan momen ceramah Jumat untuk menyebarkan pesan politik yang kontroversial dan memicu perpecahan di antara jamaah. Ceramah tersebut disinyalir memiliki tujuan untuk mempengaruhi pandangan politik jamaah dan memobilisasi mereka untuk mendukung partai tertentu. Dengan demikian, model polarisasi masa yang seperti itu tentu menimbulkan kedilematisan bagi kita semua.

Karim, (2019) menyatakan bahwa polarisasi politik merupakan fenomena di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan politik yang bertentangan secara tajam. Hal ini terjadi ketika perbedaan dalam keyakinan, nilai, ideologi, atau sikap terhadap isu-isu politik tertentu menciptakan pemisahan yang kuat di antara kelompok-kelompok tersebut. Polarisasi sering kali menciptakan suasana politik yang tegang dan konflik yang intens antara pendukung kelompok-kelompok yang berbeda. Perbedaan pandangan politik yang dalam bisa terjadi dalam berbagai isu, termasuk isu-isu sosial, ekonomi, agama, lingkungan, dan lain sebagainya. Perbedaan ini sering kali memunculkan perasaan loyalitas dan identitas kelompok yang kuat di antara para pendukung. Polarisasi politik juga dapat terjadi karena adanya penguatan dan pengkategorian yang kuat dalam politik. Hal ini dapat terjadi melalui retorika politik yang polarisatif, media sosial, kelompok-kelompok kepentingan, atau perbedaan dalam pilihan media informasi. Dalam banyak kasus, polarisasi politik diintensifkan oleh perpecahan sosial, ekonomi, atau budaya yang ada di dalam masyarakat.

Di satu sisi, polarisasi politik dapat memperkuat identitas dan solidaritas di antara pendukung kelompok-kelompok yang sama. Menyikapi hal itu Ardiantoro, (2022) berpendapat bahwa polarisasi politik juga dapat memperdalam kesenjangan antara kelompok-kelompok, menghambat dialog, dan menghambat proses pengambilan keputusan yang efektif. Polarisasi politik juga dapat mempengaruhi dinamika pemilihan umum. Pendukung kelompok-kelompok yang polarisatif cenderung menggalang massa dan memobilisasi dukungan mereka untuk calon atau partai yang mereka dukung. Hal ini dapat menciptakan polarisasi yang lebih dalam dalam konteks pemilihan, dan dalam beberapa kasus, mempengaruhi hasil pemilihan itu sendiri. pada prinsipnya polarisasi politik sebetulnya tidak terlepas dari mobilisasi massa. Dimana mobilisasi ini merujuk pada proses atau upaya untuk mengorganisir dan memobilisasi individu atau kelompok dalam partisipasi politik aktif. Mobilisasi massa dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kampanye politik, demonstrasi, pertemuan publik, petisi, pemungutan suara, atau upaya lainnya untuk mempengaruhi hasil politik.

Sebenarnya, tujuan utama dari mobilisasi massa adalah untuk menggerakkan dan menggalang dukungan dari sebanyak mungkin individu atau kelompok untuk tujuan politik tertentu, seperti mendukung calon kandidat, mempromosikan isu-isu tertentu, atau mempengaruhi kebijakan publik. Dalam konteks pemilihan umum, mobilisasi massa menjadi penting untuk mendapatkan suara dan memenangkan pemilihan. Mobilisasi massa melibatkan strategi dan taktik yang berbeda. Partai politik, kelompok kepentingan, atau kampanye politik sering kali menggunakan berbagai alat dan teknik komunikasi, termasuk media sosial, iklan, acara kampanye, dan pertemuan umum untuk memobilisasi massa. Mereka juga dapat mengandalkan relawan, sukarelawan, atau agen-agen lapangan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan pendekatan langsung kepada pemilih potensial.

Dalam upaya mobilisasi massa, partai politik akan berusaha untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politik mereka kepada publik. Mereka akan mempromosikan platform dan program mereka, menyoroti pencapaian mereka, menyoroti kekurangan atau kegagalan partai lain, dan berusaha membangun hubungan emosional dengan pemilih potensial. Dengan cara ini, partai-partai tersebut berharap dapat mempengaruhi opini dan sikap massa, serta memperoleh dukungan mereka. Namun, polarisasi politik dan mobilisasi massa dalam pemilihan umum juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. Pada beberapa kasus, persaingan politik yang sengit dapat memicu retorika yang memecah-belah, kampanye hitam, atau penyebaran informasi yang tidak akurat. Ini dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat dan mengganggu stabilitas politik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan Judul bahwa "Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik Menjelang Pemilu 2024" mengacu pada dua fenomena penting yang terjadi dalam konteks politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Pertama, polarisasi politik yang mencerminkan pembagian masyarakat menjadi kubu-kubu yang berbeda secara ideologis, sosial, atau politik. Kedua, mobilisasi partai politik yang merujuk pada upaya partai politik untuk memperoleh dukungan pemilih dan meningkatkan partisipasi politik menjelang pemilu. Kedua, Polarisasi politik dapat menghasilkan atmosfer politik yang tegang, di mana perbedaan pendapat yang tajam dan konflik antar kubu bisa terjadi. Polarisasi yang ekstrim dapat mempengaruhi stabilitas politik dan memperumit proses demokrasi. Dalam konteks Pemilu 2024, polarisasi politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan terkait isu-isu kunci, seperti agama, etnisitas, ekonomi, lingkungan, atau isu sosial lainnya. Ketiga, Sementara itu, mobilisasi partai politik mencakup strategi dan upaya partai politik untuk membangun basis dukungan yang kuat, meningkatkan partisipasi pemilih, dan mengamankan suara pemilih. Mobilisasi ini dapat mencakup kampanye yang intens, pemanfaatan media sosial dan teknologi, pengorganisasian acara-acara politik, serta upaya partai politik untuk menyuarakan janji-janji mereka dan membangun hubungan dengan pemilih.

Daftar Pustaka:

Karim, A. G. (2019). Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(0), 2.

Ardiantoro, J. (2022). Negara dan Polarisasi Politik: Pelajaran dari Pemilihan Umum 1999. Muqaddimah Jurnal Pemikiran dan Riset Sosiologi, 3(1), 1-10.