Pitria Putri Arif
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo
Polarisasi dan mobilisasi
oleh partai politik menjelang pemilu 2024 kini memunculkan kontroversi yang
menimbulkan pro dan kontra. Bagaimana tidak. Saat ini, setiap kader partai
politik berupaya menggunakan tempat-tempat strategis guna menarik sebanyak mungkin
massa pendukung. Munculnya alternatif penggunaan rumah ibadah sebagai sarana
mobilisasi massa menjadi fenomena yang perlu disorot. Tentu saja, hal ini tidak
terjadi tanpa alasan yang jelas. Salah satu alasan utama para kader partai
politik menggunakan rumah ibadah sebagai wadah mobilisasi masa adalah untuk
memanfaatkan momentum yang ada. Para calon dari partai politik cenderung
memanfaatkan momen-momen tersebut dengan konsep silaturahim. Mereka berharap
melalui pertemuan-pertemuan tersebut, para calon dapat menarik simpati
pendukung dan memastikan posisi mereka di pemilu.
Pemanfaatan rumah ibadah sebagai tempat untuk
meraih dukungan politik juga memiliki beberapa alasan yang mendasarinya.
Pertama, rumah ibadah sering kali menjadi pusat kegiatan masyarakat dan
memiliki basis pengikut yang kuat. Dengan memilih rumah ibadah sebagai tempat
berkumpul, partai politik dapat mengakses langsung kelompok-kelompok masyarakat
yang sering menghadiri tempat ibadah tersebut. Hal ini memberi kesempatan
kepada para calon politik untuk berinteraksi secara langsung dengan massa dan
membangun ikatan emosional yang lebih kuat. Selain itu, rumah ibadah juga
dianggap sebagai tempat yang netral dan bermartabat di mata masyarakat. Dalam
konteks politik yang sering kali penuh dengan kontroversi dan perdebatan,
memilih rumah ibadah sebagai lokasi pertemuan dapat memberikan kesan yang
positif bagi calon politik. Ini dapat meningkatkan citra dan reputasi mereka di
mata masyarakat serta mendapatkan dukungan yang lebih besar. Namun, penggunaan
rumah ibadah sebagai tempat mobilisasi massa juga menimbulkan polemik.
Beberapa pihak mungkin
menganggap tindakan ini sebagai penyalahgunaan tempat suci untuk kepentingan
politik. Mereka berpendapat bahwa rumah ibadah seharusnya tetap menjadi tempat
untuk beribadah dan tidak seharusnya terlibat dalam urusan politik. Selain itu,
tindakan ini juga dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat yang memiliki
preferensi politik yang berbeda. Dalam menghadapi polarisasi politik dan
mobilisasi massa menjelang pemilu 2024, perlu ada kebijakan yang jelas terkait
penggunaan rumah ibadah sebagai wadah politik. Penting bagi pemerintah dan
otoritas terkait untuk mengatur dan mengawasi kegiatan politik di rumah ibadah
agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan kebebasan beribadah.
Selain itu, masyarakat juga harus bijak dalam menyikapi penggunaan rumah ibadah
dalam konteks politik agar tidak terjadi polarisasi yang merugikan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Namun, akhir-akhir ini
nampaknya polarisasi dan mobilisasi masa yang dilakukan oleh kader partai
politik dengan menggunakan rumah ibadah mulai nampak kepermukaan menjelang
pemilihan umum di tahun 2024. Berbagai macam strategi yang dilakukan untuk
memetakan kubu-kubu pendukung mereka guna menarik simpatisan masyarakat.
Pentingnya untuk menyoroti ini tentu penulis memiliki alasan tertentu. Diantara
kita semua pasti tidak menginginkan peristiwa yang dulu pernah terjadi akan
terulang kembali di tahun ini. Contoh kasus itu misalnya kejadian yang sempat
viral pada tahun 2018 di Masjid Al-Ihsan Banten. Dimana, Seorang kader partai
politik menggunakan momen ceramah Jumat untuk menyebarkan pesan politik yang
kontroversial dan memicu perpecahan di antara jamaah. Ceramah tersebut
disinyalir memiliki tujuan untuk mempengaruhi pandangan politik jamaah dan
memobilisasi mereka untuk mendukung partai tertentu. Dengan demikian, model
polarisasi masa yang seperti itu tentu menimbulkan kedilematisan bagi kita
semua.
Karim, (2019) menyatakan
bahwa polarisasi politik merupakan fenomena di mana masyarakat terbagi menjadi
dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan politik yang bertentangan
secara tajam. Hal ini terjadi ketika perbedaan dalam keyakinan, nilai,
ideologi, atau sikap terhadap isu-isu politik tertentu menciptakan pemisahan
yang kuat di antara kelompok-kelompok tersebut. Polarisasi sering kali
menciptakan suasana politik yang tegang dan konflik yang intens antara
pendukung kelompok-kelompok yang berbeda. Perbedaan pandangan politik yang
dalam bisa terjadi dalam berbagai isu, termasuk isu-isu sosial, ekonomi, agama,
lingkungan, dan lain sebagainya. Perbedaan ini sering kali memunculkan perasaan
loyalitas dan identitas kelompok yang kuat di antara para pendukung. Polarisasi
politik juga dapat terjadi karena adanya penguatan dan pengkategorian yang kuat
dalam politik. Hal ini dapat terjadi melalui retorika politik yang polarisatif,
media sosial, kelompok-kelompok kepentingan, atau perbedaan dalam pilihan media
informasi. Dalam banyak kasus, polarisasi politik diintensifkan oleh perpecahan
sosial, ekonomi, atau budaya yang ada di dalam masyarakat.
Di satu sisi, polarisasi
politik dapat memperkuat identitas dan solidaritas di antara pendukung
kelompok-kelompok yang sama. Menyikapi hal itu Ardiantoro, (2022) berpendapat
bahwa polarisasi politik juga dapat memperdalam kesenjangan antara
kelompok-kelompok, menghambat dialog, dan menghambat proses pengambilan
keputusan yang efektif. Polarisasi politik juga dapat mempengaruhi dinamika
pemilihan umum. Pendukung kelompok-kelompok yang polarisatif cenderung
menggalang massa dan memobilisasi dukungan mereka untuk calon atau partai yang
mereka dukung. Hal ini dapat menciptakan polarisasi yang lebih dalam dalam
konteks pemilihan, dan dalam beberapa kasus, mempengaruhi hasil pemilihan itu
sendiri. pada prinsipnya polarisasi politik sebetulnya tidak terlepas dari
mobilisasi massa. Dimana mobilisasi ini merujuk pada proses atau upaya untuk
mengorganisir dan memobilisasi individu atau kelompok dalam partisipasi politik
aktif. Mobilisasi massa dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kampanye
politik, demonstrasi, pertemuan publik, petisi, pemungutan suara, atau upaya
lainnya untuk mempengaruhi hasil politik.
Sebenarnya, tujuan utama
dari mobilisasi massa adalah untuk menggerakkan dan menggalang dukungan dari
sebanyak mungkin individu atau kelompok untuk tujuan politik tertentu, seperti
mendukung calon kandidat, mempromosikan isu-isu tertentu, atau mempengaruhi
kebijakan publik. Dalam konteks pemilihan umum, mobilisasi massa menjadi penting
untuk mendapatkan suara dan memenangkan pemilihan. Mobilisasi massa melibatkan
strategi dan taktik yang berbeda. Partai politik, kelompok kepentingan, atau
kampanye politik sering kali menggunakan berbagai alat dan teknik komunikasi,
termasuk media sosial, iklan, acara kampanye, dan pertemuan umum untuk
memobilisasi massa. Mereka juga dapat mengandalkan relawan, sukarelawan, atau
agen-agen lapangan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan pendekatan
langsung kepada pemilih potensial.
Dalam upaya mobilisasi
massa, partai politik akan berusaha untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politik
mereka kepada publik. Mereka akan mempromosikan platform dan program mereka,
menyoroti pencapaian mereka, menyoroti kekurangan atau kegagalan partai lain,
dan berusaha membangun hubungan emosional dengan pemilih potensial. Dengan cara
ini, partai-partai tersebut berharap dapat mempengaruhi opini dan sikap massa,
serta memperoleh dukungan mereka. Namun, polarisasi politik dan mobilisasi
massa dalam pemilihan umum juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. Pada
beberapa kasus, persaingan politik yang sengit dapat memicu retorika yang
memecah-belah, kampanye hitam, atau penyebaran informasi yang tidak akurat. Ini
dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat dan mengganggu stabilitas
politik.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan Judul bahwa "Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik
Menjelang Pemilu 2024" mengacu pada dua fenomena penting yang terjadi
dalam konteks politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Pertama, polarisasi politik yang
mencerminkan pembagian masyarakat menjadi kubu-kubu yang berbeda secara
ideologis, sosial, atau politik. Kedua, mobilisasi partai politik yang merujuk
pada upaya partai politik untuk memperoleh dukungan pemilih dan meningkatkan partisipasi
politik menjelang pemilu. Kedua,
Polarisasi politik dapat menghasilkan atmosfer politik yang tegang, di mana
perbedaan pendapat yang tajam dan konflik antar kubu bisa terjadi. Polarisasi
yang ekstrim dapat mempengaruhi stabilitas politik dan memperumit proses
demokrasi. Dalam konteks Pemilu 2024, polarisasi politik dapat terjadi karena
perbedaan pandangan terkait isu-isu kunci, seperti agama, etnisitas, ekonomi,
lingkungan, atau isu sosial lainnya. Ketiga,
Sementara itu, mobilisasi partai politik mencakup strategi dan upaya partai
politik untuk membangun basis dukungan yang kuat, meningkatkan partisipasi
pemilih, dan mengamankan suara pemilih. Mobilisasi ini dapat mencakup kampanye
yang intens, pemanfaatan media sosial dan teknologi, pengorganisasian
acara-acara politik, serta upaya partai politik untuk menyuarakan janji-janji
mereka dan membangun hubungan dengan pemilih.
Daftar Pustaka:
Karim, A. G. (2019). Mengelola
Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi Agenda
Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(0), 2.
Ardiantoro, J. (2022). Negara dan
Polarisasi Politik: Pelajaran dari Pemilihan Umum 1999. Muqaddimah Jurnal
Pemikiran dan Riset Sosiologi, 3(1), 1-10.
No comments:
Post a Comment