Friday 19 May 2023

Dua Sisi: Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik Pada Pemilu 2024

 

Pitria Putri Arif
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Polarisasi dan mobilisasi oleh partai politik menjelang pemilu 2024 kini memunculkan kontroversi yang menimbulkan pro dan kontra. Bagaimana tidak. Saat ini, setiap kader partai politik berupaya menggunakan tempat-tempat strategis guna menarik sebanyak mungkin massa pendukung. Munculnya alternatif penggunaan rumah ibadah sebagai sarana mobilisasi massa menjadi fenomena yang perlu disorot. Tentu saja, hal ini tidak terjadi tanpa alasan yang jelas. Salah satu alasan utama para kader partai politik menggunakan rumah ibadah sebagai wadah mobilisasi masa adalah untuk memanfaatkan momentum yang ada. Para calon dari partai politik cenderung memanfaatkan momen-momen tersebut dengan konsep silaturahim. Mereka berharap melalui pertemuan-pertemuan tersebut, para calon dapat menarik simpati pendukung dan memastikan posisi mereka di pemilu.

 Pemanfaatan rumah ibadah sebagai tempat untuk meraih dukungan politik juga memiliki beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, rumah ibadah sering kali menjadi pusat kegiatan masyarakat dan memiliki basis pengikut yang kuat. Dengan memilih rumah ibadah sebagai tempat berkumpul, partai politik dapat mengakses langsung kelompok-kelompok masyarakat yang sering menghadiri tempat ibadah tersebut. Hal ini memberi kesempatan kepada para calon politik untuk berinteraksi secara langsung dengan massa dan membangun ikatan emosional yang lebih kuat. Selain itu, rumah ibadah juga dianggap sebagai tempat yang netral dan bermartabat di mata masyarakat. Dalam konteks politik yang sering kali penuh dengan kontroversi dan perdebatan, memilih rumah ibadah sebagai lokasi pertemuan dapat memberikan kesan yang positif bagi calon politik. Ini dapat meningkatkan citra dan reputasi mereka di mata masyarakat serta mendapatkan dukungan yang lebih besar. Namun, penggunaan rumah ibadah sebagai tempat mobilisasi massa juga menimbulkan polemik.

Beberapa pihak mungkin menganggap tindakan ini sebagai penyalahgunaan tempat suci untuk kepentingan politik. Mereka berpendapat bahwa rumah ibadah seharusnya tetap menjadi tempat untuk beribadah dan tidak seharusnya terlibat dalam urusan politik. Selain itu, tindakan ini juga dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat yang memiliki preferensi politik yang berbeda. Dalam menghadapi polarisasi politik dan mobilisasi massa menjelang pemilu 2024, perlu ada kebijakan yang jelas terkait penggunaan rumah ibadah sebagai wadah politik. Penting bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengatur dan mengawasi kegiatan politik di rumah ibadah agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan kebebasan beribadah. Selain itu, masyarakat juga harus bijak dalam menyikapi penggunaan rumah ibadah dalam konteks politik agar tidak terjadi polarisasi yang merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.

Namun, akhir-akhir ini nampaknya polarisasi dan mobilisasi masa yang dilakukan oleh kader partai politik dengan menggunakan rumah ibadah mulai nampak kepermukaan menjelang pemilihan umum di tahun 2024. Berbagai macam strategi yang dilakukan untuk memetakan kubu-kubu pendukung mereka guna menarik simpatisan masyarakat. Pentingnya untuk menyoroti ini tentu penulis memiliki alasan tertentu. Diantara kita semua pasti tidak menginginkan peristiwa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali di tahun ini. Contoh kasus itu misalnya kejadian yang sempat viral pada tahun 2018 di Masjid Al-Ihsan Banten. Dimana, Seorang kader partai politik menggunakan momen ceramah Jumat untuk menyebarkan pesan politik yang kontroversial dan memicu perpecahan di antara jamaah. Ceramah tersebut disinyalir memiliki tujuan untuk mempengaruhi pandangan politik jamaah dan memobilisasi mereka untuk mendukung partai tertentu. Dengan demikian, model polarisasi masa yang seperti itu tentu menimbulkan kedilematisan bagi kita semua.

Karim, (2019) menyatakan bahwa polarisasi politik merupakan fenomena di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan politik yang bertentangan secara tajam. Hal ini terjadi ketika perbedaan dalam keyakinan, nilai, ideologi, atau sikap terhadap isu-isu politik tertentu menciptakan pemisahan yang kuat di antara kelompok-kelompok tersebut. Polarisasi sering kali menciptakan suasana politik yang tegang dan konflik yang intens antara pendukung kelompok-kelompok yang berbeda. Perbedaan pandangan politik yang dalam bisa terjadi dalam berbagai isu, termasuk isu-isu sosial, ekonomi, agama, lingkungan, dan lain sebagainya. Perbedaan ini sering kali memunculkan perasaan loyalitas dan identitas kelompok yang kuat di antara para pendukung. Polarisasi politik juga dapat terjadi karena adanya penguatan dan pengkategorian yang kuat dalam politik. Hal ini dapat terjadi melalui retorika politik yang polarisatif, media sosial, kelompok-kelompok kepentingan, atau perbedaan dalam pilihan media informasi. Dalam banyak kasus, polarisasi politik diintensifkan oleh perpecahan sosial, ekonomi, atau budaya yang ada di dalam masyarakat.

Di satu sisi, polarisasi politik dapat memperkuat identitas dan solidaritas di antara pendukung kelompok-kelompok yang sama. Menyikapi hal itu Ardiantoro, (2022) berpendapat bahwa polarisasi politik juga dapat memperdalam kesenjangan antara kelompok-kelompok, menghambat dialog, dan menghambat proses pengambilan keputusan yang efektif. Polarisasi politik juga dapat mempengaruhi dinamika pemilihan umum. Pendukung kelompok-kelompok yang polarisatif cenderung menggalang massa dan memobilisasi dukungan mereka untuk calon atau partai yang mereka dukung. Hal ini dapat menciptakan polarisasi yang lebih dalam dalam konteks pemilihan, dan dalam beberapa kasus, mempengaruhi hasil pemilihan itu sendiri. pada prinsipnya polarisasi politik sebetulnya tidak terlepas dari mobilisasi massa. Dimana mobilisasi ini merujuk pada proses atau upaya untuk mengorganisir dan memobilisasi individu atau kelompok dalam partisipasi politik aktif. Mobilisasi massa dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kampanye politik, demonstrasi, pertemuan publik, petisi, pemungutan suara, atau upaya lainnya untuk mempengaruhi hasil politik.

Sebenarnya, tujuan utama dari mobilisasi massa adalah untuk menggerakkan dan menggalang dukungan dari sebanyak mungkin individu atau kelompok untuk tujuan politik tertentu, seperti mendukung calon kandidat, mempromosikan isu-isu tertentu, atau mempengaruhi kebijakan publik. Dalam konteks pemilihan umum, mobilisasi massa menjadi penting untuk mendapatkan suara dan memenangkan pemilihan. Mobilisasi massa melibatkan strategi dan taktik yang berbeda. Partai politik, kelompok kepentingan, atau kampanye politik sering kali menggunakan berbagai alat dan teknik komunikasi, termasuk media sosial, iklan, acara kampanye, dan pertemuan umum untuk memobilisasi massa. Mereka juga dapat mengandalkan relawan, sukarelawan, atau agen-agen lapangan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan pendekatan langsung kepada pemilih potensial.

Dalam upaya mobilisasi massa, partai politik akan berusaha untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politik mereka kepada publik. Mereka akan mempromosikan platform dan program mereka, menyoroti pencapaian mereka, menyoroti kekurangan atau kegagalan partai lain, dan berusaha membangun hubungan emosional dengan pemilih potensial. Dengan cara ini, partai-partai tersebut berharap dapat mempengaruhi opini dan sikap massa, serta memperoleh dukungan mereka. Namun, polarisasi politik dan mobilisasi massa dalam pemilihan umum juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. Pada beberapa kasus, persaingan politik yang sengit dapat memicu retorika yang memecah-belah, kampanye hitam, atau penyebaran informasi yang tidak akurat. Ini dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat dan mengganggu stabilitas politik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan Judul bahwa "Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik Menjelang Pemilu 2024" mengacu pada dua fenomena penting yang terjadi dalam konteks politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Pertama, polarisasi politik yang mencerminkan pembagian masyarakat menjadi kubu-kubu yang berbeda secara ideologis, sosial, atau politik. Kedua, mobilisasi partai politik yang merujuk pada upaya partai politik untuk memperoleh dukungan pemilih dan meningkatkan partisipasi politik menjelang pemilu. Kedua, Polarisasi politik dapat menghasilkan atmosfer politik yang tegang, di mana perbedaan pendapat yang tajam dan konflik antar kubu bisa terjadi. Polarisasi yang ekstrim dapat mempengaruhi stabilitas politik dan memperumit proses demokrasi. Dalam konteks Pemilu 2024, polarisasi politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan terkait isu-isu kunci, seperti agama, etnisitas, ekonomi, lingkungan, atau isu sosial lainnya. Ketiga, Sementara itu, mobilisasi partai politik mencakup strategi dan upaya partai politik untuk membangun basis dukungan yang kuat, meningkatkan partisipasi pemilih, dan mengamankan suara pemilih. Mobilisasi ini dapat mencakup kampanye yang intens, pemanfaatan media sosial dan teknologi, pengorganisasian acara-acara politik, serta upaya partai politik untuk menyuarakan janji-janji mereka dan membangun hubungan dengan pemilih.

Daftar Pustaka:

Karim, A. G. (2019). Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(0), 2.

Ardiantoro, J. (2022). Negara dan Polarisasi Politik: Pelajaran dari Pemilihan Umum 1999. Muqaddimah Jurnal Pemikiran dan Riset Sosiologi, 3(1), 1-10.


No comments: