Menguak Misteri Politik Identitas Pada Pemilu 2024
Sri Mulyani Patuti
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo Tak bisa dipungkiri menjelang perhelatan pemilu khususnya pemilihan presiden tahun 2024
hampir sebagian kader dari partai politik semakin terjebak dalam jeratan
politik identitas. Fenomena ini merupakan cerminan dari polarisasi politik yang
semakin meningkat dan kecenderungan para politisi untuk memanfaatkan identitas
kelompok sebagai strategi untuk memperoleh dukungan politik dan memenangkan
pemilu. Politik identitas telah menjadi alat yang kuat dalam perebutan
kekuasaan politik di Indonesia. Politisi cenderung mengambil jalan pintas
dengan memobilisasi massa berdasarkan identitas kelompok, seperti agama, suku,
atau kebangsaan. Mereka memanfaatkan isu-isu yang sensitif secara identitas
untuk menciptakan ikatan emosional dengan para pendukung mereka. Berkenaan
dengan hal itu, Menurut Stuart Hall, politik identitas melibatkan upaya untuk
membentuk dan mempertahankan identitas kelompok tertentu dalam konteks
perjuangan politik. (dalam Nego, 2020).
Pandangan Stuart Hall tersebut merupakan penekanan atas pentingnya
mengakui dan memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok yang merasa
terpinggirkan atau kurang diakui, serta memberikan wadah bagi mereka untuk
menyuarakan aspirasi mereka dan mendorong perubahan sosial dan politik yang
lebih inklusif dan adil. Saat ini, Polarisasi politik semakin mengeras, dengan
terbentuknya kubu-kubu politik yang saling bertentangan. Partai-partai politik
terfragmentasi, lebih fokus pada kepentingan kelompok mereka sendiri daripada
membangun koalisi berdasarkan ideologi atau tujuan yang sama. Politisi berusaha
memanfaatkan politik identitas untuk menciptakan pemisahan yang lebih jauh
dalam masyarakat. Perkembangan teknologi informasi dan media sosial juga
berperan penting dalam menguatkan politik identitas. Pesan-pesan politik yang
berbasis identitas dapat dengan mudah menyebar melalui platform media sosial,
mempengaruhi pandangan dan perilaku politik masyarakat. Isu-isu yang berkaitan
dengan identitas seringkali menjadi topik yang paling banyak dibahas dan
menjadi bahan perdebatan sengit di ruang publik daring.
Pada tahun 2024, perhelatan pemilihan presiden di Indonesia akan menjadi
ajang pertarungan antara tiga figur calon yang mencerminkan politik identitas
yang menarik perhatian publik. Pertama, ada Ganjar Pranowo, seorang kader dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Konsep politik identitas yang
dibangun oleh Ganjar Pranowo telah berhasil menarik perhatian pendukungnya.
Salah satu identitas yang sering kali terlihat adalah sikapnya yang relatif
lemah lembut dan penuh empati. Dalam beberapa waktu terakhir, Ganjar Pranowo
terlihat aktif melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama
dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk
membangun citra politik yang positif dan menarik simpati pemilih dari kalangan
tersebut. Pendekatan ini memperlihatkan kemampuan Ganjar Pranowo dalam
berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai kelompok masyarakat,
termasuk kelompok agama, sebagai bagian dari strategi politik identitas yang
dijalankannya.
Kedua, adalah Anies Baswedan, yang merupakan usungan dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Pendekatan
politik identitas yang digunakan oleh Anies Baswedan terlihat lebih sederhana
namun tetap menarik perhatian. Salah satu hal yang terlihat jelas adalah
aktivitasnya yang seringkali terekspos
di media sosial. Melalui media sosial, Anies Baswedan berusaha membangun kesan
positif dan menciptakan iklim yang memancing respons positif dari publik.
Selain itu, Anies Baswedan juga sering melakukan safari politik, yaitu
kunjungan ke berbagai tokoh agama dan kelompok-kelompok Islam. Langkah ini
bertujuan untuk memperkuat dukungan dan membangun hubungan yang erat dengan
pemuka agama serta kelompok-kelompok Islam. Hal ini menunjukkan kepekaan Anies
Baswedan terhadap kebutuhan akan representasi dan aspirasi dari kelompok-kelompok
identitas tersebut.
Ketiga, prabowo Subianto, sebagai
figur politik yang telah lama aktif di panggung politik Indonesia, juga
memiliki peran dalam konteks politik identitas dalam pemilihan presiden tahun
2024. Prabowo Subianto sebelumnya pernah mencalonkan diri sebagai calon
presiden pada pemilihan presiden 2014 dan 2019. Dalam konteks politik
identitas, Prabowo Subianto telah membangun citra politik yang mengandalkan
identitas nasionalisme dan kekuatan militer. Sebagai seorang mantan perwira
militer dan menantu dari Presiden Soeharto, Prabowo memperkuat identitasnya
sebagai sosok yang kuat, patriotik, dan memiliki keberpihakan terhadap
kepentingan nasional. Dalam kampanye nya,
Prabowo Subianto sering kali menyoroti isu-isu kebangsaan dan keadilan sosial.
Ia berupaya menggugah rasa kebanggaan nasional dan menekankan pentingnya
menjaga kedaulatan negara. Dalam hal ini, Prabowo Subianto seringkali
mengaitkan identitasnya dengan nilai-nilai keberanian, keadilan, dan
kepemimpinan yang kuat.
Selain itu, Prabowo Subianto juga menjalin hubungan dengan berbagai
kelompok identitas, termasuk kelompok militer, para veteran, dan kelompok
masyarakat adat. Pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat basis dukungan dan
menciptakan ikatan emosional dengan kelompok-kelompok identitas tersebut.
Namun, dalam konteks politik identitas, penting juga untuk mengakui bahwa
Prabowo Subianto juga menghadapi tantangan dan kritik terkait rekam jejaknya di
masa lalu. Isu-isu seperti pelanggaran hak asasi manusia dan keterlibatannya dalam
konflik politik di masa lalu menjadi sorotan yang perlu diperhatikan dalam
analisis politik identitas Prabowo Subianto. Dalam menjalankan politik
identitasnya, Prabowo Subianto juga menggunakan media sosial sebagai alat untuk
berkomunikasi dan menyampaikan pesan politiknya kepada publik. Melalui media
sosial, ia berusaha untuk membangun citra yang kuat, menjangkau pendukung
potensial, dan mempengaruhi opini publik.
Dalam konteks perubahan sistem perpolitikan pasca Orde Baru menuju sistem
politik demokrasi di Indonesia, konsep politik identitas memainkan peran yang
signifikan. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Alhadar at.,al (2020) menyatakan Secara konstitusi
kader setiap partai politik memiliki hak berupa;
(1) Kebebasan Berekspresi.
Kebebasan berekspresi
adalah salah satu konsep penting dalam politik identitas partai politik saat
ini di Indonesia. Partai politik memiliki peran penting dalam mewakili aspirasi
dan kepentingan kelompok-kelompok yang berbeda, termasuk kelompok yang
beridentitas berdasarkan agama, etnis, gender, dan daerah. Partai politik
memiliki kebebasan untuk menyuarakan dan mengartikulasikan pandangan politik
mereka, termasuk dalam hal politik identitas. Mereka dapat mengangkat isu-isu
yang berkaitan dengan identitas kelompok yang mereka wakili, baik dalam
platform politik mereka maupun melalui aktivitas kampanye. Dalam konteks
politik identitas, kebebasan berekspresi memungkinkan partai politik untuk
mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas, memperjuangkan pengakuan dan kesetaraan,
serta melawan diskriminasi dan ketidakadilan yang mungkin dialami oleh kelompok
tersebut. Partai politik juga dapat menyampaikan aspirasi kelompok agama,
etnis, atau daerah tertentu, serta menjaga kepentingan mereka dalam proses
pembuatan kebijakan.
(2) Berasosiasi:
Berasosiasi
merujuk pada kemampuan individu atau kelompok untuk bergabung atau terhubung
dengan organisasi, gerakan, atau komunitas yang berbagi identitas atau tujuan
politik yang sama. Asosiasi ini dapat dilakukan secara formal melalui
keanggotaan dalam partai politik, kelompok advokasi, atau organisasi berbasis
identitas. Hal ini juga dapat terjadi secara informal melalui keterlibatan
dalam komunitas online, kelompok diskusi, atau aksi kolektif. Berasosiasi dalam
politik identitas sering dianggap penting karena melalui asosiasi, individu dan
kelompok dapat memperkuat dan memperluas pengaruh mereka dalam mendorong
perubahan politik yang berkaitan dengan identitas mereka. Mereka dapat
memperjuangkan kepentingan dan hak-hak kelompok mereka dengan cara yang lebih
terorganisir dan terkoordinasi. Asosiasi dalam politik identitas juga
memberikan ruang bagi individu dan kelompok untuk berbagi pengalaman,
mendiskusikan isu-isu yang relevan, memperoleh dukungan, dan membangun
solidaritas dengan orang-orang yang memiliki identitas serupa. Ini membantu
memperkuat identitas kolektif dan memobilisasi dukungan dalam upaya mencapai
tujuan politik yang lebih luas.Kebebasan Membentuk Partai Politik:
Disisi lain, Alfaqi (2016) dan Dhani (2019) berkesimpulan yang sama bahwa
politik identitas adalah alat perjuangan yang digunakan oleh kelompok-kelompok
untuk memperjuangkan keinginan dan kepentingan mereka. Fenomena politik
identitas sering muncul dalam konteks ketidakadilan atau konflik antara
kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan karakteristik, etnis, atau suku. Untuk
itu, politik identitas mencerminkan upaya kelompok-kelompok yang merasa
terpinggirkan atau kurang diakui untuk mengorganisir diri, menyuarakan aspirasi
mereka, dan memperjuangkan perubahan sosial dan politik. Ketika
kelompok-kelompok ini menghadapi ketidakadilan atau merasa adanya kesenjangan
dalam perlakuan, mereka cenderung menggunakan identitas mereka sebagai landasan
perjuangan. Kemudian, kelompok-kelompok ini juga didasarkan pada kesamaan dalam
hal karakteristik etnis, agama, kesukuan, atau latar belakang sosial. Mereka
merasa bahwa identitas tersebut menjadi dasar solidaritas dan persatuan dalam
memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan memobilisasi identitas ini,
kelompok-kelompok tersebut berharap dapat memperoleh pengakuan, perlindungan,
dan kesetaraan dalam konteks politik.
Dengan demikian, Dalam persiapan Pemilihan Presiden tahun 2024 di
Indonesia, politik identitas menjadi faktor penting yang mempengaruhi strategi
para calon presiden. Ganjar Pranowo dari PDIP memanfaatkan pendekatan politik
identitas dengan fokus pada sikap lemah lembut dan empati, serta melakukan
pendekatan dengan kelompok-kelompok Islam, terutama NU. Anies Baswedan dari
Nasdem juga menggunakan politik identitas dengan memanfaatkan media sosial dan
sering melakukan safari politik ke tokoh agama dan kelompok Islam. Prabowo
Subianto, yang memiliki rekam jejak politik yang panjang, membangun citra
politik yang didasarkan pada nasionalisme dan kekuatan militer, serta menjalin
hubungan dengan kelompok-kelompok identitas seperti militer, veteran, dan
masyarakat adat. Para calon ini menggunakan politik identitas sebagai alat
untuk menarik dukungan dan menciptakan ikatan emosional dengan
kelompok-kelompok identitas yang menjadi basis dukungan potensial. Namun,
penting untuk menyadari tantangan dan kritik yang mereka hadapi terkait dengan
rekam jejak politik dan isu-isu kontroversial dalam penggunaan politik
identitas.
Daftar Pustaka:
Alfaqi, M. Z. (2016). Memahami Indonesia Melalui Perspektif Nasionalisme, Politik Identitas,
Serta Solidaritas. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan,
28(2).
Dhani, F. W. (2019). Komunikasi Politik Berbasis Politik Identitas Dalam
Kampanye Pilkada. Metacommunication; Journal Of Communication Studies, 4(1),
143-157.
Alhadar, S., Adjie, Z., & Hasan, K. K. (2022). POLITIK
IDENTITAS:(POLA KOMUNIKASI POLITIK TIM ELNINO CENTER PADA PERHELATAN PEMILU
LEGISLATIF TAHUN 2019). Jambura Journal Civic Education, 2(2), 188-199.
Nego, O. (2020). Teologi Multikultural Sebagai Respon Terhadap
Meningkatnya Eskalasi Politik Identitas Di Indonesia. PASCA: Jurnal Teologi Dan
Pendidikan Agama Kristen, 16(2), 121-139.
No comments:
Post a Comment