Lulu Savitri I.
Lumuan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo
Dalam dunia politik yang
terus berubah dan kompleks, partai politik sering kali menghadapi tantangan
dalam menjaga identitas dan kesatuan internal mereka. Krisis identitas
merupakan fenomena yang dapat mempengaruhi partai politik, baik di tingkat
nasional maupun regional, dengan konsekuensi yang signifikan terhadap
stabilitas politik dan arah kebijakan yang diambil. Perpecahan dan reorientasi
menjadi pemandangan umum saat partai politik berusaha menavigasi tuntutan
masyarakat yang berkembang dan persaingan politik yang semakin ketat. Krisis
identitas dalam partai politik mencerminkan konflik internal yang muncul akibat
perbedaan pendapat dalam hal visi, misi, atau nilai-nilai dasar yang dipegang
oleh anggota partai. Perselisihan dalam hal ideologi, kebijakan, atau
kepemimpinan sering kali menjadi pemicu utama dalam perpecahan partai. Ketika
partai politik menghadapi krisis identitas, reorientasi menjadi langkah penting
untuk mencari jati diri baru dan menarik kembali dukungan masyarakat.
Studi riset yang dilakukan
oleh Winarti & Nazaki, (2019) menunjukan bahwa ketika partai politik
mengalami krisis identitas, hal ini cenderung mempengaruhi kemampuan partai
politik untuk mewakili dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan pemilih
mereka dengan efektif. Bila merujuk pada hasil temuan tersebut, kita dapat
menginterpretasikan bahwa krisis identitas dalam partai politik sebenarnya
dapat mengakibatkan kebingungan mengenai platform politik, arah kebijakan, dan
nilai-nilai yang dianut oleh partai. Akibatnya, partai politik mungkin gagal
memberikan representasi yang jelas dan konsisten terhadap pemilih mereka.
Ketidakpastian dan inkonsistensi dalam pandangan dan kebijakan partai dapat
mengakibatkan pemilih merasa kurang terwakili atau bahkan kehilangan
kepercayaan terhadap partai tersebut. Dalam konteks krisis fungsi representasi,
pemilih mungkin merasa sulit untuk mengidentifikasi partai politik yang
mewakili kepentingan dan nilai-nilai mereka.
Selain itu, krisis
identitas dalam partai politik juga dapat mengakibatkan polarisasi di antara
pemilih, di mana kelompok-kelompok pemilih tertentu cenderung beralih ke
partai-partai yang menawarkan identitas politik yang lebih konsisten atau
sesuai dengan pandangan mereka. Krisis identitas partai politik tercermin dari
salah satu partai politik yang pernah berkuasa di Indonesia, yaitu Partai
Demokrat. Partai ini awalnya menunjukkan konsistensi identitas di bawah
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berhasil menarik banyak
simpati dari publik. Namun, setelah terjadi peralihan kepemimpinan kepada
anaknya, yaitu Ari Murti Yudhoyono, tidak berlangsung lama yang dimana pada
tahun 2022, terjadi gejolak konflik internal dalam partai tersebut. Peristiwa
ini lebih dikenal dengan sebutan tragedi dua kubu di Partai Demokrat, yaitu
kubu Ari Murti Yudhoyono sebagai ketua umum yang sah secara kelembagaan partai
dan kubu Moeldoko sebagai ketua umum versi KLB. Konflik antara kedua kubu
tersebut menunjukkan perpecahan dalam pandangan politik, visi, dan kepemimpinan
dalam Partai Demokrat.
Seiring dengan berlanjutnya konflik, partai
ini menghadapi tantangan dalam menjaga identitas yang konsisten, yang pada
gilirannya mempengaruhi stabilitas dan arah partai politik tersebut. Perbedaan
pendapat dan perselisihan kepemimpinan menjadi faktor krusial yang memicu
konflik dalam Partai Demokrat. Kedua kubu memiliki pendekatan yang berbeda
dalam mengelola partai dan memilih arah kebijakan yang diambil. Hal ini
menyebabkan perpecahan di antara anggota partai, dengan masing-masing kubu
berupaya memperoleh dukungan sebanyak mungkin. Dampak dari krisis identitas dan
konflik internal ini terhadap Partai Demokrat cukup signifikan. Salah satu
dampaknya adalah penurunan dukungan publik dan kehilangan kepercayaan dari
masyarakat terhadap partai ini. Pemilih yang sebelumnya mendukung Partai
Demokrat karena identitas dan kepemimpinan SBY mungkin merasa bingung dan
kecewa dengan situasi yang memunculkan perselisihan dalam partai. Selain itu,
krisis identitas dan perpecahan ini juga berdampak pada stabilitas partai
politik itu sendiri. Ketidakstabilan kepemimpinan, pertentangan internal, dan
fokus yang terpecah mempengaruhi kemampuan partai dalam menyusun kebijakan yang
konsisten dan efektif. Ini dapat mengurangi daya tarik dan daya saing partai
dalam arena politik.
Seiring berjalannya
waktu, Partai Demokrat berusaha melakukan reorientasi untuk mengatasi krisis
identitas dan restrukturisasi partai. Beberapa upaya yang dilakukan mencakup
restrukturisasi internal, perubahan kebijakan, dan upaya untuk menyatukan kembali
anggota partai yang terpecah menjadi dua kubu. Proses reorientasi ini menjadi
tantangan yang kompleks. Membutuhkan komunikasi yang efektif, negosiasi, dan
kompromi untuk mencapai rekonsiliasi di antara anggota partai yang berselisih.
Selain itu, partai juga perlu melakukan upaya nyata dalam memperbaiki citra dan
memperoleh kembali kepercayaan publik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa partai
politik adalah instrumen penting dalam sistem demokrasi. Stabilitas, kesatuan,
dan identitas yang konsisten dalam partai politik memainkan peran penting dalam
mewakili kepentingan masyarakat, membangun kepercayaan, dan mempertahankan
stabilitas politik. sehingga Proses reorientasi dan rekonsiliasi menjadi
langkah penting untuk memperbaiki citra partai dan membangun kembali
kepercayaan publik. Hanya dengan menjaga konsistensi identitas, partai politik
dapat memainkan peran yang efektif dalam mewakili dan melayani kepentingan
masyarakat.
Berkenaan dengan krisis
identitas atas perpecahan dan reorientasi dalam partai politik Priyowidodo,
(2014) membagi menjadi lima faktor diantaranya;
(1) Perbedaan orientasi
ideologi partai politik: Ideologi adalah salah satu faktor yang dapat memicu
krisis identitas dalam partai. Ketika anggota partai memiliki perbedaan
pendapat dalam hal haluan ideologi yang ingin diperjuangkan, hal ini dapat
menimbulkan konflik internal dan merusak kesatuan partai. Perbedaan pandangan
tentang nilai-nilai politik, visi, dan arah kebijakan dapat menyebabkan
ketidakselarasan dalam identitas partai dan memicu krisis identitas.
(2) Perbedaan orientasi kepentingan
politik: Kepentingan juga dapat menjadi faktor yang memicu krisis identitas
dalam partai politik. Ketika anggota partai memiliki kepentingan politik yang
berbeda-beda, terutama dalam hal perebutan kekuasaan atau pengambilan keputusan
strategis, hal ini dapat menciptakan perselisihan dan ketidakharmonisan dalam
partai. Perbedaan orientasi kepentingan politik dapat mempengaruhi stabilitas
partai dan merusak konsistensi identitas partai.
(3) Perbedaan distribusi dan alokasi
peran aktor dalam partai politik: Alokasi peran aktor juga dapat memicu krisis
identitas. Ketika terjadi perbedaan pandangan mengenai peran dan tanggung jawab
masing-masing aktor dalam partai, konflik dapat muncul. Ketidakjelasan dalam
distribusi dan alokasi peran dapat mengganggu koordinasi dan kerjasama antar
anggota partai, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas dan
identitas partai.
(4) Perbedaan implementasi
kebijakan partai: Kebijakan juga dapat menjadi faktor yang memicu krisis identitas.
Ketika terjadi perbedaan dalam hal bagaimana kebijakan partai harus
diimplementasikan, termasuk strategi politik dan tindakan konkret yang diambil,
hal ini dapat menciptakan ketidakselarasan dan konflik dalam partai. Jika
partai tidak mampu mencapai konsensus mengenai implementasi kebijakan, hal ini
dapat merusak identitas partai dan menyebabkan krisis identitas.
(5) Perbedaan gaya kepemimpinan
sang ketua umum partai: Ketika terjadi perbedaan pendekatan dan gaya
kepemimpinan yang diusung oleh ketua umum partai, ini dapat menciptakan
polarisasi dan perselisihan di dalam partai. Gaya kepemimpinan yang tidak
konsisten atau tidak dapat diterima oleh sebagian anggota partai dapat
menghancurkan kesatuan dan identitas partai.
Disisi lain, Romli, (2018) memiliki pendapat
yang berbeda bahwa ketika terjadi krisis identitas atas perpecahan dan
reorientasi dalam partai politik itu diakibatkan oleh beberapa faktor
diantaranya;
(1) Perubahan sosial dan
politik: Perubahan sosial dan politik yang cepat dan kompleks dapat menimbulkan
tantangan bagi partai politik dalam menjaga konsistensi identitas. Ketika
tuntutan dan aspirasi masyarakat berubah, partai politik mungkin mengalami
kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Jika partai tidak
dapat secara responsif merespons perubahan tersebut, dapat timbul
ketidakcocokan antara apa yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang
diperjuangkan oleh partai, yang pada gilirannya dapat menyebabkan krisis
identitas.
(2) Perselisihan ideologi dan
kebijakan: Perselisihan dalam hal ideologi, pandangan politik, atau kebijakan
dapat menjadi pemicu krisis identitas dalam partai politik. Ketika terjadi
perbedaan pendapat yang fundamental antara anggota partai, terutama dalam hal
haluan ideologi atau arah kebijakan yang harus diambil, hal ini dapat
memunculkan konflik internal yang mengancam kesatuan dan konsistensi identitas
partai. Perbedaan pandangan ini dapat memicu perpecahan dan ketidakstabilan
dalam partai politik.
(3) Kontestasi kepemimpinan:
Pertentangan dan persaingan dalam hal kepemimpinan partai politik juga dapat
menyebabkan krisis identitas. Ketika partai menghadapi ketidaksepakatan
mengenai siapa yang akan memimpin dan bagaimana dinamika kekuasaan partai
berkembang, ini dapat mengganggu kesatuan dan stabilitas partai. Persaingan
internal yang intens dapat memicu konflik dan perpecahan, yang pada akhirnya
mempengaruhi identitas partai dan citra publiknya.
Pada dasarnya untuk
menghadapi faktor-faktor ini, partai politik perlu memiliki mekanisme yang kuat
untuk mengelola perbedaan pendapat dan konflik internal. Keterbukaan untuk
mendengarkan dan berkomunikasi antar anggota partai, dialog yang konstruktif,
serta proses pengambilan keputusan yang demokratis dapat membantu menghindari
krisis identitas. Selain itu, partai juga harus terus memantau perkembangan
sosial dan politik, serta melakukan adaptasi yang tepat guna memenuhi tuntutan
dan aspirasi masyarakat. Dengan menjaga kesatuan, konsistensi identitas, dan
adaptabilitas yang baik, partai politik dapat mengatasi krisis identitas dan
memperkuat peran mereka dalam mewakili kepentingan masyarakat serta menjaga
stabilitas dalam sistem politik.
Dalam menghadapi
faktor-faktor yang memicu krisis identitas dalam partai politik, partai
tersebut perlu mengadopsi mekanisme yang kuat untuk mengelola perbedaan
pendapat dan konflik internal. Keterbukaan, komunikasi yang efektif, dan dialog
yang konstruktif merupakan komponen penting dalam menghindari terjadinya krisis
identitas. Partai politik harus memberikan ruang untuk mendengarkan dan
menghargai pandangan beragam anggota partai, sehingga dapat mencapai
kesepakatan dan konsensus yang lebih baik. Selain itu, proses pengambilan
keputusan yang demokratis juga sangat penting. Partai politik harus menjalankan
proses pengambilan keputusan yang inklusif dan transparan, di mana setiap
anggota partai memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif. Dalam hal
ini, partai harus memastikan bahwa mekanisme internal seperti rapat umum
anggota, diskusi terbuka, dan pemilihan kepemimpinan dilakukan secara adil dan
transparan. Dengan cara ini, partai dapat meminimalisir konflik dan
meningkatkan legitimasi keputusan yang diambil.
Disisi lain, Partai
politik juga harus mampu memantau perkembangan sosial dan politik yang terjadi
di masyarakat. Perubahan sosial, tuntutan publik, dan aspirasi masyarakat dapat
berdampak langsung pada identitas dan arah partai politik. Oleh karena itu,
partai perlu memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Partai harus selalu
mengkaji kebijakan dan strategi yang dijalankan, serta melakukan evaluasi
secara berkala untuk memastikan bahwa partai tetap relevan dengan tuntutan dan
aspirasi masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan adaptif, partai dapat
menghindari terperosok ke dalam krisis identitas dan tetap menjadi representatif
bagi kepentingan masyarakat. langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah
dengan menjaga kesatuan dan konsistensi identitas adalah faktor penting dalam
mengatasi krisis identitas. Partai politik harus memiliki visi, nilai, dan
tujuan yang jelas, serta mampu mempertahankan konsistensi dalam haluan ideologi
dan pandangan politiknya. Melalui pemahaman yang kuat terhadap identitas
partai, partai politik dapat membangun citra yang konsisten di mata publik dan
memperkuat kepercayaan yang diberikan oleh pendukungnya. Hal ini juga dapat
meminimalisir potensi perpecahan dan konflik internal.
Daftar Pustaka:
Romli, L. (2018). Koalisi
Dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi. Jurnal Politica
Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 8(2).
Priyowidodo,
G. (2014). Refleksi Akhir Tahun: Menanti Islah, Partai Pecah Kongsi. Refleksi
Akhir Tahun: Menanti Islah, Partai Pecah Kongsi.
Winarti, N.,
& Nazaki, N. (2019). Problematika Kelembagaan Partai Politik. KEMUDI:
Jurnal Ilmu Pemerintahan, 4(1), 112-122.
No comments:
Post a Comment