Friday 19 May 2023

Krisis Identitas: Perpecahan dan Reorientasi Partai Demokrat Menghadapi Pemilu 2024

 

Lulu Savitri I. Lumuan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Dalam dunia politik yang terus berubah dan kompleks, partai politik sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga identitas dan kesatuan internal mereka. Krisis identitas merupakan fenomena yang dapat mempengaruhi partai politik, baik di tingkat nasional maupun regional, dengan konsekuensi yang signifikan terhadap stabilitas politik dan arah kebijakan yang diambil. Perpecahan dan reorientasi menjadi pemandangan umum saat partai politik berusaha menavigasi tuntutan masyarakat yang berkembang dan persaingan politik yang semakin ketat. Krisis identitas dalam partai politik mencerminkan konflik internal yang muncul akibat perbedaan pendapat dalam hal visi, misi, atau nilai-nilai dasar yang dipegang oleh anggota partai. Perselisihan dalam hal ideologi, kebijakan, atau kepemimpinan sering kali menjadi pemicu utama dalam perpecahan partai. Ketika partai politik menghadapi krisis identitas, reorientasi menjadi langkah penting untuk mencari jati diri baru dan menarik kembali dukungan masyarakat.

Studi riset yang dilakukan oleh Winarti & Nazaki, (2019) menunjukan bahwa ketika partai politik mengalami krisis identitas, hal ini cenderung mempengaruhi kemampuan partai politik untuk mewakili dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan pemilih mereka dengan efektif. Bila merujuk pada hasil temuan tersebut, kita dapat menginterpretasikan bahwa krisis identitas dalam partai politik sebenarnya dapat mengakibatkan kebingungan mengenai platform politik, arah kebijakan, dan nilai-nilai yang dianut oleh partai. Akibatnya, partai politik mungkin gagal memberikan representasi yang jelas dan konsisten terhadap pemilih mereka. Ketidakpastian dan inkonsistensi dalam pandangan dan kebijakan partai dapat mengakibatkan pemilih merasa kurang terwakili atau bahkan kehilangan kepercayaan terhadap partai tersebut. Dalam konteks krisis fungsi representasi, pemilih mungkin merasa sulit untuk mengidentifikasi partai politik yang mewakili kepentingan dan nilai-nilai mereka.

Selain itu, krisis identitas dalam partai politik juga dapat mengakibatkan polarisasi di antara pemilih, di mana kelompok-kelompok pemilih tertentu cenderung beralih ke partai-partai yang menawarkan identitas politik yang lebih konsisten atau sesuai dengan pandangan mereka. Krisis identitas partai politik tercermin dari salah satu partai politik yang pernah berkuasa di Indonesia, yaitu Partai Demokrat. Partai ini awalnya menunjukkan konsistensi identitas di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berhasil menarik banyak simpati dari publik. Namun, setelah terjadi peralihan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Ari Murti Yudhoyono, tidak berlangsung lama yang dimana pada tahun 2022, terjadi gejolak konflik internal dalam partai tersebut. Peristiwa ini lebih dikenal dengan sebutan tragedi dua kubu di Partai Demokrat, yaitu kubu Ari Murti Yudhoyono sebagai ketua umum yang sah secara kelembagaan partai dan kubu Moeldoko sebagai ketua umum versi KLB. Konflik antara kedua kubu tersebut menunjukkan perpecahan dalam pandangan politik, visi, dan kepemimpinan dalam Partai Demokrat.

 Seiring dengan berlanjutnya konflik, partai ini menghadapi tantangan dalam menjaga identitas yang konsisten, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas dan arah partai politik tersebut. Perbedaan pendapat dan perselisihan kepemimpinan menjadi faktor krusial yang memicu konflik dalam Partai Demokrat. Kedua kubu memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengelola partai dan memilih arah kebijakan yang diambil. Hal ini menyebabkan perpecahan di antara anggota partai, dengan masing-masing kubu berupaya memperoleh dukungan sebanyak mungkin. Dampak dari krisis identitas dan konflik internal ini terhadap Partai Demokrat cukup signifikan. Salah satu dampaknya adalah penurunan dukungan publik dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat terhadap partai ini. Pemilih yang sebelumnya mendukung Partai Demokrat karena identitas dan kepemimpinan SBY mungkin merasa bingung dan kecewa dengan situasi yang memunculkan perselisihan dalam partai. Selain itu, krisis identitas dan perpecahan ini juga berdampak pada stabilitas partai politik itu sendiri. Ketidakstabilan kepemimpinan, pertentangan internal, dan fokus yang terpecah mempengaruhi kemampuan partai dalam menyusun kebijakan yang konsisten dan efektif. Ini dapat mengurangi daya tarik dan daya saing partai dalam arena politik.

Seiring berjalannya waktu, Partai Demokrat berusaha melakukan reorientasi untuk mengatasi krisis identitas dan restrukturisasi partai. Beberapa upaya yang dilakukan mencakup restrukturisasi internal, perubahan kebijakan, dan upaya untuk menyatukan kembali anggota partai yang terpecah menjadi dua kubu. Proses reorientasi ini menjadi tantangan yang kompleks. Membutuhkan komunikasi yang efektif, negosiasi, dan kompromi untuk mencapai rekonsiliasi di antara anggota partai yang berselisih. Selain itu, partai juga perlu melakukan upaya nyata dalam memperbaiki citra dan memperoleh kembali kepercayaan publik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa partai politik adalah instrumen penting dalam sistem demokrasi. Stabilitas, kesatuan, dan identitas yang konsisten dalam partai politik memainkan peran penting dalam mewakili kepentingan masyarakat, membangun kepercayaan, dan mempertahankan stabilitas politik. sehingga Proses reorientasi dan rekonsiliasi menjadi langkah penting untuk memperbaiki citra partai dan membangun kembali kepercayaan publik. Hanya dengan menjaga konsistensi identitas, partai politik dapat memainkan peran yang efektif dalam mewakili dan melayani kepentingan masyarakat.

Berkenaan dengan krisis identitas atas perpecahan dan reorientasi dalam partai politik Priyowidodo, (2014) membagi menjadi lima faktor diantaranya;

(1)  Perbedaan orientasi ideologi partai politik: Ideologi adalah salah satu faktor yang dapat memicu krisis identitas dalam partai. Ketika anggota partai memiliki perbedaan pendapat dalam hal haluan ideologi yang ingin diperjuangkan, hal ini dapat menimbulkan konflik internal dan merusak kesatuan partai. Perbedaan pandangan tentang nilai-nilai politik, visi, dan arah kebijakan dapat menyebabkan ketidakselarasan dalam identitas partai dan memicu krisis identitas.

(2)  Perbedaan orientasi kepentingan politik: Kepentingan juga dapat menjadi faktor yang memicu krisis identitas dalam partai politik. Ketika anggota partai memiliki kepentingan politik yang berbeda-beda, terutama dalam hal perebutan kekuasaan atau pengambilan keputusan strategis, hal ini dapat menciptakan perselisihan dan ketidakharmonisan dalam partai. Perbedaan orientasi kepentingan politik dapat mempengaruhi stabilitas partai dan merusak konsistensi identitas partai.

(3)  Perbedaan distribusi dan alokasi peran aktor dalam partai politik: Alokasi peran aktor juga dapat memicu krisis identitas. Ketika terjadi perbedaan pandangan mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing aktor dalam partai, konflik dapat muncul. Ketidakjelasan dalam distribusi dan alokasi peran dapat mengganggu koordinasi dan kerjasama antar anggota partai, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas dan identitas partai.

(4)  Perbedaan implementasi kebijakan partai: Kebijakan juga dapat menjadi faktor yang memicu krisis identitas. Ketika terjadi perbedaan dalam hal bagaimana kebijakan partai harus diimplementasikan, termasuk strategi politik dan tindakan konkret yang diambil, hal ini dapat menciptakan ketidakselarasan dan konflik dalam partai. Jika partai tidak mampu mencapai konsensus mengenai implementasi kebijakan, hal ini dapat merusak identitas partai dan menyebabkan krisis identitas.

(5)  Perbedaan gaya kepemimpinan sang ketua umum partai: Ketika terjadi perbedaan pendekatan dan gaya kepemimpinan yang diusung oleh ketua umum partai, ini dapat menciptakan polarisasi dan perselisihan di dalam partai. Gaya kepemimpinan yang tidak konsisten atau tidak dapat diterima oleh sebagian anggota partai dapat menghancurkan kesatuan dan identitas partai.

 Disisi lain, Romli, (2018) memiliki pendapat yang berbeda bahwa ketika terjadi krisis identitas atas perpecahan dan reorientasi dalam partai politik itu diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya;

(1)   Perubahan sosial dan politik: Perubahan sosial dan politik yang cepat dan kompleks dapat menimbulkan tantangan bagi partai politik dalam menjaga konsistensi identitas. Ketika tuntutan dan aspirasi masyarakat berubah, partai politik mungkin mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Jika partai tidak dapat secara responsif merespons perubahan tersebut, dapat timbul ketidakcocokan antara apa yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang diperjuangkan oleh partai, yang pada gilirannya dapat menyebabkan krisis identitas.

(2)   Perselisihan ideologi dan kebijakan: Perselisihan dalam hal ideologi, pandangan politik, atau kebijakan dapat menjadi pemicu krisis identitas dalam partai politik. Ketika terjadi perbedaan pendapat yang fundamental antara anggota partai, terutama dalam hal haluan ideologi atau arah kebijakan yang harus diambil, hal ini dapat memunculkan konflik internal yang mengancam kesatuan dan konsistensi identitas partai. Perbedaan pandangan ini dapat memicu perpecahan dan ketidakstabilan dalam partai politik.

(3)   Kontestasi kepemimpinan: Pertentangan dan persaingan dalam hal kepemimpinan partai politik juga dapat menyebabkan krisis identitas. Ketika partai menghadapi ketidaksepakatan mengenai siapa yang akan memimpin dan bagaimana dinamika kekuasaan partai berkembang, ini dapat mengganggu kesatuan dan stabilitas partai. Persaingan internal yang intens dapat memicu konflik dan perpecahan, yang pada akhirnya mempengaruhi identitas partai dan citra publiknya.

Pada dasarnya untuk menghadapi faktor-faktor ini, partai politik perlu memiliki mekanisme yang kuat untuk mengelola perbedaan pendapat dan konflik internal. Keterbukaan untuk mendengarkan dan berkomunikasi antar anggota partai, dialog yang konstruktif, serta proses pengambilan keputusan yang demokratis dapat membantu menghindari krisis identitas. Selain itu, partai juga harus terus memantau perkembangan sosial dan politik, serta melakukan adaptasi yang tepat guna memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dengan menjaga kesatuan, konsistensi identitas, dan adaptabilitas yang baik, partai politik dapat mengatasi krisis identitas dan memperkuat peran mereka dalam mewakili kepentingan masyarakat serta menjaga stabilitas dalam sistem politik.

Dalam menghadapi faktor-faktor yang memicu krisis identitas dalam partai politik, partai tersebut perlu mengadopsi mekanisme yang kuat untuk mengelola perbedaan pendapat dan konflik internal. Keterbukaan, komunikasi yang efektif, dan dialog yang konstruktif merupakan komponen penting dalam menghindari terjadinya krisis identitas. Partai politik harus memberikan ruang untuk mendengarkan dan menghargai pandangan beragam anggota partai, sehingga dapat mencapai kesepakatan dan konsensus yang lebih baik. Selain itu, proses pengambilan keputusan yang demokratis juga sangat penting. Partai politik harus menjalankan proses pengambilan keputusan yang inklusif dan transparan, di mana setiap anggota partai memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif. Dalam hal ini, partai harus memastikan bahwa mekanisme internal seperti rapat umum anggota, diskusi terbuka, dan pemilihan kepemimpinan dilakukan secara adil dan transparan. Dengan cara ini, partai dapat meminimalisir konflik dan meningkatkan legitimasi keputusan yang diambil.

Disisi lain, Partai politik juga harus mampu memantau perkembangan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Perubahan sosial, tuntutan publik, dan aspirasi masyarakat dapat berdampak langsung pada identitas dan arah partai politik. Oleh karena itu, partai perlu memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Partai harus selalu mengkaji kebijakan dan strategi yang dijalankan, serta melakukan evaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa partai tetap relevan dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan adaptif, partai dapat menghindari terperosok ke dalam krisis identitas dan tetap menjadi representatif bagi kepentingan masyarakat. langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kesatuan dan konsistensi identitas adalah faktor penting dalam mengatasi krisis identitas. Partai politik harus memiliki visi, nilai, dan tujuan yang jelas, serta mampu mempertahankan konsistensi dalam haluan ideologi dan pandangan politiknya. Melalui pemahaman yang kuat terhadap identitas partai, partai politik dapat membangun citra yang konsisten di mata publik dan memperkuat kepercayaan yang diberikan oleh pendukungnya. Hal ini juga dapat meminimalisir potensi perpecahan dan konflik internal.

Daftar Pustaka:

Romli, L. (2018). Koalisi Dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 8(2).

Priyowidodo, G. (2014). Refleksi Akhir Tahun: Menanti Islah, Partai Pecah Kongsi. Refleksi Akhir Tahun: Menanti Islah, Partai Pecah Kongsi.

Winarti, N., & Nazaki, N. (2019). Problematika Kelembagaan Partai Politik. KEMUDI: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 4(1), 112-122.

No comments: