Thursday 18 May 2023

Dibalik Angka: Sistem Presidensial Threshold 20% dan Implikasinya Bagi Partai Politik

Farhana Putri Maramis
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Akhir-akhir ini, sistem Presidensial Threshold 20% telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia. Sistem ini membatasi partai politik yang dapat mencalonkan kandidat presiden, dengan persyaratan bahwa partai harus memperoleh minimal 20% suara nasional atau 25% kursi di parlemen untuk dapat mengajukan calon presiden. Sistem Presidensial Threshold 20% berakar pada suatu konsep ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh partai politik agar dapat mencalonkan kandidat presiden. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mendorong stabilitas politik, mencegah fragmentasi kekuasaan, dan memperkuat partai politik. Secara historis. pengimplementasian Sistem Presidensial Threshold dapat ditelusuri kembali ke negara-negara Amerika Latin pada paruh pertama abad ke-20. Seperti negara Argentina, Brasil, dan Meksiko yang pertama kali menerapkan ambang batas suara atau persentase kursi parlemen yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat mencalonkan calon presiden. Adapun tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menghindari kegagalan pemerintahan yang tidak stabil dan membatasi fragmentasi partai politik. (Haris, 2014).

Disisi lain, sistem ini memiliki dampak yang signifikan terhadap paradigma dan dinamika partai politik di Indonesia. Perubahan paradigma dalam partai politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari seiring dengan adanya perubahan regulasi politik yang selalu berubah-ubah. Paradigma yang mengacu pada pola pikir, strategi, dan orientasi partai politik akan mengalami pergeseran sebagai respons terhadap tuntutan dan persyaratan baru yang ditetapkan oleh sistem tersebut. di Indonesia, Sistem Presidensial Threshold 20% diperkenalkan dalam upaya untuk mengatasi kelemahan sistem presidensial sebelumnya yang menghasilkan banyak partai politik kecil dan koalisi pemerintahan yang rapuh. Pada awalnya, ambang batas yang ditetapkan adalah 3,5% dari suara nasional atau 4% kursi di parlemen. Namun, pada tahun 2019, Undang-Undang Pemilu direvisi dan ambang batas ditingkatkan menjadi 20% suara nasional atau 25% kursi di parlemen. (Putra, 2019).

Salah satu perubahan paradigma yang terjadi adalah bahwa partai politik menjadi lebih fokus dan berorientasi pada konsolidasi internal. Sebelum adanya Sistem Presidensial Threshold 20%, partai politik sering kali mengadopsi strategi koalisi yang luas dengan berbagai partai kecil untuk memperoleh dukungan elektoral yang lebih besar. Namun, dengan adanya persyaratan ambang batas yang lebih tinggi, partai politik menjadi lebih berupaya untuk membangun kekuatan dan popularitas sendiri secara mandiri. Paradigma kolaborasi dengan partai lain beralih menjadi upaya untuk memperkuat struktur internal partai dan membangun basis elektoral yang kuat. Perubahan paradigma lainnya adalah munculnya dorongan partai politik untuk meningkatkan kualitas dan visibilitas calon presiden mereka. Dalam upaya untuk memenuhi persyaratan Sistem Presidensial Threshold 20%, partai politik cenderung mencalonkan kandidat yang memiliki popularitas tinggi, kapasitas kepemimpinan yang kuat, dan rekam jejak yang meyakinkan. Secara realitas, penerapan Sistem Presidensial Threshold 20% di Indonesia telah mempengaruhi dinamika partai politik secara signifikan. Salah satu dampaknya adalah munculnya paradigma baru dalam politik, di mana partai politik harus berjuang untuk mencapai persyaratan ambang batas agar dapat mencalonkan calon presiden. Ini mendorong partai politik untuk lebih fokus pada konsolidasi internal, selektif dalam memilih calon, dan meningkatkan strategi komunikasi dan kampanye politik.

Akibatnya, hal ini mengubah cara pandang partai politik merekrut dan mempersiapkan calon presiden, di mana kini lebih diperhatikan aspek elektabilitas dan kemampuan untuk menggerakkan massa pemilih. Paradigma ini menggiring partai politik untuk lebih selektif dan kritis dalam memilih calon presiden mereka, dengan harapan dapat mengatasi ambang batas yang ditetapkan oleh sistem. Selain itu, perubahan paradigma dalam partai politik juga tercermin dalam strategi komunikasi dan kampanye politik yang mereka lakukan. Dalam upaya untuk mencapai ambang batas persyaratan, partai politik harus lebih proaktif dan inovatif dalam mengkomunikasikan visi, program, dan pesan politik mereka kepada publik. Paradigma kampanye politik berubah dari sekadar mengejar popularitas ke arah membangun kesadaran, kepercayaan, dan dukungan publik yang kuat. Partai politik harus meningkatkan kualitas komunikasi politik mereka melalui berbagai saluran media dan strategi kampanye yang lebih terarah, responsif, dan efektif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sistem Presidensial Threshold 20% memberikan tekanan dan tantangan baru bagi partai politik di Indonesia. Namun, perubahan paradigma yang terjadi juga memberikan peluang untuk melakukan transformasi yang lebih baik dalam sistem politik. Paradigma kolaborasi yang lebih terbatas dan pemilihan calon presiden yang lebih selektif dapat membawa dampak positif dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan dan stabilitas politik di negara ini. Selain itu, perubahan paradigma juga mendorong partai politik untuk lebih fokus pada kepentingan publik, memperkuat struktur internal, dan meningkatkan akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab politik mereka. Namun, perlu diingat bahwa perubahan paradigma ini juga menghadirkan risiko, terutama terkait dengan kecenderungan oligarki politik dan kurangnya ruang untuk partai-partai kecil dan calon independen. Adanya ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kepentingan politik dan masyarakat sipil untuk terus memantau dan mendorong adanya penyesuaian yang adil dan inklusif dalam sistem ini.

Secara keseluruhan, Sistem Presidensial Threshold 20% membawa perubahan paradigma yang signifikan dalam partai politik di Indonesia. Paradigma kolaborasi yang luas berubah menjadi fokus pada konsolidasi internal dan pemilihan calon presiden yang lebih selektif. Perubahan ini juga mempengaruhi strategi komunikasi dan kampanye politik partai politik. Meskipun ada tantangan yang perlu diatasi, perubahan paradigma ini memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dan stabilitas politik. Dalam konteks yang lebih luas, penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan inklusivitas demokrasi, sehingga partai politik dapat berfungsi sebagai wadah yang kuat untuk perwakilan dan pelayanan publik. Namun, terlepas dari hal itu sistem Presidensial Threshold 20% juga disatu sisi menuai kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik, serta membatasi pluralisme politik dengan menguntungkan partai politik yang sudah mapan dan menghambat partai-partai kecil serta calon independen. Selain itu, ada juga kekhawatiran akan potensi terjadinya oligarki politik, di mana hanya partai-partai besar yang mendominasi panggung politik.

Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, penerapan Presidensial threshold dianggap sebagai kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini juga menyatakan bahwa Presidensial threshold tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat, dan tidak bersifat diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, dikemukakan bahwa ketentuan mengenai Presidensial threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang. Istilah kebijakan hukum terbuka ini berarti bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kebebasan untuk mengambil kebijakan hukum.

Atas putusan tersebut, tentu di satu sisi tidak dapat pula dibedakan bahwa keseluruhan mekanisme sistem presidensial treshold tidak memiliki dampak-dampak tertentu bagi partai politik. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ambarwati at.,al (2020) mengklasifikasikan dampak positif dan negatif mengenai sistem Presidensial Threshold 20% diantaranya sebagai berikut:

1.      Dampak Positif:

a)     Stabilitas Politik:

Salah satu dampak positif yang diungkapkan adalah peningkatan stabilitas politik. Dengan menerapkan ambang batas yang tinggi, sistem ini bertujuan untuk mencegah fragmentasi partai politik dan mengurangi pembentukan pemerintahan koalisi yang rapuh. Dengan demikian, diharapkan dapat memperkuat pemerintahan dan kestabilan politik di negara tersebut.

b)     Pemilihan Calon yang Lebih Berkualitas:

Adanya ambang batas yang tinggi mendorong partai politik untuk lebih selektif dalam memilih calon presiden. Dalam upaya mencapai ambang batas tersebut, partai politik cenderung mencalonkan kandidat yang memiliki popularitas tinggi, kapasitas kepemimpinan yang kuat, dan rekam jejak yang meyakinkan. Hal ini dapat berdampak positif dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan dan pemimpin yang berkualitas.

c)      Konsolidasi Partai Politik:

Sistem ini juga mendorong partai politik untuk lebih fokus pada konsolidasi internal. Dalam upaya untuk mencapai persyaratan ambang batas, partai politik harus memperkuat struktur internal, membangun basis elektoral yang kuat, dan meningkatkan koherensi partai. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperkuat partai politik sebagai lembaga yang kuat dan efektif dalam mewakili kepentingan publik.

2.      Dampak Negatif:

a)     Pembatasan Pluralisme Politik:

Salah satu kritik utama terhadap Sistem Presidensial Threshold 20% adalah bahwa ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik. Partai-partai kecil dan calon independen mungkin menghadapi kesulitan dalam mencapai persyaratan ambang batas ini, sehingga mengurangi pluralisme politik dan berpotensi membatasi variasi ideologi dan pandangan politik yang diwakili dalam pemerintahan.

b)     Potensi Oligarki Politik:

Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa sistem ini dapat mengarah pada oligarki politik, di mana hanya partai-partai besar yang dominan dan memiliki kendali penuh terhadap pemerintahan. Hal ini dapat mengurangi persaingan politik yang sehat dan menghambat keberagaman suara politik di negara tersebut.

c)      Kurangnya Representasi:

Sistem ini juga dapat menghasilkan ketidak representatif partai politik dalam pemerintahan. Akibatnya, partai politik yang tidak mendapatkan kesempatan dalam mengajukan calon presiden menimbulkan permasalahan yang tim yang cenderung kalah akan selalu berada pada oposisi dan selalu mencari celah atau masalah pada partai politik yang memenangkan pemilihan presiden.

Selanjutnya Ansori, (2017) menyatakan bahwa penerapan Presidensial threshold mengandung konsekuensi hilangnya kesempatan dan hak warga negara melalui partai politik yang tidak memenuhi besaran angka yang ditentukan untuk mengajukan calonnya. Oleh karena itu perlu diperhatikan, sesuai dengan prinsip demokrasi, dalam penentuan ambang batas besaran Presidensial threshold tidak boleh merugikan kelompok masyarakat tertentu terutama minoritas. Penentuan ambang batas Presidensial threshold harus memperhatikan keragaman masyarakat yang tercermin dalam aspirasi politik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Dibalik angka, terdapat dua hal yang dapat diamati, yaitu Sistem Presidensial Threshold 20% dan perubahan paradigma partai politik. Sistem Presidensial Threshold 20% dan perubahan paradigma partai politik memiliki implikasi yang signifikan dalam partai politik. Sedangkan Aturan ambang batas ini mendorong partai politik untuk beradaptasi dan memperhatikan kepentingan masyarakat secara lebih intensif. Perubahan paradigma partai politik menjadi lebih responsif terhadap aspirasi publik adalah refleksi dari permintaan masyarakat yang semakin tinggi akan akuntabilitas dan partisipasi politik.

Daftar Pustaka:

Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidensial Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.

Ambarwati, S. D., Saifulloh, M. R., & Aritonang, S. M. (2020). Rekonstruksi Sistem Presidensial Threshold Dalam Sistem Pemilu Di Indonesia:(Studi Perbandingan Sistem Presidensial Threshold Indonesia Dan Brazil). Jurnal Hukum Lex Generalis, 1(5), 80-95.

Haris, S. (2014). Masalah-Masalah Demokrasi Dan Kebangsaan Era Reformasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Putra, A. (2019). Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/Puu-Xv/2017 Tentang Presidensial Threshold Sebagai Syarat Ambang Batas Pengajuan Presiden Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Doctoral Dissertation, Iain Jember).

 

No comments: