Farhana Putri Maramis
Mahasiswa Jurusan
Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo
Akhir-akhir ini, sistem Presidensial
Threshold 20% telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan di
Indonesia. Sistem ini membatasi partai politik yang dapat mencalonkan kandidat
presiden, dengan persyaratan bahwa partai harus memperoleh minimal 20% suara
nasional atau 25% kursi di parlemen untuk dapat mengajukan calon presiden.
Sistem Presidensial Threshold 20% berakar pada suatu konsep ambang batas atau
persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh partai politik agar dapat
mencalonkan kandidat presiden. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mendorong
stabilitas politik, mencegah fragmentasi kekuasaan, dan memperkuat partai
politik. Secara historis. pengimplementasian Sistem Presidensial Threshold
dapat ditelusuri kembali ke negara-negara Amerika Latin pada paruh pertama abad
ke-20. Seperti negara Argentina, Brasil, dan Meksiko yang pertama kali
menerapkan ambang batas suara atau persentase kursi parlemen yang harus
dipenuhi oleh partai politik untuk dapat mencalonkan calon presiden. Adapun
tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menghindari kegagalan pemerintahan
yang tidak stabil dan membatasi fragmentasi partai politik. (Haris, 2014).
Disisi lain, sistem ini memiliki
dampak yang signifikan terhadap paradigma dan dinamika partai politik di Indonesia.
Perubahan paradigma dalam partai politik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari seiring dengan adanya perubahan regulasi politik yang selalu
berubah-ubah. Paradigma yang mengacu pada pola pikir, strategi, dan orientasi
partai politik akan mengalami pergeseran sebagai respons terhadap tuntutan dan
persyaratan baru yang ditetapkan oleh sistem tersebut. di Indonesia, Sistem Presidensial
Threshold 20% diperkenalkan dalam upaya untuk mengatasi kelemahan sistem
presidensial sebelumnya yang menghasilkan banyak partai politik kecil dan
koalisi pemerintahan yang rapuh. Pada awalnya, ambang batas yang ditetapkan
adalah 3,5% dari suara nasional atau 4% kursi di parlemen. Namun, pada tahun
2019, Undang-Undang Pemilu direvisi dan ambang batas ditingkatkan menjadi 20%
suara nasional atau 25% kursi di parlemen. (Putra, 2019).
Salah satu perubahan paradigma
yang terjadi adalah bahwa partai politik menjadi lebih fokus dan berorientasi
pada konsolidasi internal. Sebelum adanya Sistem Presidensial Threshold 20%, partai
politik sering kali mengadopsi strategi koalisi yang luas dengan berbagai
partai kecil untuk memperoleh dukungan elektoral yang lebih besar. Namun,
dengan adanya persyaratan ambang batas yang lebih tinggi, partai politik
menjadi lebih berupaya untuk membangun kekuatan dan popularitas sendiri secara
mandiri. Paradigma kolaborasi dengan partai lain beralih menjadi upaya untuk
memperkuat struktur internal partai dan membangun basis elektoral yang kuat.
Perubahan paradigma lainnya adalah munculnya dorongan partai politik untuk
meningkatkan kualitas dan visibilitas calon presiden mereka. Dalam upaya untuk
memenuhi persyaratan Sistem Presidensial Threshold 20%, partai politik
cenderung mencalonkan kandidat yang memiliki popularitas tinggi, kapasitas
kepemimpinan yang kuat, dan rekam jejak yang meyakinkan. Secara realitas,
penerapan Sistem Presidensial Threshold 20% di Indonesia telah mempengaruhi
dinamika partai politik secara signifikan. Salah satu dampaknya adalah
munculnya paradigma baru dalam politik, di mana partai politik harus berjuang
untuk mencapai persyaratan ambang batas agar dapat mencalonkan calon presiden.
Ini mendorong partai politik untuk lebih fokus pada konsolidasi internal,
selektif dalam memilih calon, dan meningkatkan strategi komunikasi dan kampanye
politik.
Akibatnya, hal ini mengubah cara
pandang partai politik merekrut dan mempersiapkan calon presiden, di mana kini
lebih diperhatikan aspek elektabilitas dan kemampuan untuk menggerakkan massa
pemilih. Paradigma ini menggiring partai politik untuk lebih selektif dan
kritis dalam memilih calon presiden mereka, dengan harapan dapat mengatasi
ambang batas yang ditetapkan oleh sistem. Selain itu, perubahan paradigma dalam
partai politik juga tercermin dalam strategi komunikasi dan kampanye politik
yang mereka lakukan. Dalam upaya untuk mencapai ambang batas persyaratan,
partai politik harus lebih proaktif dan inovatif dalam mengkomunikasikan visi,
program, dan pesan politik mereka kepada publik. Paradigma kampanye politik
berubah dari sekadar mengejar popularitas ke arah membangun kesadaran,
kepercayaan, dan dukungan publik yang kuat. Partai politik harus meningkatkan
kualitas komunikasi politik mereka melalui berbagai saluran media dan strategi
kampanye yang lebih terarah, responsif, dan efektif.
Tidak dapat dipungkiri bahwa
Sistem Presidensial Threshold 20% memberikan tekanan dan tantangan baru bagi
partai politik di Indonesia. Namun, perubahan paradigma yang terjadi juga
memberikan peluang untuk melakukan transformasi yang lebih baik dalam sistem
politik. Paradigma kolaborasi yang lebih terbatas dan pemilihan calon presiden
yang lebih selektif dapat membawa dampak positif dalam meningkatkan kualitas
kepemimpinan dan stabilitas politik di negara ini. Selain itu, perubahan
paradigma juga mendorong partai politik untuk lebih fokus pada kepentingan
publik, memperkuat struktur internal, dan meningkatkan akuntabilitas dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab politik mereka. Namun, perlu diingat bahwa
perubahan paradigma ini juga menghadirkan risiko, terutama terkait dengan
kecenderungan oligarki politik dan kurangnya ruang untuk partai-partai kecil
dan calon independen. Adanya ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang
demokrasi dan partisipasi politik yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi
para pemangku kepentingan politik dan masyarakat sipil untuk terus memantau dan
mendorong adanya penyesuaian yang adil dan inklusif dalam sistem ini.
Secara keseluruhan, Sistem Presidensial
Threshold 20% membawa perubahan paradigma yang signifikan dalam partai politik
di Indonesia. Paradigma kolaborasi yang luas berubah menjadi fokus pada
konsolidasi internal dan pemilihan calon presiden yang lebih selektif.
Perubahan ini juga mempengaruhi strategi komunikasi dan kampanye politik partai politik.
Meskipun ada tantangan yang perlu diatasi, perubahan paradigma ini memberikan
kesempatan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dan stabilitas politik.
Dalam konteks yang lebih luas, penting untuk menjaga keseimbangan antara
stabilitas politik dan inklusivitas demokrasi, sehingga partai politik dapat
berfungsi sebagai wadah yang kuat untuk perwakilan dan pelayanan publik. Namun,
terlepas dari hal itu sistem Presidensial Threshold 20% juga disatu sisi menuai
kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa ambang batas yang tinggi dapat
mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik, serta membatasi
pluralisme politik dengan menguntungkan partai politik yang sudah mapan dan
menghambat partai-partai kecil serta calon independen. Selain itu, ada juga
kekhawatiran akan potensi terjadinya oligarki politik, di mana hanya
partai-partai besar yang mendominasi panggung politik.
Melalui putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, penerapan Presidensial threshold dianggap
sebagai kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi
partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Putusan ini juga menyatakan bahwa Presidensial threshold tidak bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat, dan tidak bersifat
diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik. Dalam putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, dikemukakan bahwa ketentuan mengenai Presidensial
threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk
Undang-Undang. Istilah kebijakan hukum terbuka ini berarti bahwa pembentuk
Undang-Undang memiliki kebebasan untuk mengambil kebijakan hukum.
Atas putusan tersebut, tentu di satu sisi tidak dapat pula dibedakan bahwa
keseluruhan mekanisme sistem presidensial treshold tidak memiliki dampak-dampak tertentu bagi partai politik. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ambarwati at.,al (2020) mengklasifikasikan dampak positif dan negatif
mengenai sistem Presidensial Threshold 20% diantaranya sebagai berikut:
1.
Dampak
Positif:
a)
Stabilitas
Politik:
Salah satu dampak positif yang
diungkapkan adalah peningkatan stabilitas politik. Dengan menerapkan ambang
batas yang tinggi, sistem ini bertujuan untuk mencegah fragmentasi partai
politik dan mengurangi pembentukan pemerintahan koalisi yang rapuh. Dengan
demikian, diharapkan dapat memperkuat pemerintahan dan kestabilan politik di
negara tersebut.
b)
Pemilihan
Calon yang Lebih Berkualitas:
Adanya ambang batas yang tinggi
mendorong partai politik untuk lebih selektif dalam memilih calon presiden.
Dalam upaya mencapai ambang batas tersebut, partai politik cenderung
mencalonkan kandidat yang memiliki popularitas tinggi, kapasitas kepemimpinan
yang kuat, dan rekam jejak yang meyakinkan. Hal ini dapat berdampak positif
dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan dan pemimpin yang berkualitas.
c)
Konsolidasi
Partai Politik:
Sistem ini juga mendorong partai
politik untuk lebih fokus pada konsolidasi internal. Dalam upaya untuk mencapai
persyaratan ambang batas, partai politik harus memperkuat struktur internal,
membangun basis elektoral yang kuat, dan meningkatkan koherensi partai. Dalam
jangka panjang, hal ini dapat memperkuat partai politik sebagai lembaga yang
kuat dan efektif dalam mewakili kepentingan publik.
2.
Dampak Negatif:
a)
Pembatasan
Pluralisme Politik:
Salah satu kritik utama terhadap
Sistem Presidensial Threshold 20% adalah bahwa ambang batas yang tinggi dapat
mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik. Partai-partai kecil dan
calon independen mungkin menghadapi kesulitan dalam mencapai persyaratan ambang
batas ini, sehingga mengurangi pluralisme politik dan berpotensi membatasi
variasi ideologi dan pandangan politik yang diwakili dalam pemerintahan.
b)
Potensi
Oligarki Politik:
Beberapa ahli mengkhawatirkan
bahwa sistem ini dapat mengarah pada oligarki politik, di mana hanya
partai-partai besar yang dominan dan memiliki kendali penuh terhadap
pemerintahan. Hal ini dapat mengurangi persaingan politik yang sehat dan
menghambat keberagaman suara politik di negara tersebut.
c)
Kurangnya
Representasi:
Sistem ini juga dapat
menghasilkan ketidak representatif partai politik dalam pemerintahan. Akibatnya, partai
politik yang tidak mendapatkan kesempatan dalam mengajukan calon presiden
menimbulkan permasalahan yang tim yang
cenderung kalah akan selalu berada pada oposisi dan selalu mencari celah atau masalah pada partai politik yang memenangkan pemilihan presiden.
Selanjutnya
Ansori, (2017) menyatakan bahwa penerapan Presidensial threshold mengandung
konsekuensi hilangnya kesempatan dan hak warga negara melalui partai politik
yang tidak memenuhi besaran angka yang ditentukan untuk mengajukan calonnya.
Oleh karena itu perlu diperhatikan, sesuai dengan prinsip demokrasi, dalam
penentuan ambang batas besaran Presidensial threshold tidak boleh merugikan
kelompok masyarakat tertentu terutama minoritas. Penentuan ambang batas Presidensial
threshold harus memperhatikan keragaman masyarakat yang tercermin dalam
aspirasi politik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Dibalik angka,
terdapat dua hal yang dapat diamati, yaitu Sistem Presidensial Threshold 20%
dan perubahan paradigma partai politik. Sistem Presidensial Threshold 20% dan
perubahan paradigma partai politik memiliki implikasi yang signifikan dalam
partai politik. Sedangkan Aturan ambang batas ini mendorong partai politik
untuk beradaptasi dan memperhatikan kepentingan masyarakat secara lebih
intensif. Perubahan paradigma partai politik menjadi lebih responsif terhadap
aspirasi publik adalah refleksi dari permintaan masyarakat yang semakin tinggi
akan akuntabilitas dan partisipasi politik.
Daftar Pustaka:
Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidensial Threshold
Dalam Pemilu Serentak 2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.
Ambarwati, S. D., Saifulloh, M. R., & Aritonang, S. M. (2020). Rekonstruksi Sistem Presidensial Threshold Dalam Sistem Pemilu Di Indonesia:(Studi Perbandingan Sistem Presidensial Threshold Indonesia Dan Brazil). Jurnal Hukum Lex Generalis, 1(5), 80-95.
Haris, S. (2014). Masalah-Masalah Demokrasi Dan
Kebangsaan Era Reformasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Putra, A. (2019). Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/Puu-Xv/2017 Tentang Presidensial
Threshold Sebagai Syarat Ambang Batas Pengajuan Presiden Dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 (Doctoral Dissertation, Iain Jember).
No comments:
Post a Comment