Thursday 18 May 2023

Ganjar Diusung KIB Meradang?

 

Puput Riana Rusli
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Perkembangan koalisi partai di Indonesia telah mengalami berbagai fase dan dinamika sepanjang sejarah politik negara ini. Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya pada tahun 1945, terbentuklah berbagai partai politik yang berjuang untuk membangun negara baru. Pada masa ini, koalisi partai politik lebih didasarkan pada persamaan visi dan tujuan dalam memperjuangkan kemerdekaan serta pembentukan negara yang merdeka, seperti Koalisi Merdeka, yang terdiri dari beberapa partai seperti PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Jurdi, (2020) berpendapat bahwa pada era Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, partai-partai politik diharuskan bergabung dalam dua faksi besar, yaitu Front Nasional dan Front Demokrasi Rakyat. Faksi ini merupakan bentuk koalisi partai politik yang didominasi oleh partai politik yang mendukung pemerintah. Meskipun terdapat kekurangan dalam hal pluralisme politik, periode ini juga menyaksikan berbagai upaya kolaborasi dan koalisi partai politik.

Pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, sistem politik di Indonesia didominasi oleh satu partai politik, yaitu Golkar. Namun, di balik dominasi Golkar, terdapat juga koalisi informal dengan partai-partai minoritas seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Koalisi ini pada umumnya dijalin melalui strategi politik seperti Penyatuan Kembali (PENK) pada tahun 1973, yang menggabungkan PNI dengan PPP menjadi PPP-Karya Pembangunan. Era Reformasi. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 dan dimulainya era Reformasi, terjadi perubahan dramatis dalam dinamika koalisi partai politik di Indonesia. Era Reformasi ditandai dengan munculnya berbagai partai politik baru dan meningkatnya pluralisme politik. Partai-partai politik membentuk koalisi dalam berbagai bentuk, baik sebelum maupun setelah pemilihan umum, untuk memperoleh dukungan yang lebih luas dan memenangkan kekuasaan politik. (Efriza, 2019).

Pemilihan umum sering kali menjadi panggung yang mempertontonkan perubahan dinamika politik yang menarik dan tak terduga. Dalam konteks ini, sebuah ungkapan terkenal yang sering dikutip adalah "Tidak ada pertemanan yang abadi dalam pemilu. Semua kawan bisa menjadi lawan dan justru sebaliknya!" Ungkapan ini mencerminkan esensi permainan politik yang sering berubah, di mana loyalitas dan aliansi dapat terguncang oleh ambisi dan pergeseran kepentingan politik. Dalam arena politik, persahabatan sering kali menjadi hal yang tidak pasti dan relatif. Ketika para politisi memasuki pertarungan pemilu, loyalitas pribadi dan pertemanan yang terjalin selama bertahun-tahun bisa teruji. Keinginan untuk memperoleh kekuasaan dan pencapaian tujuan politik bisa mengaburkan batas antara kawan dan lawan.

Sebagai contoh, dalam suatu pemilu, partai-partai politik yang sebelumnya bersekutu dan saling mendukung satu sama lain, tiba-tiba dapat berbalik menjadi pesaing yang sengit. Ketika ambisi politik memanas, partai-partai yang dulu bersatu dapat saling bersaing untuk merebut suara dan memenangkan kekuasaan. Aliansi politik yang terjalin lama dapat retak, bahkan pecah, dan loyalitas partai dan politisi bisa beralih dengan cepat. Selain itu, dalam politik, tidak jarang terjadi perpindahan partai atau politisi yang pindah aliansi. Para politisi dapat dengan cepat mengubah kawan menjadi lawan dan sebaliknya. Hal ini bisa terjadi ketika politisi merasa bahwa kepentingan pribadi atau ambisi politiknya lebih baik terpenuhi di tempat lain. Dalam upaya untuk mencapai kekuasaan atau memperkuat posisinya, politisi mungkin memutuskan untuk meninggalkan partai yang sebelumnya didukungnya dan bergabung dengan partai lain yang menawarkan peluang yang lebih baik.

Namun, di balik semua perubahan dinamika politik ini, masih ada kasus di mana pertemanan politik bertahan meskipun dalam persaingan politik yang keras. Beberapa politisi tetap mempertahankan hubungan yang kuat dan saling mendukung di antara mereka, meskipun berada di pihak yang berlawanan dalam pemilu. Mereka membedakan antara persaingan politik dan hubungan personal, dan tidak membiarkan perbedaan pendapat politik menghancurkan persahabatan yang telah terjalin. Di dalam permainan politik, loyalitas dan pertemanan bisa menjadi hal yang relatif. Namun, meskipun demikian, masih ada politisi yang tetap mempertahankan integritas dan hubungan yang kuat, bahkan dalam persaingan politik yang sengit.

Rasanya tak elok bila tidak mengaitkan ungkapan tersebut dengan koalisi indonesia bersatu (KIB) yang terdiri dari partai Golkar, Pan dan Partai PP. Semula hubungan ini begitu romantis. Namun, siapa sangka ketika ganjar di deklarasikan oleh partai PDIP yang diketuai oleh megawati soekarno putri semua sontak para pimpinan parpol yang sudah berkoalisi gelisah dan bahkan tak menayangkan hasil keputusan itu. Hipotesa yang terbangun dalam koalisi indonesia bersatu bahwa capres yang akan diusung oleh PDIP adalah puan maharani. Tapi kenyataanya  semuanya berbanding terbalik. Hasilnya, diusungnya ganjar pranowo sebagai calon presiden disatu sisi menggoyahkan iman partai persatuan pembangunan.

Kenyataan pahit terus dirasakan oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan rekan-rekannya tiba-tiba berpaling dan akhirnya mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Keputusan ini pastinya membuat koalisi meradang. Awalnya, mereka mengharapkan koalisi ini akan terus berjalan hingga menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, tetapi akhirnya mereka kehilangan koalisi mereka. Hal ini tentu menyebabkan kehilangan koalisi yang pada awalnya diharapkan akan solid dan bersatu dalam mendukung calon presiden yang diusung. Keputusan PPP ini merupakan pukulan keras bagi koalisi, dan mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa kekuatan mereka sebagai koalisi telah berkurang.

Perubahan ini juga menyoroti persaingan politik yang terjadi di dalam Partai PPP itu sendiri. Terdapat kemungkinan bahwa keputusan PPP untuk mendukung Ganjar adalah hasil dari dinamika internal partai, pertarungan kekuasaan, atau perhitungan politik yang kompleks. Namun, dampaknya adalah koalisi harus menanggung konsekuensi dari perubahan ini. Keputusan PPP untuk mendukung Ganjar sebagai calon presiden juga memicu pertanyaan tentang stabilitas koalisi secara keseluruhan. Apakah partai-partai lain dalam koalisi akan tetap solid dan bersatu dalam mendukung calon presiden lainnya? Apakah keputusan PPP akan mempengaruhi hubungan politik dan kepercayaan di antara anggota koalisi? Selain itu, kehilangan PPP juga berdampak pada ekspektasi dan harapan yang telah terbangun dalam koalisi. Mereka mungkin telah merencanakan dan mengatur strategi berdasarkan asumsi bahwa PPP akan tetap berada di dalam koalisi dan mendukung calon presiden yang ditetapkan.

Kehilangan ini memaksa koalisi untuk menyesuaikan diri dengan situasi baru dan mencari cara untuk mempertahankan stabilitas serta memperkuat dukungan dari pihak lain. Dengan keadaan ini, tentu Golkar dan Pan harus berfikir secara ekstra untuk bisa memastikan tiket dalam perhelatan pemilihan presiden tahun 2024. Berkenaan dengan keretakan koalisi partai politik Purnamawati, (2020) mensinyalir bahwa keretakan tersebut turut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya;

(1)  Perubahan Sosial:

Politik tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Masyarakat selalu mengalami transformasi dalam hal nilai-nilai, aspirasi, dan tuntutan mereka. Perubahan ini mempengaruhi dinamika politik dan memaksa para pemimpin dan partai politik untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.

(2)  Perubahan Struktural:

Politik juga dipengaruhi oleh perubahan struktural dalam masyarakat, seperti perubahan demografis, perubahan ekonomi, atau perubahan teknologi. Perubahan ini memicu perubahan dalam kekuatan politik, dinamika partai politik, dan cara-cara berpolitik yang efektif.

(3)  Kontestasi Kekuasaan:

Politik adalah arena kontestasi kekuasaan, di mana partai politik dan pemimpin bersaing untuk memperoleh kekuasaan dan mempengaruhi kebijakan. Kontestasi ini mendorong partai dan pemimpin untuk terus beradaptasi dan berinovasi dalam strategi politik mereka agar tetap relevan dan memenuhi harapan pemilih.

(4)  Respons terhadap Tuntutan Publik:

Politik yang dinamis melibatkan respons terhadap tuntutan dan aspirasi publik. Pemimpin dan partai politik harus dapat membaca dan merespons perubahan opini dan kebutuhan publik secara tepat waktu. Mereka harus berupaya memahami dan memperjuangkan isu-isu yang relevan bagi masyarakat agar tetap mempertahankan dukungan dan legitimasi politik.

(5)  Perubahan Ideologi dan Pemikiran Politik:

Ideologi dan pemikiran politik juga mengalami perubahan seiring waktu. Pandangan politik dan nilai-nilai yang relevan di masa lalu mungkin tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat saat ini. Oleh karena itu, partai dan pemimpin politik harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan mengembangkan ideologi dan pemikiran yang relevan untuk menghadapi tantangan politik terkini.

koalisi yang

Disisi lain, Sari (2012) menyatakan bahwa koalisi politik pada dasarnya bersifat pragmatis dan berorientasi pada hasil sementara. Koalisi dibentuk berdasarkan kepentingan elit partai politik dan kekuasaan. Faktor ideologi atau persamaan tujuan dan cita-cita partai menjadi penting dalam mempertahankan kelangsungan sebuah koalisi politik. Koalisi politik adalah aliansi antara dua atau lebih partai politik yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar. Namun, menurut Sari, dasar terbentuknya koalisi umumnya lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis daripada pada ideologi atau persamaan tujuan yang mendalam. Elit partai politik, seperti pemimpin partai atau anggota parlemen yang memiliki pengaruh, seringkali memainkan peran utama dalam membentuk koalisi. Mereka mencari kesempatan untuk memperoleh kekuasaan politik dengan cara menggabungkan kekuatan mereka melalui koalisi. Dalam prosesnya, mereka bisa mengabaikan faktor ideologi atau persamaan tujuan dan lebih fokus pada mencapai kepentingan politik dan kekuasaan.

Namun, faktor ideologi atau persamaan tujuan dan cita-cita partai politik juga dapat menjadi landasan penting bagi sebuah koalisi yang kuat dan berkelanjutan. Koalisi yang didasarkan pada ideologi yang sama atau tujuan politik yang serupa cenderung lebih kohesif dan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi tantangan politik. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa ketika koalisi politik kehilangan dasar ideologis atau persamaan tujuan, maka kemungkinan koalisi tersebut berubah atau bahkan runtuh menjadi lebih besar. Ketika partai-partai dalam koalisi tidak lagi memiliki kesamaan ideologi atau tujuan yang jelas, kepentingan individu atau kelompok dalam partai mungkin mulai mengambil alih. Konflik internal dan persaingan kekuasaan dapat muncul, yang dapat mengancam kestabilan koalisi. Sehingga apabila Koalisi yang terbangun tidak lagi didasari oleh faktor ideologi atau persamaan tujuan dan cita-cita partai maka hal yang lumar koalisi dalam partai politik bisa berubah.

Daftar Pustaka:

Efriza, N. F. N. (2019). Eksistensi Partai Politik Dalam Persepsi Publik [The Existence of The Political Parties in Public Perception]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 10(1), 17-38.

Jurdi, F. (2020). Pengantar Hukum Partai Politik. Prenada Media.

Purnamawati, E. (2020). Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Solusi, 18(2), 251-264.

Sari, S. Y. (2012). Sistem Multipartai di Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2009. Dinamika Politik, 1(01).

 

 


No comments: