Puput Riana Rusli
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo
Perkembangan koalisi partai di Indonesia telah mengalami berbagai fase
dan dinamika sepanjang sejarah politik negara ini. Setelah Indonesia meraih
kemerdekaannya pada tahun 1945, terbentuklah berbagai partai politik yang
berjuang untuk membangun negara baru. Pada masa ini, koalisi partai politik
lebih didasarkan pada persamaan visi dan tujuan dalam memperjuangkan
kemerdekaan serta pembentukan negara yang merdeka, seperti Koalisi Merdeka,
yang terdiri dari beberapa partai seperti PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama.
Jurdi, (2020) berpendapat bahwa pada era Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno, partai-partai politik diharuskan bergabung dalam dua faksi
besar, yaitu Front Nasional dan Front Demokrasi Rakyat. Faksi ini merupakan
bentuk koalisi partai politik yang didominasi oleh partai politik yang
mendukung pemerintah. Meskipun terdapat kekurangan dalam hal pluralisme
politik, periode ini juga menyaksikan berbagai upaya kolaborasi dan koalisi
partai politik.
Pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, sistem politik
di Indonesia didominasi oleh satu partai politik, yaitu Golkar. Namun, di balik
dominasi Golkar, terdapat juga koalisi informal dengan partai-partai minoritas
seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Koalisi ini pada umumnya dijalin melalui strategi politik seperti
Penyatuan Kembali (PENK) pada tahun 1973, yang menggabungkan PNI dengan PPP
menjadi PPP-Karya Pembangunan. Era Reformasi. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru
pada tahun 1998 dan dimulainya era Reformasi, terjadi perubahan dramatis dalam
dinamika koalisi partai politik di Indonesia. Era Reformasi ditandai dengan
munculnya berbagai partai politik baru dan meningkatnya pluralisme politik.
Partai-partai politik membentuk koalisi dalam berbagai bentuk, baik sebelum
maupun setelah pemilihan umum, untuk memperoleh dukungan yang lebih luas dan
memenangkan kekuasaan politik. (Efriza, 2019).
Pemilihan umum sering kali menjadi panggung yang mempertontonkan
perubahan dinamika politik yang menarik dan tak terduga. Dalam konteks ini,
sebuah ungkapan terkenal yang sering dikutip adalah "Tidak ada pertemanan
yang abadi dalam pemilu. Semua kawan bisa menjadi lawan dan justru
sebaliknya!" Ungkapan ini mencerminkan esensi permainan politik yang sering
berubah, di mana loyalitas dan aliansi dapat terguncang oleh ambisi dan
pergeseran kepentingan politik. Dalam arena politik, persahabatan sering kali
menjadi hal yang tidak pasti dan relatif. Ketika para politisi memasuki
pertarungan pemilu, loyalitas pribadi dan
pertemanan yang terjalin selama bertahun-tahun bisa teruji. Keinginan untuk
memperoleh kekuasaan dan pencapaian tujuan politik bisa mengaburkan batas
antara kawan dan lawan.
Sebagai contoh, dalam suatu pemilu, partai-partai politik yang sebelumnya
bersekutu dan saling mendukung satu sama lain, tiba-tiba dapat berbalik menjadi
pesaing yang sengit. Ketika ambisi politik memanas, partai-partai yang dulu
bersatu dapat saling bersaing untuk merebut suara dan memenangkan kekuasaan.
Aliansi politik yang terjalin lama dapat retak, bahkan pecah, dan loyalitas
partai dan politisi bisa beralih dengan cepat. Selain itu, dalam politik, tidak
jarang terjadi perpindahan partai atau politisi yang pindah aliansi. Para
politisi dapat dengan cepat mengubah kawan menjadi lawan dan sebaliknya. Hal
ini bisa terjadi ketika politisi merasa bahwa kepentingan pribadi atau ambisi
politiknya lebih baik terpenuhi di tempat lain. Dalam upaya untuk mencapai
kekuasaan atau memperkuat posisinya, politisi mungkin memutuskan untuk
meninggalkan partai yang sebelumnya didukungnya dan bergabung dengan partai
lain yang menawarkan peluang yang lebih baik.
Namun, di balik semua perubahan dinamika politik ini, masih ada kasus di
mana pertemanan politik bertahan meskipun dalam persaingan politik yang keras.
Beberapa politisi tetap mempertahankan hubungan yang kuat dan saling mendukung
di antara mereka, meskipun berada di pihak yang berlawanan dalam pemilu. Mereka
membedakan antara persaingan politik dan hubungan personal, dan tidak membiarkan
perbedaan pendapat politik menghancurkan persahabatan yang telah terjalin. Di
dalam permainan politik, loyalitas dan pertemanan bisa menjadi hal yang
relatif. Namun, meskipun demikian, masih ada politisi yang tetap mempertahankan
integritas dan hubungan yang kuat, bahkan dalam persaingan politik yang sengit.
Rasanya tak elok bila tidak mengaitkan ungkapan tersebut dengan koalisi
indonesia bersatu (KIB) yang terdiri dari partai Golkar, Pan dan Partai PP.
Semula hubungan ini begitu romantis. Namun, siapa sangka ketika ganjar di
deklarasikan oleh partai PDIP yang diketuai oleh megawati soekarno putri semua sontak para pimpinan
parpol yang sudah berkoalisi gelisah dan bahkan tak menayangkan hasil keputusan itu. Hipotesa yang terbangun dalam koalisi
indonesia bersatu bahwa capres yang akan diusung oleh PDIP adalah puan
maharani. Tapi kenyataanya semuanya
berbanding terbalik. Hasilnya, diusungnya ganjar pranowo sebagai calon presiden
disatu sisi menggoyahkan iman partai persatuan pembangunan.
Kenyataan pahit terus dirasakan oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)
ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan rekan-rekannya tiba-tiba
berpaling dan akhirnya mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden.
Keputusan ini pastinya membuat koalisi meradang. Awalnya, mereka mengharapkan
koalisi ini akan terus berjalan hingga menjelang pendaftaran calon presiden dan
wakil presiden, tetapi akhirnya mereka kehilangan koalisi mereka. Hal ini tentu
menyebabkan kehilangan koalisi yang pada awalnya diharapkan akan solid dan bersatu
dalam mendukung calon presiden yang diusung. Keputusan PPP ini merupakan
pukulan keras bagi koalisi, dan mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa
kekuatan mereka sebagai koalisi telah berkurang.
Perubahan ini juga menyoroti persaingan politik yang terjadi di dalam
Partai PPP itu sendiri. Terdapat kemungkinan bahwa keputusan PPP untuk
mendukung Ganjar adalah hasil dari dinamika internal partai, pertarungan
kekuasaan, atau perhitungan politik yang kompleks. Namun, dampaknya adalah
koalisi harus menanggung konsekuensi dari perubahan ini. Keputusan PPP untuk
mendukung Ganjar sebagai calon presiden juga memicu pertanyaan tentang
stabilitas koalisi secara keseluruhan. Apakah partai-partai lain dalam koalisi
akan tetap solid dan bersatu dalam mendukung calon presiden lainnya? Apakah
keputusan PPP akan mempengaruhi hubungan politik dan kepercayaan di antara
anggota koalisi? Selain itu, kehilangan PPP juga berdampak pada ekspektasi dan
harapan yang telah terbangun dalam koalisi. Mereka mungkin telah merencanakan
dan mengatur strategi berdasarkan asumsi bahwa PPP akan tetap berada di dalam
koalisi dan mendukung calon presiden yang ditetapkan.
Kehilangan ini memaksa koalisi untuk menyesuaikan diri dengan situasi
baru dan mencari cara untuk mempertahankan stabilitas serta memperkuat dukungan
dari pihak lain. Dengan keadaan ini, tentu Golkar dan Pan harus berfikir secara
ekstra untuk bisa memastikan tiket dalam perhelatan pemilihan presiden tahun
2024. Berkenaan dengan keretakan koalisi partai politik Purnamawati, (2020)
mensinyalir bahwa keretakan tersebut turut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya;
(1) Perubahan Sosial:
Politik tidak
dapat dipisahkan dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Masyarakat
selalu mengalami transformasi dalam hal nilai-nilai, aspirasi, dan tuntutan
mereka. Perubahan ini mempengaruhi dinamika politik dan memaksa para pemimpin
dan partai politik untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.
(2) Perubahan Struktural:
Politik juga
dipengaruhi oleh perubahan struktural dalam masyarakat, seperti perubahan
demografis, perubahan ekonomi, atau perubahan teknologi. Perubahan ini memicu
perubahan dalam kekuatan politik, dinamika partai politik, dan cara-cara
berpolitik yang efektif.
(3) Kontestasi Kekuasaan:
Politik
adalah arena kontestasi kekuasaan, di mana partai politik dan pemimpin bersaing
untuk memperoleh kekuasaan dan mempengaruhi kebijakan. Kontestasi ini mendorong
partai dan pemimpin untuk terus beradaptasi dan berinovasi dalam strategi
politik mereka agar tetap relevan dan memenuhi harapan pemilih.
(4) Respons terhadap Tuntutan Publik:
Politik yang
dinamis melibatkan respons terhadap tuntutan dan aspirasi publik. Pemimpin dan
partai politik harus dapat membaca dan merespons perubahan opini dan kebutuhan
publik secara tepat waktu. Mereka harus berupaya memahami dan memperjuangkan
isu-isu yang relevan bagi masyarakat agar tetap mempertahankan dukungan dan
legitimasi politik.
(5) Perubahan Ideologi dan Pemikiran Politik:
Ideologi dan
pemikiran politik juga mengalami perubahan seiring waktu. Pandangan politik dan
nilai-nilai yang relevan di masa lalu mungkin tidak lagi sesuai dengan tuntutan
dan harapan masyarakat saat ini. Oleh karena itu, partai dan pemimpin politik
harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini dan mengembangkan ideologi dan
pemikiran yang relevan untuk menghadapi tantangan politik terkini.
koalisi yang
Disisi lain, Sari (2012) menyatakan bahwa koalisi politik pada dasarnya
bersifat pragmatis dan berorientasi pada hasil sementara. Koalisi dibentuk
berdasarkan kepentingan elit partai politik dan kekuasaan. Faktor ideologi atau
persamaan tujuan dan cita-cita partai menjadi penting dalam mempertahankan
kelangsungan sebuah koalisi politik. Koalisi politik adalah aliansi antara dua
atau lebih partai politik yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan politik
yang lebih besar. Namun, menurut Sari, dasar terbentuknya koalisi umumnya lebih
didasarkan pada kepentingan pragmatis daripada pada ideologi atau persamaan
tujuan yang mendalam. Elit partai politik, seperti pemimpin partai atau anggota
parlemen yang memiliki pengaruh, seringkali memainkan peran utama dalam
membentuk koalisi. Mereka mencari kesempatan untuk memperoleh kekuasaan politik
dengan cara menggabungkan kekuatan mereka melalui koalisi. Dalam prosesnya,
mereka bisa mengabaikan faktor ideologi atau persamaan tujuan dan lebih fokus
pada mencapai kepentingan politik dan kekuasaan.
Namun, faktor ideologi atau persamaan tujuan dan cita-cita partai politik
juga dapat menjadi landasan penting bagi sebuah koalisi yang kuat dan
berkelanjutan. Koalisi yang didasarkan pada ideologi yang sama atau tujuan
politik yang serupa cenderung lebih kohesif dan memiliki kekuatan yang lebih
besar untuk menghadapi tantangan politik. Dengan demikian dapat ditarik benang
merah bahwa ketika koalisi politik kehilangan dasar ideologis atau persamaan
tujuan, maka kemungkinan koalisi tersebut berubah atau bahkan runtuh menjadi
lebih besar. Ketika partai-partai dalam koalisi tidak lagi memiliki kesamaan
ideologi atau tujuan yang jelas, kepentingan individu atau kelompok dalam
partai mungkin mulai mengambil alih. Konflik internal dan persaingan kekuasaan
dapat muncul, yang dapat mengancam kestabilan koalisi. Sehingga apabila Koalisi
yang terbangun tidak lagi didasari oleh faktor ideologi atau persamaan tujuan
dan cita-cita partai maka hal yang lumar koalisi dalam partai politik bisa
berubah.
Daftar
Pustaka:
Efriza, N. F. N. (2019).
Eksistensi Partai Politik Dalam Persepsi Publik [The Existence of The Political
Parties in Public Perception]. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam
Negeri Dan Hubungan Internasional, 10(1), 17-38.
Jurdi, F. (2020). Pengantar Hukum Partai
Politik. Prenada Media.
Purnamawati, E. (2020). Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Solusi, 18(2),
251-264.
Sari, S. Y. (2012). Sistem Multipartai di Era Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono 2004-2009. Dinamika Politik, 1(01).
No comments:
Post a Comment