Saturday 20 May 2023

Peta Politik: Peluang dan Tantangan Partai Politik Baru Jelang Pemilu 2024

Ikbal Zakaria
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Goronta
lo

Di tengah kegembiraan dan ketegangan politik  saat ini, muncul sebuah fenomena menarik yang dapat menjadi sorotan yaitu munculnya partai politik baru. Seiring dengan berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di masyarakat, peluang dan tantangan bagi partai politik baru menjadi isu yang menarik untuk ditelusuri. Para pendiri partai politik baru melihat peluang yang terbuka di hadapan mereka. Mereka berharap dapat memberikan alternatif baru dalam wacana politik, mewakili suara-suara yang belum terdengar, dan membawa perubahan yang dianggap diperlukan oleh sebagian masyarakat.  Dengan tampil sebagai partai politik baru, mereka berharap dapat membangun kredibilitas dan menarik dukungan dari pemilih yang mencari alternatif di luar partai-partai yang sudah mapan. Namun di satu sisi, tidak diragukan lagi bahwa partai politik baru juga menghadapi tantangan yang signifikan. Salah satu tantangan utama adalah membangun nama dan identitas yang kuat di tengah keramaian partai politik yang sudah ada. Mereka harus melalui perjuangan untuk mendapatkan perhatian publik dan membangun reputasi yang dapat membedakan mereka dari partai-partai lainnya.

Sumber daya terbatas juga menjadi kendala bagi partai politik baru. Tidak seperti partai-partai yang sudah mapan dengan akses ke sumber daya finansial yang cukup, infrastruktur yang solid, dan jaringan yang luas, partai politik baru sering kali harus bergantung pada upaya relawan dan dukungan individu. Mereka perlu mencari cara kreatif untuk mengatasi keterbatasan ini dan memanfaatkan kekuatan digital dan media sosial untuk mengkomunikasikan pesan mereka kepada pemilih potensial. Persaingan dengan partai politik yang sudah ada juga merupakan tantangan yang nyata. Partai politik baru harus mampu membedakan diri mereka dari partai-partai yang sudah mapan dan menarik perhatian pemilih. Mereka harus mengidentifikasi isu-isu yang penting bagi masyarakat dan menyampaikan solusi yang meyakinkan untuk mendapatkan dukungan. Selain itu, peraturan pemilu yang berlaku juga dapat menjadi faktor yang mempengaruhi peluang partai politik baru. Beberapa negara memiliki aturan yang memberikan keuntungan kepada partai-partai yang sudah mapan atau mempersulit akses bagi partai politik baru untuk mendapatkan kursi dalam parlemen.

Tahun ini, tercatat ada enam partai politik pendatang baru yang ikut meramaikan kontestasi politik menjelang pemilu tahun 2024, antara lain Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Rakyat. Dalam peran mereka sebagai pendatang baru, setiap partai memiliki strategi dan pendekatan unik untuk menarik simpati masyarakat serta mengusung perubahan dengan tujuan mengatasi kekecewaan dan kebosanan publik terhadap partai politik yang dianggap korup dan manipulatif. Keberhasilan mereka dalam hal ini akan menjadi kunci untuk memperoleh dukungan suara dan memenangkan kepercayaan publik. Namun, jika strategi mereka tidak cukup kuat, partai baru tersebut berisiko menjadi semacam "penyelenggara" dalam pemilu tanpa perolehan yang signifikan. Tentu, kehadiran enam partai politik ini, tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka terus berusaha menggalang dukungan dengan berbagai metode untuk menarik simpati dari masyarakat Indonesia. Partai-partai ini menyadari betapa pentingnya popularitas dan dukungan publik dalam mencapai tujuan politik mereka.

Argumentasi diatas bukan tanpa alasan Fitria, (2023) mengemukakan bahwa naiknya elektabilitas enam partai baru tersebut tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu yang terurai sebagai berikut:

(1)    Partai Kebangkitan Nusantara (PKN): Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhi naiknya elektabilitas mereka. Pertama, PKN menarik perhatian pemilih dengan menyajikan visi yang kuat tentang Islam yang moderat dan inklusif. Dalam konteks Indonesia yang beragam, PKN dapat menarik simpati pemilih yang mencari partai politik dengan pendekatan Islam yang moderat. Selain itu, PKN juga memperjuangkan keadilan sosial. Jika partai ini mampu menunjukkan komitmen mereka dalam memperjuangkan keadilan sosial dan mengatasi kesenjangan sosial, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

(2)    Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora): Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) dipimpin oleh Fahri Hamzah, yang memiliki karisma dan kredibilitas yang kuat. Selain itu, Gelora juga fokus pada kepentingan rakyat. Jika partai ini mampu memposisikan diri mereka sebagai partai yang berkomitmen untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan rakyat, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

(3)    Partai Ummat: Partai Ummat menarik perhatian pemilih dengan posisi mereka sebagai partai Islam konservatif. Partai ini dapat menarik dukungan dari pemilih yang mencari partai politik yang mewakili pandangan konservatif Islam. Jika Partai Ummat dapat memperjuangkan kepentingan dan hak-hak Muslim dengan konsisten, hal ini dapat mempengaruhi elektabilitas mereka.

(4)    Partai Pelita: Partai Pelita fokus pada peningkatan pendidikan dan kesejahteraan. Partai ini dapat menarik pemilih yang peduli dengan kualitas pendidikan dan kondisi kesejahteraan masyarakat. Jika Partai Pelita mampu mengartikulasikan komitmen mereka terhadap peningkatan kualitas pendidikan dan kesejahteraan, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka. Selain itu, pemilihan calon yang berkualitas juga dapat mempengaruhi elektabilitas mereka. Jika Partai Pelita mampu memilih calon yang memiliki rekam jejak yang baik dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan, hal ini dapat mempengaruhi elektabilitas mereka.

(5)    Partai Rakyat Adil Makmur (Prima): Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) menarik perhatian pemilih dengan keberpihakan mereka terhadap buruh dan pekerja. Partai ini dapat memperjuangkan kepentingan buruh dan pekerja dengan komitmen yang kuat. Jika Prima mampu menunjukkan bahwa mereka secara konsisten memperjuangkan kepentingan dan hak-hak buruh dan pekerja, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas

Dengan demikian, dapat ditarik benang merah bahwa Dalam kesimpulan, faktor-faktor yang mempengaruhi naiknya elektabilitas partai politik baru seperti Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Rakyat dapat beragam tergantung pada karakteristik dan strategi masing-masing partai. Disisi lain, Barokah & Hertanto (2022) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor umum yang dapat mempengaruhi elektabilitas partai politik baru diantaranya; Pertama, visi dan tujuan yang jelas menjadi faktor penting. Partai politik baru perlu memiliki visi yang kuat dan tujuan yang relevan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Ketika partai mampu mengkomunikasikan visi dan tujuan mereka secara efektif, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka. Selanjutnya, keberpihakan pada isu-isu yang mendesak juga dapat mempengaruhi elektabilitas. Partai politik baru yang mampu mengidentifikasi dan memperjuangkan isu-isu yang dianggap penting oleh masyarakat, seperti keadilan sosial, kesejahteraan, pendidikan, atau kepentingan buruh, memiliki potensi untuk meningkatkan elektabilitas mereka. Selain itu, kepemimpinan yang kuat dan karisma tokoh utama partai juga dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan elektabilitas. Jika partai politik baru dipimpin oleh tokoh yang memiliki kredibilitas dan karisma yang tinggi, seperti Anies Baswedan dalam Partai Gelora, hal ini dapat menarik dukungan masyarakat. Terakhir, pemilihan calon yang berkualitas juga menjadi faktor penting. Jika partai politik baru mampu memilih calon yang memiliki rekam jejak yang baik dan kompetensi dalam bidang yang relevan, hal ini dapat meningkatkan elektabilitas mereka.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa peta politik jelang pemilu 2024, partai politik baru seperti Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, Partai Pelita, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan Partai Rakyat, menghadapi peluang dan tantangan yang signifikan. Peluang terletak pada kemampuan mereka untuk menyajikan alternatif politik yang segar dan menarik bagi masyarakat. Visi yang jelas, fokus pada isu-isu mendesak, dan kepemimpinan yang kuat menjadi modal penting untuk meraih dukungan. Namun, tantangan yang dihadapi partai politik baru tidak boleh diabaikan. Persaingan dengan partai-partai yang sudah mapan, membangun basis massa yang solid, membangun citra kredibel, dan menjaga integritas dalam berpolitik merupakan tantangan yang perlu diatasi. Partai politik baru harus bekerja keras untuk memenangkan hati pemilih dengan membuktikan komitmen mereka dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Daftar Pustaka:

Barokah, F., & Hertanto, H. (2022). Disrupsi Politik: Peluang Dan Tantangan Partai Politik Baru Jelang Pemilu 2024. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 21(01), 1-13.

Fitria, B. (2023). Strategi Partai Politik Baru Menuju Pemilihan Umum 2024 (Studi Pada Partai Politik Gelombang Rakyat Indonesia Dan Partai Ummat Provinsi Lampung) (Doctoral Dissertation, Universitas Lampung).


 

Misteri di Balik Tirai: Opsi Jalan Tengah Partai Politik Terhadap Pemilu 2024

 

Riski Rahman
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Dunia politik memang memiliki daya tarik tersendiri. Segala hal bisa menjadi misteri sepanjang proses pemilihan, mulai dari pembentukan kepanitiaan, pendaftaran bakal calon hingga penghitungan hak suara. Pada saat itu, berbagai kalangan menggunakan parameter tertentu untuk mengukur peluang kemenangan bagi kandidat yang diunggulkan, termasuk para peneliti politik dan akademisi. Namun, di balik penggunaan parameter tersebut, kita semua merasa ragu apakah parameter tersebut benar-benar mencerminkan kebenaran secara menyeluruh. Jawabannya bisa saja iya dan bisa saja  tidak. Di dunia politik, segala sesuatu bisa terjadi. Kemenangan bisa berubah menjadi kekalahan, dan sebaliknya, kekalahan pun bisa berubah menjadi sebuah kemenangan. Menyikapi persoalan ini, tentu setiap individu/kelompok memiliki cara pandang yang berbeda mengenai pemilu namun pada akhirnya semua akan bersepakat yang sama bahwa, memang misteri dibalik tirai politik sifatnya selalu dinamis yang kapan saja bisa berubah-ubah.

Berbicara tentang pemilu, Pemilu merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan politik sebuah negara demokratis. Di Indonesia, Pemilu 2024 menjadi ajang kompetisi yang menentukan bagi partai politik dalam meraih suara dan posisi yang diinginkan. Dalam persaingan ini, muncul isu yang menarik perhatian, yaitu fenomena "Jalan Tengah" yang mempengaruhi kompetisi antarpartai politik menjelang Pemilu 2024. Pada Pemilu sebelumnya, partai politik di Indonesia cenderung terbagi menjadi dua kubu yang dominan, yaitu kubu pemerintah dan kubu oposisi. Namun, situasi politik saat ini menunjukkan adanya potensi pergeseran paradigma dalam kompetisi parpol. Istilah "Jalan Tengah" mengacu pada partai-partai politik yang berusaha untuk menempatkan diri di antara kedua kubu tersebut dan mengambil posisi netral atau moderat dalam berbagai isu politik. Berkenaan dengan hal itu Bawazir, (2015) menyatakan dalam konteks pemilu, "jalan tengah" mengacu pada pendekatan politik yang berada di tengah antara spektrum politik yang ekstrim atau radikal. Pendekatan ini mencerminkan usaha partai politik atau kandidat untuk memposisikan diri mereka sebagai alternatif moderat di antara pilihan politik yang ada.

Salah satu alasan munculnya fenomena "Jalan Tengah" ini adalah keinginan partai politik untuk menarik pemilih yang tidak sepenuhnya terikat pada kubu pemerintah atau oposisi. Dalam konteks Pemilu 2024 yang diperkirakan akan kompetitif, partai politik menyadari pentingnya meraih dukungan dari kelompok pemilih yang beragam dan memiliki preferensi politik yang tidak kaku. Oleh karena itu, mereka berupaya menawarkan narasi dan kebijakan yang lebih inklusif dan moderat. Namun, kehadiran partai-partai "Jalan Tengah" ini juga menimbulkan tantangan tersendiri. Di satu sisi, mereka harus bersaing dengan partai-partai yang telah mapan dan memiliki basis dukungan yang kuat. Partai-partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Gerindra, dan Golkar masih mendominasi perolehan suara dalam hasil survei terbaru Litbang Kompas (2023). Partai "Jalan Tengah" perlu melakukan upaya ekstra untuk memperoleh perhatian pemilih dan meyakinkan mereka bahwa partai ini adalah alternatif yang baik.

Di sisi lain, partai "Jalan Tengah" juga dihadapkan pada tantangan ideologi dan citra. Mereka perlu menjaga keseimbangan antara mencerminkan sikap moderat dan mempertahankan identitas politik mereka. Posisi di tengah-tengah ini dapat menjadi tantangan untuk membangun narasi yang konsisten dan menarik bagi pemilih. Selain itu, pemilu tahun 2024 juga akan memiliki beberapa dinamika lain yang mempengaruhi kompetisi parpol. Jumlah peserta pemilu diperkirakan akan meningkat dari 16 partai pada pemilu sebelumnya menjadi 18 partai. Hal ini menambah persaingan di antara partai-partai yang ada. Selain itu, partai-partai juga harus menghadapi waktu kampanye yang terbatas hanya 75 hari, yang membatasi waktu mereka untuk mengenalkan diri dan mempengaruhi pemilih. Dalam kondisi tersebut, partai politik di Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat menjelang Pemilu 2024. Fenomena "Jalan Tengah" menjadi salah satu aspek menarik yang perlu diperhatikan dalam dinamika politik saat ini. Bagaimana partai politik mampu beradaptasi dan mengatasi tantangan ini akan menentukan kesuksesan mereka dalam meraih suara dan posisi yang diinginkan pada Pemilu mendatang.

Pada dasarnya munculnya opsi jalan tengah menjelang menuju 2024 dipengaruhi oleh dua faktor diantaranya; (1) Faktor Internal. Faktor internal meliputi; (a) Ideologi dan Orientasi Politik: Faktor internal terpenting yang mempengaruhi keberadaan partai politik "Jalan Tengah" adalah ideologi dan orientasi politik mereka. Partai-partai yang memilih jalur tengah cenderung memiliki pandangan moderat dan inklusif dalam berbagai isu politik. Mereka berupaya untuk mempertahankan keseimbangan antara kepentingan berbagai kelompok dan mempromosikan kompromi. (b) Kepemimpinan Partai: Peran kepemimpinan partai politik sangat penting dalam menentukan strategi politik dan arah partai. Kepemimpinan yang cenderung mengedepankan pendekatan moderat dan inklusif akan mendorong partai politik untuk mengambil jalur tengah dalam kompetisi politik. (c) Struktur Organisasi: Struktur organisasi partai politik juga dapat mempengaruhi keputusan untuk mengambil jalur tengah. Jika partai memiliki mekanisme internal yang memungkinkan partisipasi anggota dan mendukung diskusi dan debat yang sehat, kemungkinan adopsi jalur tengah akan lebih tinggi.

Selanjutnya, untuk faktor eksternal yang mempengaruhi jalan tengah partai politik menuju pemilu 2024; (a) Perubahan Pola Pemilih: Partai politik cenderung merespons perubahan pola pemilih dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan dukungan. Jika terjadi pergeseran pemilih ke arah tengah dan meningkatnya permintaan akan pendekatan politik moderat, partai politik akan cenderung mengadopsi jalur tengah untuk mengikuti tren tersebut. (b) Tuntutan Masyarakat: Tuntutan masyarakat terhadap partai politik juga dapat mempengaruhi keberadaan partai "Jalan Tengah". Jika masyarakat menginginkan kebijakan yang lebih inklusif dan kompromis dalam penyelesaian isu-isu politik, partai-partai akan cenderung berupaya memenuhi tuntutan ini dengan mengambil jalur tengah. (c) Dinamika Politik dan Konteks Nasional: Faktor eksternal seperti dinamika politik dan konteks nasional juga memainkan peran penting dalam keberadaan partai "Jalan Tengah". Jika terjadi polarisasi politik yang kuat antara kubu pemerintah dan oposisi, partai politik dapat melihat peluang dalam mengisi celah ini dengan pendekatan tengah untuk menarik pemilih yang mencari alternatif di luar kedua kubu tersebut. (d) Pengaruh Global: Pengaruh global juga dapat mempengaruhi adopsi jalur tengah oleh partai politik. Jika terdapat tren global di mana partai-partai yang mengedepankan pendekatan moderat dan inklusif mendapatkan dukungan yang kuat, partai politik dalam konteks nasional juga dapat terdorong untuk mengambil langkah serupa.

Secara keseluruhan, faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi partai politik dalam mengambil jalur tengah menuju Pemilu 2024 mencakup ideologi dan orientasi politik, kepemimpinan partai, struktur organisasi, perubahan pola pemilih, tuntutan masyarakat, dinamika politik nasional, konteks global, dan banyak faktor lainnya yang berinteraksi secara kompleks dalam dunia politik. Dalam tataran tertentu Fachrudin, (2013) Dalam konteks pemilu, "jalan tengah" mengacu pada pendekatan politik yang berada di tengah antara spektrum politik yang ekstrim atau radikal. Pendekatan ini mencerminkan usaha partai politik atau kandidat untuk memposisikan diri mereka sebagai alternatif moderat di antara pilihan politik yang ada dengan menggunakan alternatif; (1) Pendekatan Moderat: Partai politik yang mengambil jalan tengah cenderung mengusung pendekatan politik moderat. Mereka berusaha untuk mempertahankan keseimbangan antara kepentingan berbagai kelompok dan mencari solusi yang kompromis dalam penyelesaian isu-isu politik. Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari ekstremisme dan polarisasi politik. (2) Inklusivitas: Jalan tengah dalam pemilu juga mencerminkan semangat inklusivitas dan kerjasama. Partai politik yang mengambil jalur tengah berupaya untuk mewakili berbagai kelompok pemilih dan menawarkan solusi yang dapat diterima oleh mayoritas masyarakat. Mereka berusaha untuk menggabungkan pandangan dan kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus. (3) Merangkul Pemilih di Spektrum Politik: Salah satu tujuan utama partai politik yang mengadopsi jalan tengah adalah untuk menarik pemilih di spektrum politik yang luas. Mereka berharap dapat mengambil dukungan dari pemilih yang berada di antara pilihan yang ekstrem atau yang merasa tidak terwakili oleh partai lain. Dengan pendekatan moderat, mereka berupaya menjangkau pemilih dari berbagai latar belakang politik. (4) Stabilitas Politik: Jalan tengah dalam pemilu juga dapat dianggap sebagai upaya untuk memperkuat stabilitas politik. Dengan mengedepankan pendekatan yang moderat dan inklusif, partai politik dapat membantu mengurangi polarisasi politik yang ekstrim dan mempromosikan kerjasama antar partai. Hal ini dapat menciptakan lingkungan politik yang lebih stabil dan memfasilitasi penyelesaian masalah secara efektif.

Namun, penting untuk diingat bahwa konsep jalan tengah dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh partai politik dan pemilih. Apa yang dianggap sebagai jalan tengah oleh satu pihak mungkin tidak sama dengan pandangan pihak lain. Selain itu, strategi jalan tengah juga dapat menimbulkan kritik dari kelompok yang lebih ekstrem yang merasa bahwa pendekatan tersebut kurang konsisten atau tidak memadai dalam mengatasi isu-isu politik yang kompleks. Dalam kesimpulannya, "jalan tengah" dalam pemilu merujuk pada pendekatan politik moderat yang diambil oleh partai politik untuk mencapai stabilitas, inklusivitas, dan merangkul pemilih di spektrum politik yang luas. Pendekatan ini berusaha menghindari ekstremisme dan polarisasi politik dengan menggabungkan pandangan yang berbeda dan mencari solusi kompromis.

Meskipun pendekatan jalan tengah dapat membawa manfaat seperti mendapatkan dukungan yang luas dan memperkuat stabilitas politik, ada juga potensi untuk menghadapi tragedi atau dampak negatif. Hal ini meliputi hilangnya identitas politik yang jelas, kehilangan kepercayaan dan kesetiaan pemilih, tersingkirnya kelompok pendukung inti, dan tantangan dalam membangun aliansi dengan partai lain. Penting untuk dicatat bahwa interpretasi jalan tengah dapat berbeda-beda di antara partai politik dan pemilih, serta strategi jalan tengah dapat menimbulkan kritik dari kelompok yang lebih ekstrem. Oleh karena itu, keberhasilan pendekatan jalan tengah dalam pemilu sangat tergantung pada konteks politik, implementasi strategi, dan kemampuan partai politik untuk memahami dan merespons kebutuhan pemilih dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA:

Fachrudin, A. (2013). Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi. Keira Publishing.

Bawazir, T. (2015). Jalan tengah demokrasi: antara fundamentalisme dan sekularisme. Pustaka Al Kautsar.


Melacak Jejak: Orientasi Pemilih Pemula Terhadap Partai Politik Menuju Pemilu 2024

Haikal Dahiba
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Tak terasa pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024 tinggal menghitung bulan. Para akademisi, politisi bahkan masyarakat biasa sedang menyaksikan gejolak pertarungan kekuasaan yang begitu dahsyat. Pembenaran kesaksian ini bukan tanpa alasan. Semakin berkembangnya zaman semua informasi mengalir lebih cepat bahkan tak bisa dibendung lagi. Namun, muncul pertanyaan yang mendasar bagi kita semua. Apakah mereka para kader partai politik bisa menarik simpati bagi para pemilih pemula yang akan pertama kali menggunakan hak suaranya dalam pemilu tahun 2024 yang akan datang? Tentu ini masih menjadi multitafsir dan menuai perdebatan dalam diskusi-diskusi publik saat ini. Salah satu hal yang menarik isu yang perlu untuk disoroti saat ini adalah pengaruh pemilih pemula terhadap partai politik. Pemilih pemula, yang merupakan kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak suara mereka dalam pemilihan umum, memiliki potensi besar dalam membentuk arah politik masa depan. Namun, dalam melacak jejak pemilih pemula terhadap partai politik menjelang Pemilihan Umum 2024, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diungkap dan dipahami.

Hitungan kontribusi besar pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu 2024 tak bisa dielakan lagi. hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), terdapat temuan yang menarik terkait pemilu mendatang, yaitu Pemilu 2024. Dzulfaroh, (2022). Survei tersebut mengindikasikan bahwa pemilih muda akan menjadi kekuatan dominan dalam pemilihan tersebut. Pemilih muda dalam survei ini didefinisikan sebagai warga berusia antara 17 hingga 39 tahun. Survei tersebut menyajikan prediksi bahwa proporsi pemilih muda pada Pemilu 2024 akan mencapai angka yang cukup signifikan, yakni mendekati 60 persen atau sekitar 190 juta warga. Hal ini menandakan bahwa pemilih muda akan memiliki pengaruh besar dalam menentukan hasil dan arah politik di masa depan. Jika prediksi ini akurat, maka angka sebesar 190 juta pemilih muda akan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan oleh para kandidat dan partai politik yang bertarung dalam Pemilu 2024. Dengan proporsi sebesar ini, penting bagi para calon pemimpin dan partai politik untuk mempertimbangkan aspirasi dan kebutuhan pemilih muda dalam merancang platform dan agenda politik mereka.

Meskipun kontribusi hak suara pemilih pemula dapat mendongkrak perolehan suara bagi para kader partai politik yang akan bertarung pada pemilu tahun 2024 banyak tantangan yang akan terjadi. Tantangan tersebut tercermin dari beberapa masalah diantaranya tingkat apatis dan ketidakpercayaan terhadap partai politik. Pemilih pemula sering merasa jauh dari dunia politik, meragukan integritas partai-partai yang ada, atau bahkan merasa bahwa partai politik tidak lagi mewakili aspirasi dan kebutuhan mereka. Hal ini dapat menyebabkan mereka kurang tertarik untuk terlibat dalam proses pemilihan umum dan memilih abstain sebagai bentuk protes terhadap sistem politik yang mereka anggap tidak efektif. Oleh karena itu, partai politik perlu mengatasi masalah ini dengan serius dan menciptakan lingkungan yang dapat membangkitkan antusiasme dan kepercayaan pemilih pemula. Selanjutnya, perbedaan generasional juga menjadi faktor yang signifikan dalam paradigma pemilih pemula. Generasi muda memiliki perhatian dan prioritas yang berbeda dari generasi sebelumnya.

Selain itu, Isu-isu seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, keadilan sosial, dan inovasi teknologi menjadi isu-isu penting bagi mereka. Oleh karena itu, partai politik perlu memahami dan menangkap pergeseran nilai-nilai ini serta menghadirkan platform yang relevan dengan aspirasi dan kekhawatiran pemilih pemula. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat komunikasi dua arah antara partai politik dan pemilih pemula, dengan mendengarkan dengan seksama aspirasi mereka, serta mengadakan dialog dan diskusi yang konstruktif tentang isu-isu yang penting bagi mereka. Olehnya karena itu melacak jejak pemilih pemula terhadap partai politik menjelang Pemilihan Umum 2024, penting bagi kita untuk memahami dan mengungkap fenomena masalah yang dihadapi oleh mereka. Dengan demikian, partai politik dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk beradaptasi dengan perubahan paradigma dan memperkuat hubungan dengan pemilih pemula, sehingga menciptakan perubahan politik yang lebih inklusif dan dinamis dalam Pemilihan Umum mendatang.

Pada dasarnya, pemilihan umum sering disebut sebagai pesta demokrasi yang dilakukan sebagai bentuk perwujudan rakyat baik pemilihan legislatif maupun eksekutif. Sebagai warga negara yang baik harus dapat terlibat dalam pemilihan tersebut. dalam pemilihan umum memiliki sifat Langsung, Umum, Bebas, Jujur Dan Adil. sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan. Pemilihan Umum ini dapat dilaksanakan oleh orang yang sudah berusia 17 tahun keatas atau yang sudah menikah, seperti halnya yang akan dilakukan oleh para pemilih pemula yang berada di SMA Negeri 1 Telaga. Sebagai pemilih pemula tentunya masih memiliki pengetahuan yang sangat minim terhadap pemilihan umum tersebut.

Berkenaan dengan Melacak Jejak: Orientasi Pemula Terhadap Partai Politik Menuju Pemilihan Umum 2024 Yunita & Stanislaus, (2014) dalam riset penelitian menemukan masalah yang dilihat dari tiga aspek diantaranya; (1) Dari segi kognitif. Para pemilih pemula seringkali menghadapi keterbatasan pengetahuan politik yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam memahami proses pemilihan dan isu-isu yang relevan. Informasi yang mereka dapatkan cenderung terbatas dan terpengaruh oleh media sosial. Keterbatasan ini dapat membuat mereka merasa bingung dan ragu-ragu dalam memilih. Mereka mungkin masih memiliki banyak pertanyaan dan kebingungan terkait dengan pemilihan tersebut. (2) Aspek afektif. Orientasi aspek ini, para pemilih pemula cenderung lebih mudah terpengaruh oleh opini dan keyakinan orang-orang terdekat mereka. Hal ini dapat mengaburkan kemampuan mereka untuk secara independen dan kritis mengevaluasi kandidat dan isu-isu politik. (3) Aspek evaluatif. Dalam aspek ini seringkali pemilih pemula menghadapi kesulitan dalam menilai dan mempertimbangkan kandidat serta platform politik yang ditawarkan. Kurangnya pengalaman dalam mengikuti pemilihan sebelumnya juga dapat membuat mereka merasa kesulitan dalam menilai kinerja dan kompetensi para kandidat. Sebagai hasilnya, keputusan mereka dalam memilih mungkin tidak didasarkan pada evaluasi yang mendalam dan rasional.

Berkenaan dengan hasil temuan di atas, temuan yang sama juga dilakukan Mahmud, Kamuli, dan Wantu (2022) mengindikasikan bahwa banyak pemilih pemula cenderung mengikuti panduan orang tua mereka daripada mengembangkan preferensi politik mereka sendiri. Hal ini mencerminkan pengaruh yang signifikan dari orang tua dalam proses pembentukan sikap politik anak-anak mereka. Dengan demikian, kita dapat menginterpretasikan bahwa sebetulnya Pemilih pemula sering kali mencari arahan dan panduan dalam menghadapi pemilihan, terutama jika mereka memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman politik. Mereka mungkin merasa lebih nyaman dan percaya pada pandangan orang tua mereka yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Oleh karena itu, mereka cenderung mengikuti preferensi politik orang tua sebagai acuan dalam memilih calon dan partai politik.

Pengaruh orang tua dalam keputusan politik anak-anak mereka dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, ikatan emosional dan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua dapat membentuk pandangan politik anak-anak mereka. Kedua, pengaruh orang tua dapat berasal dari kepercayaan politik yang diteruskan secara turun-temurun dalam keluarga. Ketiga, kepercayaan pada penilaian dan pengalaman orang tua dapat membuat pemilih pemula lebih cenderung mengandalkan pandangan mereka. Namun, penting juga untuk diakui bahwa tidak semua pemilih pemula mengikuti panduan orang tua mereka secara mentah-mentah. Beberapa pemilih pemula juga dapat memiliki preferensi politik yang berbeda dari orang tua mereka. Mereka mungkin melihat isu-isu politik dengan sudut pandang yang berbeda atau mengembangkan pemahaman politik yang independen.

Untuk mengatasi kecenderungan ini, pendidikan politik yang inklusif dan berimbang sangat penting. Pendidikan politik harus mendorong pemilih pemula untuk mengembangkan pemahaman yang kritis dan independen tentang isu-isu politik. Mereka perlu didorong untuk mempertimbangkan berbagai perspektif dan pendapat sebelum membuat keputusan politik mereka sendiri. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi pemilih pemula dalam proses politik. Mereka harus didorong untuk aktif terlibat dalam debat politik, mendengarkan berbagai sudut pandang, dan mencari informasi dari sumber yang beragam. Dengan cara ini, mereka dapat memperluas pengetahuan politik mereka dan mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan yang informan dan berdasarkan pemikiran kritis. Pihak-pihak terkait, termasuk partai politik, lembaga pendidikan, dan keluarga, juga memiliki peran penting dalam membantu pemilih pemula mengembangkan preferensi politik mereka sendiri. Mereka dapat memberikan informasi yang objektif, mendorong diskusi terbuka, dan memberikan ruang bagi pemilih pemula untuk mengemukakan pendapat mereka sendiri. Dengan demikian, pemilih pemula akan lebih mampu membuat keputusan politik yang didasarkan pada pemikiran dan evaluasi pribadi.

Daftar Pustaka:

Dzulfaroh, A.N, (2022)."Pemilu 2024 Didominasi Pemilih Muda, Apakah Peta Politik Akan Berubah.https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/27/143000565/pemilu-2024-didominasi-pemilih-muda-apakah-peta-politik-akan-berubah-?page=all.

Mahmud, R., Kamuli, S., & Wantu, A. (2022). Sosialisasi:“Santri Bertanya Pemilu Menjawab “Bagi Santri Di Pondok Pesantren Alkhairaat Kota Gorontalo. Amma: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 1(08), 1009-1014.

Yunita, R. P., & Stanislaus, S. (2014). Orientasi Politik Pemilih Pada Pemilu Legislatif Tahun 2014. Journal Of Social And Industrial Psychology, 3(1).


Friday 19 May 2023

Dua Sisi: Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik Pada Pemilu 2024

 

Pitria Putri Arif
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Polarisasi dan mobilisasi oleh partai politik menjelang pemilu 2024 kini memunculkan kontroversi yang menimbulkan pro dan kontra. Bagaimana tidak. Saat ini, setiap kader partai politik berupaya menggunakan tempat-tempat strategis guna menarik sebanyak mungkin massa pendukung. Munculnya alternatif penggunaan rumah ibadah sebagai sarana mobilisasi massa menjadi fenomena yang perlu disorot. Tentu saja, hal ini tidak terjadi tanpa alasan yang jelas. Salah satu alasan utama para kader partai politik menggunakan rumah ibadah sebagai wadah mobilisasi masa adalah untuk memanfaatkan momentum yang ada. Para calon dari partai politik cenderung memanfaatkan momen-momen tersebut dengan konsep silaturahim. Mereka berharap melalui pertemuan-pertemuan tersebut, para calon dapat menarik simpati pendukung dan memastikan posisi mereka di pemilu.

 Pemanfaatan rumah ibadah sebagai tempat untuk meraih dukungan politik juga memiliki beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, rumah ibadah sering kali menjadi pusat kegiatan masyarakat dan memiliki basis pengikut yang kuat. Dengan memilih rumah ibadah sebagai tempat berkumpul, partai politik dapat mengakses langsung kelompok-kelompok masyarakat yang sering menghadiri tempat ibadah tersebut. Hal ini memberi kesempatan kepada para calon politik untuk berinteraksi secara langsung dengan massa dan membangun ikatan emosional yang lebih kuat. Selain itu, rumah ibadah juga dianggap sebagai tempat yang netral dan bermartabat di mata masyarakat. Dalam konteks politik yang sering kali penuh dengan kontroversi dan perdebatan, memilih rumah ibadah sebagai lokasi pertemuan dapat memberikan kesan yang positif bagi calon politik. Ini dapat meningkatkan citra dan reputasi mereka di mata masyarakat serta mendapatkan dukungan yang lebih besar. Namun, penggunaan rumah ibadah sebagai tempat mobilisasi massa juga menimbulkan polemik.

Beberapa pihak mungkin menganggap tindakan ini sebagai penyalahgunaan tempat suci untuk kepentingan politik. Mereka berpendapat bahwa rumah ibadah seharusnya tetap menjadi tempat untuk beribadah dan tidak seharusnya terlibat dalam urusan politik. Selain itu, tindakan ini juga dapat memicu perpecahan di kalangan masyarakat yang memiliki preferensi politik yang berbeda. Dalam menghadapi polarisasi politik dan mobilisasi massa menjelang pemilu 2024, perlu ada kebijakan yang jelas terkait penggunaan rumah ibadah sebagai wadah politik. Penting bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengatur dan mengawasi kegiatan politik di rumah ibadah agar tetap menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan kebebasan beribadah. Selain itu, masyarakat juga harus bijak dalam menyikapi penggunaan rumah ibadah dalam konteks politik agar tidak terjadi polarisasi yang merugikan persatuan dan kesatuan bangsa.

Namun, akhir-akhir ini nampaknya polarisasi dan mobilisasi masa yang dilakukan oleh kader partai politik dengan menggunakan rumah ibadah mulai nampak kepermukaan menjelang pemilihan umum di tahun 2024. Berbagai macam strategi yang dilakukan untuk memetakan kubu-kubu pendukung mereka guna menarik simpatisan masyarakat. Pentingnya untuk menyoroti ini tentu penulis memiliki alasan tertentu. Diantara kita semua pasti tidak menginginkan peristiwa yang dulu pernah terjadi akan terulang kembali di tahun ini. Contoh kasus itu misalnya kejadian yang sempat viral pada tahun 2018 di Masjid Al-Ihsan Banten. Dimana, Seorang kader partai politik menggunakan momen ceramah Jumat untuk menyebarkan pesan politik yang kontroversial dan memicu perpecahan di antara jamaah. Ceramah tersebut disinyalir memiliki tujuan untuk mempengaruhi pandangan politik jamaah dan memobilisasi mereka untuk mendukung partai tertentu. Dengan demikian, model polarisasi masa yang seperti itu tentu menimbulkan kedilematisan bagi kita semua.

Karim, (2019) menyatakan bahwa polarisasi politik merupakan fenomena di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok atau lebih yang memiliki pandangan politik yang bertentangan secara tajam. Hal ini terjadi ketika perbedaan dalam keyakinan, nilai, ideologi, atau sikap terhadap isu-isu politik tertentu menciptakan pemisahan yang kuat di antara kelompok-kelompok tersebut. Polarisasi sering kali menciptakan suasana politik yang tegang dan konflik yang intens antara pendukung kelompok-kelompok yang berbeda. Perbedaan pandangan politik yang dalam bisa terjadi dalam berbagai isu, termasuk isu-isu sosial, ekonomi, agama, lingkungan, dan lain sebagainya. Perbedaan ini sering kali memunculkan perasaan loyalitas dan identitas kelompok yang kuat di antara para pendukung. Polarisasi politik juga dapat terjadi karena adanya penguatan dan pengkategorian yang kuat dalam politik. Hal ini dapat terjadi melalui retorika politik yang polarisatif, media sosial, kelompok-kelompok kepentingan, atau perbedaan dalam pilihan media informasi. Dalam banyak kasus, polarisasi politik diintensifkan oleh perpecahan sosial, ekonomi, atau budaya yang ada di dalam masyarakat.

Di satu sisi, polarisasi politik dapat memperkuat identitas dan solidaritas di antara pendukung kelompok-kelompok yang sama. Menyikapi hal itu Ardiantoro, (2022) berpendapat bahwa polarisasi politik juga dapat memperdalam kesenjangan antara kelompok-kelompok, menghambat dialog, dan menghambat proses pengambilan keputusan yang efektif. Polarisasi politik juga dapat mempengaruhi dinamika pemilihan umum. Pendukung kelompok-kelompok yang polarisatif cenderung menggalang massa dan memobilisasi dukungan mereka untuk calon atau partai yang mereka dukung. Hal ini dapat menciptakan polarisasi yang lebih dalam dalam konteks pemilihan, dan dalam beberapa kasus, mempengaruhi hasil pemilihan itu sendiri. pada prinsipnya polarisasi politik sebetulnya tidak terlepas dari mobilisasi massa. Dimana mobilisasi ini merujuk pada proses atau upaya untuk mengorganisir dan memobilisasi individu atau kelompok dalam partisipasi politik aktif. Mobilisasi massa dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kampanye politik, demonstrasi, pertemuan publik, petisi, pemungutan suara, atau upaya lainnya untuk mempengaruhi hasil politik.

Sebenarnya, tujuan utama dari mobilisasi massa adalah untuk menggerakkan dan menggalang dukungan dari sebanyak mungkin individu atau kelompok untuk tujuan politik tertentu, seperti mendukung calon kandidat, mempromosikan isu-isu tertentu, atau mempengaruhi kebijakan publik. Dalam konteks pemilihan umum, mobilisasi massa menjadi penting untuk mendapatkan suara dan memenangkan pemilihan. Mobilisasi massa melibatkan strategi dan taktik yang berbeda. Partai politik, kelompok kepentingan, atau kampanye politik sering kali menggunakan berbagai alat dan teknik komunikasi, termasuk media sosial, iklan, acara kampanye, dan pertemuan umum untuk memobilisasi massa. Mereka juga dapat mengandalkan relawan, sukarelawan, atau agen-agen lapangan untuk melakukan kegiatan pemberdayaan dan pendekatan langsung kepada pemilih potensial.

Dalam upaya mobilisasi massa, partai politik akan berusaha untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politik mereka kepada publik. Mereka akan mempromosikan platform dan program mereka, menyoroti pencapaian mereka, menyoroti kekurangan atau kegagalan partai lain, dan berusaha membangun hubungan emosional dengan pemilih potensial. Dengan cara ini, partai-partai tersebut berharap dapat mempengaruhi opini dan sikap massa, serta memperoleh dukungan mereka. Namun, polarisasi politik dan mobilisasi massa dalam pemilihan umum juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. Pada beberapa kasus, persaingan politik yang sengit dapat memicu retorika yang memecah-belah, kampanye hitam, atau penyebaran informasi yang tidak akurat. Ini dapat memperdalam perpecahan dalam masyarakat dan mengganggu stabilitas politik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan Judul bahwa "Polarisasi dan Mobilisasi Partai Politik Menjelang Pemilu 2024" mengacu pada dua fenomena penting yang terjadi dalam konteks politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. Pertama, polarisasi politik yang mencerminkan pembagian masyarakat menjadi kubu-kubu yang berbeda secara ideologis, sosial, atau politik. Kedua, mobilisasi partai politik yang merujuk pada upaya partai politik untuk memperoleh dukungan pemilih dan meningkatkan partisipasi politik menjelang pemilu. Kedua, Polarisasi politik dapat menghasilkan atmosfer politik yang tegang, di mana perbedaan pendapat yang tajam dan konflik antar kubu bisa terjadi. Polarisasi yang ekstrim dapat mempengaruhi stabilitas politik dan memperumit proses demokrasi. Dalam konteks Pemilu 2024, polarisasi politik dapat terjadi karena perbedaan pandangan terkait isu-isu kunci, seperti agama, etnisitas, ekonomi, lingkungan, atau isu sosial lainnya. Ketiga, Sementara itu, mobilisasi partai politik mencakup strategi dan upaya partai politik untuk membangun basis dukungan yang kuat, meningkatkan partisipasi pemilih, dan mengamankan suara pemilih. Mobilisasi ini dapat mencakup kampanye yang intens, pemanfaatan media sosial dan teknologi, pengorganisasian acara-acara politik, serta upaya partai politik untuk menyuarakan janji-janji mereka dan membangun hubungan dengan pemilih.

Daftar Pustaka:

Karim, A. G. (2019). Mengelola Polarisasi Politik dalam Sirkulasi Kekuasaan di Indonesia: Catatan bagi Agenda Riset. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 10(0), 2.

Ardiantoro, J. (2022). Negara dan Polarisasi Politik: Pelajaran dari Pemilihan Umum 1999. Muqaddimah Jurnal Pemikiran dan Riset Sosiologi, 3(1), 1-10.


Krisis Identitas: Perpecahan dan Reorientasi Partai Demokrat Menghadapi Pemilu 2024

 

Lulu Savitri I. Lumuan
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Dalam dunia politik yang terus berubah dan kompleks, partai politik sering kali menghadapi tantangan dalam menjaga identitas dan kesatuan internal mereka. Krisis identitas merupakan fenomena yang dapat mempengaruhi partai politik, baik di tingkat nasional maupun regional, dengan konsekuensi yang signifikan terhadap stabilitas politik dan arah kebijakan yang diambil. Perpecahan dan reorientasi menjadi pemandangan umum saat partai politik berusaha menavigasi tuntutan masyarakat yang berkembang dan persaingan politik yang semakin ketat. Krisis identitas dalam partai politik mencerminkan konflik internal yang muncul akibat perbedaan pendapat dalam hal visi, misi, atau nilai-nilai dasar yang dipegang oleh anggota partai. Perselisihan dalam hal ideologi, kebijakan, atau kepemimpinan sering kali menjadi pemicu utama dalam perpecahan partai. Ketika partai politik menghadapi krisis identitas, reorientasi menjadi langkah penting untuk mencari jati diri baru dan menarik kembali dukungan masyarakat.

Studi riset yang dilakukan oleh Winarti & Nazaki, (2019) menunjukan bahwa ketika partai politik mengalami krisis identitas, hal ini cenderung mempengaruhi kemampuan partai politik untuk mewakili dan mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan pemilih mereka dengan efektif. Bila merujuk pada hasil temuan tersebut, kita dapat menginterpretasikan bahwa krisis identitas dalam partai politik sebenarnya dapat mengakibatkan kebingungan mengenai platform politik, arah kebijakan, dan nilai-nilai yang dianut oleh partai. Akibatnya, partai politik mungkin gagal memberikan representasi yang jelas dan konsisten terhadap pemilih mereka. Ketidakpastian dan inkonsistensi dalam pandangan dan kebijakan partai dapat mengakibatkan pemilih merasa kurang terwakili atau bahkan kehilangan kepercayaan terhadap partai tersebut. Dalam konteks krisis fungsi representasi, pemilih mungkin merasa sulit untuk mengidentifikasi partai politik yang mewakili kepentingan dan nilai-nilai mereka.

Selain itu, krisis identitas dalam partai politik juga dapat mengakibatkan polarisasi di antara pemilih, di mana kelompok-kelompok pemilih tertentu cenderung beralih ke partai-partai yang menawarkan identitas politik yang lebih konsisten atau sesuai dengan pandangan mereka. Krisis identitas partai politik tercermin dari salah satu partai politik yang pernah berkuasa di Indonesia, yaitu Partai Demokrat. Partai ini awalnya menunjukkan konsistensi identitas di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang berhasil menarik banyak simpati dari publik. Namun, setelah terjadi peralihan kepemimpinan kepada anaknya, yaitu Ari Murti Yudhoyono, tidak berlangsung lama yang dimana pada tahun 2022, terjadi gejolak konflik internal dalam partai tersebut. Peristiwa ini lebih dikenal dengan sebutan tragedi dua kubu di Partai Demokrat, yaitu kubu Ari Murti Yudhoyono sebagai ketua umum yang sah secara kelembagaan partai dan kubu Moeldoko sebagai ketua umum versi KLB. Konflik antara kedua kubu tersebut menunjukkan perpecahan dalam pandangan politik, visi, dan kepemimpinan dalam Partai Demokrat.

 Seiring dengan berlanjutnya konflik, partai ini menghadapi tantangan dalam menjaga identitas yang konsisten, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas dan arah partai politik tersebut. Perbedaan pendapat dan perselisihan kepemimpinan menjadi faktor krusial yang memicu konflik dalam Partai Demokrat. Kedua kubu memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengelola partai dan memilih arah kebijakan yang diambil. Hal ini menyebabkan perpecahan di antara anggota partai, dengan masing-masing kubu berupaya memperoleh dukungan sebanyak mungkin. Dampak dari krisis identitas dan konflik internal ini terhadap Partai Demokrat cukup signifikan. Salah satu dampaknya adalah penurunan dukungan publik dan kehilangan kepercayaan dari masyarakat terhadap partai ini. Pemilih yang sebelumnya mendukung Partai Demokrat karena identitas dan kepemimpinan SBY mungkin merasa bingung dan kecewa dengan situasi yang memunculkan perselisihan dalam partai. Selain itu, krisis identitas dan perpecahan ini juga berdampak pada stabilitas partai politik itu sendiri. Ketidakstabilan kepemimpinan, pertentangan internal, dan fokus yang terpecah mempengaruhi kemampuan partai dalam menyusun kebijakan yang konsisten dan efektif. Ini dapat mengurangi daya tarik dan daya saing partai dalam arena politik.

Seiring berjalannya waktu, Partai Demokrat berusaha melakukan reorientasi untuk mengatasi krisis identitas dan restrukturisasi partai. Beberapa upaya yang dilakukan mencakup restrukturisasi internal, perubahan kebijakan, dan upaya untuk menyatukan kembali anggota partai yang terpecah menjadi dua kubu. Proses reorientasi ini menjadi tantangan yang kompleks. Membutuhkan komunikasi yang efektif, negosiasi, dan kompromi untuk mencapai rekonsiliasi di antara anggota partai yang berselisih. Selain itu, partai juga perlu melakukan upaya nyata dalam memperbaiki citra dan memperoleh kembali kepercayaan publik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa partai politik adalah instrumen penting dalam sistem demokrasi. Stabilitas, kesatuan, dan identitas yang konsisten dalam partai politik memainkan peran penting dalam mewakili kepentingan masyarakat, membangun kepercayaan, dan mempertahankan stabilitas politik. sehingga Proses reorientasi dan rekonsiliasi menjadi langkah penting untuk memperbaiki citra partai dan membangun kembali kepercayaan publik. Hanya dengan menjaga konsistensi identitas, partai politik dapat memainkan peran yang efektif dalam mewakili dan melayani kepentingan masyarakat.

Berkenaan dengan krisis identitas atas perpecahan dan reorientasi dalam partai politik Priyowidodo, (2014) membagi menjadi lima faktor diantaranya;

(1)  Perbedaan orientasi ideologi partai politik: Ideologi adalah salah satu faktor yang dapat memicu krisis identitas dalam partai. Ketika anggota partai memiliki perbedaan pendapat dalam hal haluan ideologi yang ingin diperjuangkan, hal ini dapat menimbulkan konflik internal dan merusak kesatuan partai. Perbedaan pandangan tentang nilai-nilai politik, visi, dan arah kebijakan dapat menyebabkan ketidakselarasan dalam identitas partai dan memicu krisis identitas.

(2)  Perbedaan orientasi kepentingan politik: Kepentingan juga dapat menjadi faktor yang memicu krisis identitas dalam partai politik. Ketika anggota partai memiliki kepentingan politik yang berbeda-beda, terutama dalam hal perebutan kekuasaan atau pengambilan keputusan strategis, hal ini dapat menciptakan perselisihan dan ketidakharmonisan dalam partai. Perbedaan orientasi kepentingan politik dapat mempengaruhi stabilitas partai dan merusak konsistensi identitas partai.

(3)  Perbedaan distribusi dan alokasi peran aktor dalam partai politik: Alokasi peran aktor juga dapat memicu krisis identitas. Ketika terjadi perbedaan pandangan mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing aktor dalam partai, konflik dapat muncul. Ketidakjelasan dalam distribusi dan alokasi peran dapat mengganggu koordinasi dan kerjasama antar anggota partai, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi stabilitas dan identitas partai.

(4)  Perbedaan implementasi kebijakan partai: Kebijakan juga dapat menjadi faktor yang memicu krisis identitas. Ketika terjadi perbedaan dalam hal bagaimana kebijakan partai harus diimplementasikan, termasuk strategi politik dan tindakan konkret yang diambil, hal ini dapat menciptakan ketidakselarasan dan konflik dalam partai. Jika partai tidak mampu mencapai konsensus mengenai implementasi kebijakan, hal ini dapat merusak identitas partai dan menyebabkan krisis identitas.

(5)  Perbedaan gaya kepemimpinan sang ketua umum partai: Ketika terjadi perbedaan pendekatan dan gaya kepemimpinan yang diusung oleh ketua umum partai, ini dapat menciptakan polarisasi dan perselisihan di dalam partai. Gaya kepemimpinan yang tidak konsisten atau tidak dapat diterima oleh sebagian anggota partai dapat menghancurkan kesatuan dan identitas partai.

 Disisi lain, Romli, (2018) memiliki pendapat yang berbeda bahwa ketika terjadi krisis identitas atas perpecahan dan reorientasi dalam partai politik itu diakibatkan oleh beberapa faktor diantaranya;

(1)   Perubahan sosial dan politik: Perubahan sosial dan politik yang cepat dan kompleks dapat menimbulkan tantangan bagi partai politik dalam menjaga konsistensi identitas. Ketika tuntutan dan aspirasi masyarakat berubah, partai politik mungkin mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Jika partai tidak dapat secara responsif merespons perubahan tersebut, dapat timbul ketidakcocokan antara apa yang diinginkan oleh masyarakat dan apa yang diperjuangkan oleh partai, yang pada gilirannya dapat menyebabkan krisis identitas.

(2)   Perselisihan ideologi dan kebijakan: Perselisihan dalam hal ideologi, pandangan politik, atau kebijakan dapat menjadi pemicu krisis identitas dalam partai politik. Ketika terjadi perbedaan pendapat yang fundamental antara anggota partai, terutama dalam hal haluan ideologi atau arah kebijakan yang harus diambil, hal ini dapat memunculkan konflik internal yang mengancam kesatuan dan konsistensi identitas partai. Perbedaan pandangan ini dapat memicu perpecahan dan ketidakstabilan dalam partai politik.

(3)   Kontestasi kepemimpinan: Pertentangan dan persaingan dalam hal kepemimpinan partai politik juga dapat menyebabkan krisis identitas. Ketika partai menghadapi ketidaksepakatan mengenai siapa yang akan memimpin dan bagaimana dinamika kekuasaan partai berkembang, ini dapat mengganggu kesatuan dan stabilitas partai. Persaingan internal yang intens dapat memicu konflik dan perpecahan, yang pada akhirnya mempengaruhi identitas partai dan citra publiknya.

Pada dasarnya untuk menghadapi faktor-faktor ini, partai politik perlu memiliki mekanisme yang kuat untuk mengelola perbedaan pendapat dan konflik internal. Keterbukaan untuk mendengarkan dan berkomunikasi antar anggota partai, dialog yang konstruktif, serta proses pengambilan keputusan yang demokratis dapat membantu menghindari krisis identitas. Selain itu, partai juga harus terus memantau perkembangan sosial dan politik, serta melakukan adaptasi yang tepat guna memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dengan menjaga kesatuan, konsistensi identitas, dan adaptabilitas yang baik, partai politik dapat mengatasi krisis identitas dan memperkuat peran mereka dalam mewakili kepentingan masyarakat serta menjaga stabilitas dalam sistem politik.

Dalam menghadapi faktor-faktor yang memicu krisis identitas dalam partai politik, partai tersebut perlu mengadopsi mekanisme yang kuat untuk mengelola perbedaan pendapat dan konflik internal. Keterbukaan, komunikasi yang efektif, dan dialog yang konstruktif merupakan komponen penting dalam menghindari terjadinya krisis identitas. Partai politik harus memberikan ruang untuk mendengarkan dan menghargai pandangan beragam anggota partai, sehingga dapat mencapai kesepakatan dan konsensus yang lebih baik. Selain itu, proses pengambilan keputusan yang demokratis juga sangat penting. Partai politik harus menjalankan proses pengambilan keputusan yang inklusif dan transparan, di mana setiap anggota partai memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif. Dalam hal ini, partai harus memastikan bahwa mekanisme internal seperti rapat umum anggota, diskusi terbuka, dan pemilihan kepemimpinan dilakukan secara adil dan transparan. Dengan cara ini, partai dapat meminimalisir konflik dan meningkatkan legitimasi keputusan yang diambil.

Disisi lain, Partai politik juga harus mampu memantau perkembangan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Perubahan sosial, tuntutan publik, dan aspirasi masyarakat dapat berdampak langsung pada identitas dan arah partai politik. Oleh karena itu, partai perlu memiliki kemampuan adaptasi yang baik. Partai harus selalu mengkaji kebijakan dan strategi yang dijalankan, serta melakukan evaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa partai tetap relevan dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan adaptif, partai dapat menghindari terperosok ke dalam krisis identitas dan tetap menjadi representatif bagi kepentingan masyarakat. langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kesatuan dan konsistensi identitas adalah faktor penting dalam mengatasi krisis identitas. Partai politik harus memiliki visi, nilai, dan tujuan yang jelas, serta mampu mempertahankan konsistensi dalam haluan ideologi dan pandangan politiknya. Melalui pemahaman yang kuat terhadap identitas partai, partai politik dapat membangun citra yang konsisten di mata publik dan memperkuat kepercayaan yang diberikan oleh pendukungnya. Hal ini juga dapat meminimalisir potensi perpecahan dan konflik internal.

Daftar Pustaka:

Romli, L. (2018). Koalisi Dan Konflik Internal Partai Politik Pada Era Reformasi. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 8(2).

Priyowidodo, G. (2014). Refleksi Akhir Tahun: Menanti Islah, Partai Pecah Kongsi. Refleksi Akhir Tahun: Menanti Islah, Partai Pecah Kongsi.

Winarti, N., & Nazaki, N. (2019). Problematika Kelembagaan Partai Politik. KEMUDI: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 4(1), 112-122.

Thursday 18 May 2023

Dibalik Angka: Sistem Presidensial Threshold 20% dan Implikasinya Bagi Partai Politik

Farhana Putri Maramis
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Kemasyarakatan Prodi PPKn
Universitas Negeri Gorontalo

Akhir-akhir ini, sistem Presidensial Threshold 20% telah menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan di Indonesia. Sistem ini membatasi partai politik yang dapat mencalonkan kandidat presiden, dengan persyaratan bahwa partai harus memperoleh minimal 20% suara nasional atau 25% kursi di parlemen untuk dapat mengajukan calon presiden. Sistem Presidensial Threshold 20% berakar pada suatu konsep ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh partai politik agar dapat mencalonkan kandidat presiden. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mendorong stabilitas politik, mencegah fragmentasi kekuasaan, dan memperkuat partai politik. Secara historis. pengimplementasian Sistem Presidensial Threshold dapat ditelusuri kembali ke negara-negara Amerika Latin pada paruh pertama abad ke-20. Seperti negara Argentina, Brasil, dan Meksiko yang pertama kali menerapkan ambang batas suara atau persentase kursi parlemen yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat mencalonkan calon presiden. Adapun tujuan utama dari sistem ini adalah untuk menghindari kegagalan pemerintahan yang tidak stabil dan membatasi fragmentasi partai politik. (Haris, 2014).

Disisi lain, sistem ini memiliki dampak yang signifikan terhadap paradigma dan dinamika partai politik di Indonesia. Perubahan paradigma dalam partai politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari seiring dengan adanya perubahan regulasi politik yang selalu berubah-ubah. Paradigma yang mengacu pada pola pikir, strategi, dan orientasi partai politik akan mengalami pergeseran sebagai respons terhadap tuntutan dan persyaratan baru yang ditetapkan oleh sistem tersebut. di Indonesia, Sistem Presidensial Threshold 20% diperkenalkan dalam upaya untuk mengatasi kelemahan sistem presidensial sebelumnya yang menghasilkan banyak partai politik kecil dan koalisi pemerintahan yang rapuh. Pada awalnya, ambang batas yang ditetapkan adalah 3,5% dari suara nasional atau 4% kursi di parlemen. Namun, pada tahun 2019, Undang-Undang Pemilu direvisi dan ambang batas ditingkatkan menjadi 20% suara nasional atau 25% kursi di parlemen. (Putra, 2019).

Salah satu perubahan paradigma yang terjadi adalah bahwa partai politik menjadi lebih fokus dan berorientasi pada konsolidasi internal. Sebelum adanya Sistem Presidensial Threshold 20%, partai politik sering kali mengadopsi strategi koalisi yang luas dengan berbagai partai kecil untuk memperoleh dukungan elektoral yang lebih besar. Namun, dengan adanya persyaratan ambang batas yang lebih tinggi, partai politik menjadi lebih berupaya untuk membangun kekuatan dan popularitas sendiri secara mandiri. Paradigma kolaborasi dengan partai lain beralih menjadi upaya untuk memperkuat struktur internal partai dan membangun basis elektoral yang kuat. Perubahan paradigma lainnya adalah munculnya dorongan partai politik untuk meningkatkan kualitas dan visibilitas calon presiden mereka. Dalam upaya untuk memenuhi persyaratan Sistem Presidensial Threshold 20%, partai politik cenderung mencalonkan kandidat yang memiliki popularitas tinggi, kapasitas kepemimpinan yang kuat, dan rekam jejak yang meyakinkan. Secara realitas, penerapan Sistem Presidensial Threshold 20% di Indonesia telah mempengaruhi dinamika partai politik secara signifikan. Salah satu dampaknya adalah munculnya paradigma baru dalam politik, di mana partai politik harus berjuang untuk mencapai persyaratan ambang batas agar dapat mencalonkan calon presiden. Ini mendorong partai politik untuk lebih fokus pada konsolidasi internal, selektif dalam memilih calon, dan meningkatkan strategi komunikasi dan kampanye politik.

Akibatnya, hal ini mengubah cara pandang partai politik merekrut dan mempersiapkan calon presiden, di mana kini lebih diperhatikan aspek elektabilitas dan kemampuan untuk menggerakkan massa pemilih. Paradigma ini menggiring partai politik untuk lebih selektif dan kritis dalam memilih calon presiden mereka, dengan harapan dapat mengatasi ambang batas yang ditetapkan oleh sistem. Selain itu, perubahan paradigma dalam partai politik juga tercermin dalam strategi komunikasi dan kampanye politik yang mereka lakukan. Dalam upaya untuk mencapai ambang batas persyaratan, partai politik harus lebih proaktif dan inovatif dalam mengkomunikasikan visi, program, dan pesan politik mereka kepada publik. Paradigma kampanye politik berubah dari sekadar mengejar popularitas ke arah membangun kesadaran, kepercayaan, dan dukungan publik yang kuat. Partai politik harus meningkatkan kualitas komunikasi politik mereka melalui berbagai saluran media dan strategi kampanye yang lebih terarah, responsif, dan efektif.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sistem Presidensial Threshold 20% memberikan tekanan dan tantangan baru bagi partai politik di Indonesia. Namun, perubahan paradigma yang terjadi juga memberikan peluang untuk melakukan transformasi yang lebih baik dalam sistem politik. Paradigma kolaborasi yang lebih terbatas dan pemilihan calon presiden yang lebih selektif dapat membawa dampak positif dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan dan stabilitas politik di negara ini. Selain itu, perubahan paradigma juga mendorong partai politik untuk lebih fokus pada kepentingan publik, memperkuat struktur internal, dan meningkatkan akuntabilitas dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab politik mereka. Namun, perlu diingat bahwa perubahan paradigma ini juga menghadirkan risiko, terutama terkait dengan kecenderungan oligarki politik dan kurangnya ruang untuk partai-partai kecil dan calon independen. Adanya ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik yang sehat. Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kepentingan politik dan masyarakat sipil untuk terus memantau dan mendorong adanya penyesuaian yang adil dan inklusif dalam sistem ini.

Secara keseluruhan, Sistem Presidensial Threshold 20% membawa perubahan paradigma yang signifikan dalam partai politik di Indonesia. Paradigma kolaborasi yang luas berubah menjadi fokus pada konsolidasi internal dan pemilihan calon presiden yang lebih selektif. Perubahan ini juga mempengaruhi strategi komunikasi dan kampanye politik partai politik. Meskipun ada tantangan yang perlu diatasi, perubahan paradigma ini memberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan dan stabilitas politik. Dalam konteks yang lebih luas, penting untuk menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan inklusivitas demokrasi, sehingga partai politik dapat berfungsi sebagai wadah yang kuat untuk perwakilan dan pelayanan publik. Namun, terlepas dari hal itu sistem Presidensial Threshold 20% juga disatu sisi menuai kontroversi. Beberapa kritikus berpendapat bahwa ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik, serta membatasi pluralisme politik dengan menguntungkan partai politik yang sudah mapan dan menghambat partai-partai kecil serta calon independen. Selain itu, ada juga kekhawatiran akan potensi terjadinya oligarki politik, di mana hanya partai-partai besar yang mendominasi panggung politik.

Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, penerapan Presidensial threshold dianggap sebagai kebijakan yang lebih demokratis karena tidak mengancam eksistensi partai politik dalam mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini juga menyatakan bahwa Presidensial threshold tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena tidak mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat, dan tidak bersifat diskriminatif karena berlaku untuk semua partai politik. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, dikemukakan bahwa ketentuan mengenai Presidensial threshold merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk Undang-Undang. Istilah kebijakan hukum terbuka ini berarti bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kebebasan untuk mengambil kebijakan hukum.

Atas putusan tersebut, tentu di satu sisi tidak dapat pula dibedakan bahwa keseluruhan mekanisme sistem presidensial treshold tidak memiliki dampak-dampak tertentu bagi partai politik. Hal itu sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ambarwati at.,al (2020) mengklasifikasikan dampak positif dan negatif mengenai sistem Presidensial Threshold 20% diantaranya sebagai berikut:

1.      Dampak Positif:

a)     Stabilitas Politik:

Salah satu dampak positif yang diungkapkan adalah peningkatan stabilitas politik. Dengan menerapkan ambang batas yang tinggi, sistem ini bertujuan untuk mencegah fragmentasi partai politik dan mengurangi pembentukan pemerintahan koalisi yang rapuh. Dengan demikian, diharapkan dapat memperkuat pemerintahan dan kestabilan politik di negara tersebut.

b)     Pemilihan Calon yang Lebih Berkualitas:

Adanya ambang batas yang tinggi mendorong partai politik untuk lebih selektif dalam memilih calon presiden. Dalam upaya mencapai ambang batas tersebut, partai politik cenderung mencalonkan kandidat yang memiliki popularitas tinggi, kapasitas kepemimpinan yang kuat, dan rekam jejak yang meyakinkan. Hal ini dapat berdampak positif dalam meningkatkan kualitas kepemimpinan dan pemimpin yang berkualitas.

c)      Konsolidasi Partai Politik:

Sistem ini juga mendorong partai politik untuk lebih fokus pada konsolidasi internal. Dalam upaya untuk mencapai persyaratan ambang batas, partai politik harus memperkuat struktur internal, membangun basis elektoral yang kuat, dan meningkatkan koherensi partai. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperkuat partai politik sebagai lembaga yang kuat dan efektif dalam mewakili kepentingan publik.

2.      Dampak Negatif:

a)     Pembatasan Pluralisme Politik:

Salah satu kritik utama terhadap Sistem Presidensial Threshold 20% adalah bahwa ambang batas yang tinggi dapat mempersempit ruang demokrasi dan partisipasi politik. Partai-partai kecil dan calon independen mungkin menghadapi kesulitan dalam mencapai persyaratan ambang batas ini, sehingga mengurangi pluralisme politik dan berpotensi membatasi variasi ideologi dan pandangan politik yang diwakili dalam pemerintahan.

b)     Potensi Oligarki Politik:

Beberapa ahli mengkhawatirkan bahwa sistem ini dapat mengarah pada oligarki politik, di mana hanya partai-partai besar yang dominan dan memiliki kendali penuh terhadap pemerintahan. Hal ini dapat mengurangi persaingan politik yang sehat dan menghambat keberagaman suara politik di negara tersebut.

c)      Kurangnya Representasi:

Sistem ini juga dapat menghasilkan ketidak representatif partai politik dalam pemerintahan. Akibatnya, partai politik yang tidak mendapatkan kesempatan dalam mengajukan calon presiden menimbulkan permasalahan yang tim yang cenderung kalah akan selalu berada pada oposisi dan selalu mencari celah atau masalah pada partai politik yang memenangkan pemilihan presiden.

Selanjutnya Ansori, (2017) menyatakan bahwa penerapan Presidensial threshold mengandung konsekuensi hilangnya kesempatan dan hak warga negara melalui partai politik yang tidak memenuhi besaran angka yang ditentukan untuk mengajukan calonnya. Oleh karena itu perlu diperhatikan, sesuai dengan prinsip demokrasi, dalam penentuan ambang batas besaran Presidensial threshold tidak boleh merugikan kelompok masyarakat tertentu terutama minoritas. Penentuan ambang batas Presidensial threshold harus memperhatikan keragaman masyarakat yang tercermin dalam aspirasi politik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Dibalik angka, terdapat dua hal yang dapat diamati, yaitu Sistem Presidensial Threshold 20% dan perubahan paradigma partai politik. Sistem Presidensial Threshold 20% dan perubahan paradigma partai politik memiliki implikasi yang signifikan dalam partai politik. Sedangkan Aturan ambang batas ini mendorong partai politik untuk beradaptasi dan memperhatikan kepentingan masyarakat secara lebih intensif. Perubahan paradigma partai politik menjadi lebih responsif terhadap aspirasi publik adalah refleksi dari permintaan masyarakat yang semakin tinggi akan akuntabilitas dan partisipasi politik.

Daftar Pustaka:

Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidensial Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.

Ambarwati, S. D., Saifulloh, M. R., & Aritonang, S. M. (2020). Rekonstruksi Sistem Presidensial Threshold Dalam Sistem Pemilu Di Indonesia:(Studi Perbandingan Sistem Presidensial Threshold Indonesia Dan Brazil). Jurnal Hukum Lex Generalis, 1(5), 80-95.

Haris, S. (2014). Masalah-Masalah Demokrasi Dan Kebangsaan Era Reformasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Putra, A. (2019). Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/Puu-Xv/2017 Tentang Presidensial Threshold Sebagai Syarat Ambang Batas Pengajuan Presiden Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (Doctoral Dissertation, Iain Jember).