Monday 9 May 2022

DINASTI POLITIK DALAM PEMERINTAHAN LOKAL

 

 

SIntia Wantu
Studi S1 PPKn UNG

Dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga, Pertama, macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahanan. Dinasti Politik merupakan ekses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh sirkulasi hubungan inti genealogis, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan family.

Dalam prakteknya sendiri aktualisasi dinasti politik dilakukan dengan beberapa sudut pandang yaitu neopatrimonialisme, klan politik, dan predator politik. Berkembangnya dinasti politik di tingkat lokal juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk ‘Cendanaisasi’ lokal. Istilah cendanaisasi merujuk pada Keluarga Cendana semasa 32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat berkuasa dalam ekonomi[1]politik Indonesia. Semua pos-pos kunci pemerintahan dikuasai anak, menantu, kemenakan, maupun kerabat lainnya, sehingga kekuasaan tersebut menjadi langgeng selama tiga dekade pemerintahan. Pola itulah yang sebenarnya sedang berkembang dan dicontoh oleh para keluarga elit lokal bahwa proses demokrasi lokal bisa ditelikung dengan menempatkan kerabat dalam posisi strategis daerah Secara harfiah, dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga. Adapun berbagai gejala yang mendasari terbentuknya suatu dinasti menurut Wasisto (2013: 203) dapat dianalisis dari dua hal.

 Pertama, macetnya kaderisasi partai politik dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan petahanan. Kedua gejala umum tersebut menimbulkan adanya sikap pro dan kontra dalam pemahaman dinasti politik tersebut. Sikap pro dan kontra kemudian berkembang menjadi perdebatan diskursus dalam revisi RUU Pilkada. Di satu sisi, ada pihak menginginkan pembatasan dinasti politik dengan cara membatasi sanak saudara kepala daerah untuk maju dalam Pemilukada, sementara yang lain mengusulkan dinasti politik tak perlu dilarang, hanya saja sistem kaderisasi partai politik di daerah perlu dibenahi. Adanya sikap pro dan kontra terhadap kemunculan dinasti politik tersebut sangatlah erat kaitannya dengan budaya politik yang berkembang di masyarakat.

Budaya politik sendiri berkaitan dengan preferensi kekuasan yang dibangun baik dari segi penerimaan publik maupun pembangunan rezim. Maka pertanyaan yang relevan dalam pembahasan dinasti politik adalah bagaimana karakteristik preferensi budaya politik berkembang dalam pembentukan politik dinasti. Adapun preferensi budaya pemilih erat kaitannya dengan perilaku memilih yakni kecenderungan pemilih untuk memilih berdasarkan sumber informasi yang ditangkap baik itu rasional maupun tradisional (Cesar, 2013). Dinasti Politik merupakan ekses negatif dari otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh sirkulasi hubungan inti genealogis, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan famili. Hal itulah yang kemudian memicu kalangan kerabat menjadi elit sebagai kata kunci pemahaman dinasti dalam praktek pemerintahan lokal (Syamsudin, 2007). Dalam prakteknya sendiri aktualisasi dinasti politik dilakukan dengan beberapa sudut pandang yaitu neopatrimonialisme, klan politik, dan predator politik.

 

 

 

 

 

 

 

No comments: