SIntia Wantu Studi S1 PPKn UNG |
Dinasti politik
dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan
cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih
merupakan kalangan sanak keluarga, Pertama, macetnya kaderisasi partai politik
dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan
pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah
untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya
kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa dengan
cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah menggantikan
petahanan. Dinasti Politik merupakan ekses negatif dari otonomi daerah yang
menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh sirkulasi hubungan inti
genealogis, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di luar garis genealogis
yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan family.
Dalam prakteknya
sendiri aktualisasi dinasti politik dilakukan dengan beberapa sudut pandang
yaitu neopatrimonialisme, klan politik, dan predator politik. Berkembangnya
dinasti politik di tingkat lokal juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk
‘Cendanaisasi’ lokal. Istilah cendanaisasi merujuk pada Keluarga Cendana semasa
32 tahun kepemimpinan Presiden Soeharto yang sangat berkuasa dalam ekonomi[1]politik Indonesia.
Semua pos-pos kunci pemerintahan dikuasai anak, menantu, kemenakan, maupun
kerabat lainnya, sehingga kekuasaan tersebut menjadi langgeng selama tiga
dekade pemerintahan. Pola itulah yang sebenarnya sedang berkembang dan dicontoh
oleh para keluarga elit lokal bahwa proses demokrasi lokal bisa ditelikung
dengan menempatkan kerabat dalam posisi strategis daerah Secara harfiah,
dinasti politik dapat dipahami sebagai strategi politik untuk tetap menjaga
kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang
lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga. Adapun berbagai gejala yang
mendasari terbentuknya suatu dinasti menurut Wasisto (2013: 203) dapat
dianalisis dari dua hal.
Pertama, macetnya kaderisasi partai politik
dalam menjaring calon kepala daerah yang berkualitas, sehingga menciptakan
pragmatisme politik dengan mendorong kalangan sanak keluarga kepala daerah
untuk menjadi pejabat publik. Kedua, konteks masyarakat yang menjaga adanya
kondisi status quo di daerahnya yang menginginkan kepala daerah untuk berkuasa
dengan cara mendorong kalangan keluarga atau orang dekat kepala daerah
menggantikan petahanan. Kedua gejala umum tersebut menimbulkan adanya sikap pro
dan kontra dalam pemahaman dinasti politik tersebut. Sikap pro dan kontra
kemudian berkembang menjadi perdebatan diskursus dalam revisi RUU Pilkada. Di
satu sisi, ada pihak menginginkan pembatasan dinasti politik dengan cara
membatasi sanak saudara kepala daerah untuk maju dalam Pemilukada, sementara yang
lain mengusulkan dinasti politik tak perlu dilarang, hanya saja sistem
kaderisasi partai politik di daerah perlu dibenahi. Adanya sikap pro dan kontra
terhadap kemunculan dinasti politik tersebut sangatlah erat kaitannya dengan
budaya politik yang berkembang di masyarakat.
Budaya politik
sendiri berkaitan dengan preferensi kekuasan yang dibangun baik dari segi
penerimaan publik maupun pembangunan rezim. Maka pertanyaan yang relevan dalam
pembahasan dinasti politik adalah bagaimana karakteristik preferensi budaya
politik berkembang dalam pembentukan politik dinasti. Adapun preferensi budaya
pemilih erat kaitannya dengan perilaku memilih yakni kecenderungan pemilih
untuk memilih berdasarkan sumber informasi yang ditangkap baik itu rasional
maupun tradisional (Cesar, 2013). Dinasti Politik merupakan ekses negatif dari
otonomi daerah yang menjadikan demokrasi terbajak (hijacked democracy) oleh
sirkulasi hubungan inti genealogis, berdasarkan relasi kekeluargaan maupun di
luar garis genealogis yang memiliki kepentingan terhadap pelanggengan kekuasaan
famili. Hal itulah yang kemudian memicu kalangan kerabat menjadi elit sebagai
kata kunci pemahaman dinasti dalam praktek pemerintahan lokal (Syamsudin,
2007). Dalam prakteknya sendiri aktualisasi dinasti politik dilakukan dengan
beberapa sudut pandang yaitu neopatrimonialisme, klan politik, dan predator
politik.
No comments:
Post a Comment