Fajri Suleman Studi S1 PPKn UNG |
Membahas keberadaan elit pada hakekatnya membahas pihak yang mempunyai kewenangan, dan keberadaan mereka yang mempunyai kewenangan hanya akan bermakna manakala dihadapkan pada fihak yang tidak memiliki kewenangan. Elit sebagai kelas yang berkuasa mempunyai kewenangan lebih besar dibandingkan dengan tidak adanya, atau sedemikian kecilnya, kewenangan yang melekat pada massa sebagai kelas atau fihak yang dikuasai.
Dalam tulisan ini, sebagaimana disinggung di atas, elit
politik lokal merujuk pada individu-individu yang menduduki posisi jabatan
politik di ranah lokal. Seorang individu dapat meraih dan menduduki posisi
jabatan tersebut apabila yang bersangkutan mempunyai sumber daya sebagai basis
dan mampu mengoptimalkannya sehingga pada gilirannya mengantarkannya sebagai
elit politik lokal.
Berkaitan dengan sumber daya sebagai basis untuk meraih kekuasaan; ditengarai bahwa di tengah masyarakat yang sedang berkembang, seperti Indonesia, sumber daya yang berkaitan dengan nilai primordial relatif menonjol. Adapun maknanya, sumber daya ini relatif signifikan sebagai basis untuk meraih kekuasaan. Pada umumnya sumber daya yang berkaitan dengan nilai primordial sulit untuk lepas dari isu etnisitas terutama di masyarakat sedang berkembang yang memiliki keberagaman etnis.
Apabila pengertian etnis merujuk pada kumpulan orang, dan pemaknaan
etnisitas mengacu pada konsep relasional yang mendasarkan pada pengkategorian
kumpulan orang yang membentuk dan dibentuk kolektivitas; maka sumber daya yang
berwujud etnisitas terejawantahkan dalam bentuk jalinan relasional antar
kelompok orang yang didasarkan pada persamaan di antara mereka. Kelompok-kelompok
tersebut mempunyai kepentingan yang sama dan solidaritas yang kuat karena
dilandasi asal usul dan keturunan yang sama. Atau dengan perkataan lain mereka
disatukan dalam ikatan primodial.
Di masyarakat yang memiliki keberagaman etnis tinggi, ikatan primordial etnisitas dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber daya oleh seseorang yang berupaya merebut posisi jabatan sebagai elit politik di ranah lokal. Hal ini karena dalam masyarakat tersebut tingkat kompetisi untuk meraih kekuasaan juga tinggi.
Keadaan ini selaras dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Rabushka dan Shepsle, sebagaimana dikutip Nasikun (dalam A.E
Priyono, Stanley Adi Prasetyo, Olle Tornquist, 2003: 6), yang menyatakan bahwa
dalam masyarakat plural, politik kompetitif secara mendasar dicirikan oleh
politik etnis. Pengoptimalan ikatan primordial etnisitas tersebut dapat
dilakukan, antara lain, melalui upaya memobilisasi kelompok etnis. Mobilisasi
etnis dapat dijadikan salah satu strategi meraih dukungan massa yang dapat
menghantarkan kekuasaan dalam genggamannya.
Mobilisasi etnis sebagai strategi dapat dilakukan melalui berbagai cara atau teknik, antara lain lewat upaya pemekaran wilayah atau daerah. Upaya pemekaran wilayah sebagai salah satu strategi meraih kekuasaan akan dibahas dalam konteks konsep yang diajukan oleh Anthony Giddens tentang strukturasi Etnis dapat dipahami sebagai sekumpulan orang (penduduk) yang berasal dari keturunan sama, mempunyai latar belakang sejarah dan budaya sama, dan bertempat tinggal dalam kelompok pada teritori tertentu; mereka mempunyai solidaritas kelompok yang kuat dan mempunyai kesadaran terhadap kepentingan bersama.
Sementara itu, etnisitas mengacu bukan pada ‘property’
kelompok, namun lebih merujuk pada aspek yang berhubungan atau berkaitan dengan
etnis. Etnisitas merujuk pada konsep relasional yang mendasarkan pada
pengkategorian kumpulan orang yang membentuk dan dibentuk oleh kolektivitas.
No comments:
Post a Comment