Sunday 15 May 2022

PUAN DAN TUAN APA BEDANYA SAH ATAU TIDAK ITU HAK POLITIK?

 

Dian Mamonto
Studi S1 PPKn UNG

Tahun politik 2024 masih menyisakan kurang lebih dua tahun lagi. Tetapi suasana panasnya sudah begitu terasa pada saat-saat ini. itu terlihat dari banyaknya deklarasi-deklarasi para pendukung jagoan masing-masing di berbagai daerah Selain deklarasi, tak luput pula aksi-aksi mencitrakan diri oleh para politisi itu sendiri agar bisa mengambil hati para pemilih sejak jauh-jauh hari. Banyak dari para politisi ini mengabadikan momen ketika mereka sedang berada di tengah masyarakat dan menebarkan kebaikan yang mereka lakukan ke berbagai media sosial. Salah satu contoh video yang sudah lama lewat adalah video politisi Puan Maharani yang viral ketika berada di sebuah persawahan Sendangmulyo, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Kamis (11/11/2021), sedang menanam padi bersama para petani. Kebetulan cuaca sedang hujan. Saya yakin hujan bukanlah hasil setingan Puan dan tim-nya agar efek kegiatannya bisa lebih terlihat dramatis. Karena yang bisa mengatur hujan hanyalah Tuhan saja. Video ini langsung berseliweran di jagad maya.

Komentar positif banyak, begitu juga dengan komentar negatif. Bahkan saya sempat berpikir, jumlah hujan kritik dan juga jumlah hujan air yang kala itu membasahi Puan Maharani sama banyaknya. Video itu akhirnya menjadi satu dari sekian banyak video para politisi yang mendapat predikat pencitraan. Bahkan, ibu Susi Pudji Astuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ikut juga membuat komentar yang semakin menambah panas komentar-komentar maupun pemberitaan dari media-media yang ada, “Biasanya petani menanam padi tidak hujan-hujanan,” begitu komentar ataupun sindiran bu Susi. Jauh sebelum Puan Maharani, ada presiden Jokowi, yang kala itu mencalonkan diri dan akhirnya terpilih sebagai presiden pada periode pertamanya. Jika tidak salah mengingat, beliau adalah generasi pertama yang mendapat gelar ‘tukang pencitraan’. Visual dirinya yang turun ke gorong-gorong membuat dirinya mendapat komentar “sedang pencitraan” dari berbagai pihak. Akhirnya sejak saat itu, apa saja yang dilakukan oleh Jokowi yang kemudian terekspos atau diekspos media, selalu mendapat sebutan pencitraan.

Yusril Ihza Mahendra juga pernah menjadi korban komentar para warganet ketika dianggap mencoba mengikuti jejak Jokowi. Kala itu tahun 2016 di bulan Maret, Yusril yang biasa memakai setelan jas yang rapi lengkap dengan dasi, muncul dengan setelan yang berbeda jauh dari biasanya. Beliau muncul di sebuah pasar membeli sayuran memakai kaos oblong bergambar Mickey Mouse, salah satu karakter kartun Disney yang sangat terkenal. Berikutnya Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta, awal Januari 2020 lalu juga pernah mendapat sebutan pencitraan. Ya, keberadaannya ikut kerja bakti di salah satu titik banjir Jakarta dianggap hanyalah sebuah pencitraan oleh sebagian masyarakat.

Tudingan-tudingan pencitraan memang sejak beberapa tahun belakangan ini menjadi marak. Kepada siapa saja terutama pejabat publik yang muncul di media saat  melakukan hal positif maka akan langsung mendapat tudingan sedang melakukan pencitraan. Jokowi, Anies, Yusril, Puan dan lainnya adalah sosok yang sering menjadi langganan untuk mendapat sebutan itu pada setiap aktivitas kebaikan mereka. Pertanyaannya adalah, lantas kenapa jika ada yang melakukan pencitraan? Apakah itu sebuah kegiatan kejahatan yang tidak bisa dimaafkan? Para politisi adalah mereka yang menyemarakan panggung politik di negeri ini. Mereka harus mendapatkan simpati dari rakyat untuk memperoleh suara agar bisa terpilih dalam perebutan jabatan apa saja yang ingin coba mereka duduki. Otomatis, citra baik-lah yang harus mereka berikan. Saya belum pernah mendengar atau melihat ada politisi yang dengan sengaja melakukan pencitraan buruk bagi dirinya sendiri di mata rakyat dalam usahanya agar terpilih. Jika ada, entah gaya strategi marketing apa yang sedang coba dijalankan.

Bagi saya, pencitraan tak ubahnya seperti iklan pada sebuah produk. Jika kita membeli dan pada akhirnya kecewa pada produk tersebut, artinya kita tertipu oleh iklan itu. Jika membeli dan kita senang, maka kita adalah konsumen yang terpuaskan. Jika pilihan kita adalah tidak membeli, maka kita tidak termakan iklan, tetapi kita juga tak akan pernah tahu apa dan bagaimana kelebihan maupun kekurangan tentang produk itu. Sah-sah saja jika seorang politisi atau sebuah partai politik ada yang melakukan pencitraan. Hal itu memang marak dilakukan belakangan ini karena dianggap berhasil mendulang suara yang lebih besar. Lahirnya media sosial membuat ruang-ruang untuk melakukan itu menjadi sangat mudah dan efektif. Partai Nasdem, Demokrat, PDIP, PKS, PAN dan semua partai yang lainnya, pasti akan membuat dokumentasi untuk setiap kegiatan kebaikan yang mereka lakukan, pada saat bansos misalnya.

Mereka pasti akan mengunggah semua momen-momen terbaik mereka dalam bentuk gambar maupun video. Harapannya adalah tentu saja dapat memberikan citra baik bagi masyarakat luas. Itu semua adalah pencitraan. Lantas, apa yang salah dengan semua itu? Pelanggaran apa yang mereka lakukan? Satu-satunya yang coba mereka curi adalah hati para warga negara Indonesia. Saya tidak tahu apakah ada undang-undang pidana untuk pencurian yang satu ini. Jika ada? Tak terbayang sesaknya penjara di negeri kita. Setiap individu atau kelompok pasti ada saat-saat untuk melakukan pencitraan ketika memang sangat dibutuhkan. Seorang pria yang sedang melakukan pendekatan terhadap seorang wanita yang ingin dinikahi, pasti akan melakukan semua hal baik agar terlihat baik di mata sang calon mertuanya. Membawa martabak, rokok, hadiah ini-itu walaupun tak ada yang berulang tahun. Tak akan ada seorang calon menantu datang dengan gaya berantakan, membawa sajam dan berbicara kasar terhadap sang calon mertua, karena itu akan menggagalkan tujuannya untuk mendapatkan perempuan pujaannya.

Bagi saya itu semua sah-sah saja. yang tidak sah adalah jika ada satu atau sekelompok orang anggota partai tertentu menggunakan atribut partai lain dan berbuat buruk dengan tujuan memberikan efek citra tidak baik bagi parpol atau politisi lawannya, itulah yang tidak sah! Jangan sampai hadirnya istilah pencitraan ini justru malah membuat sebagian orang ataupun kelompok jadi enggan untuk melakukan kebaikan. Takut disebut pencitraan tak berani memberikan bantuan kepada kaum miskin. Takut disebut pencitraan tak mau beribadah ke Masjid. Jadi, biarkan para politisi memberi kesan citra dirinya, kita sebagai konsumen hanya tinggal memilih mana yang terbaik untuk kita sendiri.

 

No comments: