Dian Mamonto Studi S1 PPKn UNG |
Tahun politik 2024 masih menyisakan kurang lebih dua
tahun lagi. Tetapi suasana panasnya sudah begitu terasa pada saat-saat ini. itu
terlihat dari banyaknya deklarasi-deklarasi para pendukung jagoan masing-masing
di berbagai daerah Selain deklarasi, tak luput pula aksi-aksi mencitrakan diri
oleh para politisi itu sendiri agar bisa mengambil hati para pemilih sejak
jauh-jauh hari. Banyak dari para politisi ini mengabadikan momen ketika mereka
sedang berada di tengah masyarakat dan menebarkan kebaikan yang mereka lakukan
ke berbagai media sosial. Salah satu contoh video yang sudah lama lewat adalah
video politisi Puan Maharani yang viral ketika berada di sebuah persawahan
Sendangmulyo, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Kamis (11/11/2021),
sedang menanam padi bersama para petani. Kebetulan cuaca sedang hujan. Saya yakin
hujan bukanlah hasil setingan Puan dan tim-nya agar efek kegiatannya bisa lebih
terlihat dramatis. Karena yang bisa mengatur hujan hanyalah Tuhan saja. Video
ini langsung berseliweran di jagad maya.
Komentar positif banyak, begitu juga dengan komentar negatif.
Bahkan saya sempat berpikir, jumlah hujan kritik dan juga jumlah hujan air yang
kala itu membasahi Puan Maharani sama banyaknya. Video itu akhirnya menjadi
satu dari sekian banyak video para politisi yang mendapat predikat pencitraan.
Bahkan, ibu Susi Pudji Astuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ikut juga
membuat komentar yang semakin menambah panas komentar-komentar maupun
pemberitaan dari media-media yang ada, “Biasanya
petani menanam padi tidak hujan-hujanan,” begitu komentar ataupun
sindiran bu Susi. Jauh sebelum Puan Maharani, ada presiden Jokowi, yang kala
itu mencalonkan diri dan akhirnya terpilih sebagai presiden pada periode
pertamanya. Jika tidak salah mengingat, beliau adalah generasi pertama yang
mendapat gelar ‘tukang pencitraan’. Visual dirinya yang turun ke gorong-gorong
membuat dirinya mendapat komentar “sedang pencitraan” dari berbagai pihak.
Akhirnya sejak saat itu, apa saja yang dilakukan oleh Jokowi yang kemudian
terekspos atau diekspos media, selalu mendapat sebutan pencitraan.
Yusril Ihza Mahendra juga pernah menjadi korban
komentar para warganet ketika dianggap mencoba mengikuti jejak Jokowi. Kala itu
tahun 2016 di bulan Maret, Yusril yang biasa memakai setelan jas yang rapi
lengkap dengan dasi, muncul dengan setelan yang berbeda jauh dari biasanya.
Beliau muncul di sebuah pasar membeli sayuran memakai kaos oblong bergambar
Mickey Mouse, salah satu karakter kartun Disney yang sangat terkenal. Berikutnya
Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta, awal Januari 2020 lalu juga pernah
mendapat sebutan pencitraan. Ya, keberadaannya ikut kerja bakti di salah satu
titik banjir Jakarta dianggap hanyalah sebuah pencitraan oleh sebagian
masyarakat.
Tudingan-tudingan pencitraan memang sejak beberapa
tahun belakangan ini menjadi marak. Kepada siapa saja terutama pejabat publik
yang muncul di media saat melakukan hal positif maka akan langsung
mendapat tudingan sedang melakukan pencitraan. Jokowi, Anies, Yusril, Puan dan
lainnya adalah sosok yang sering menjadi langganan untuk mendapat sebutan itu
pada setiap aktivitas kebaikan mereka. Pertanyaannya adalah, lantas kenapa jika
ada yang melakukan pencitraan? Apakah itu sebuah kegiatan kejahatan yang tidak
bisa dimaafkan? Para politisi adalah mereka yang menyemarakan panggung politik
di negeri ini. Mereka harus mendapatkan simpati dari rakyat untuk memperoleh
suara agar bisa terpilih dalam perebutan jabatan apa saja yang ingin coba
mereka duduki. Otomatis, citra baik-lah yang harus mereka berikan. Saya belum
pernah mendengar atau melihat ada politisi yang dengan sengaja melakukan
pencitraan buruk bagi dirinya sendiri di mata rakyat dalam usahanya agar
terpilih. Jika ada, entah gaya strategi marketing apa yang sedang coba
dijalankan.
Bagi saya, pencitraan tak ubahnya seperti iklan pada
sebuah produk. Jika kita membeli dan pada akhirnya kecewa pada produk tersebut,
artinya kita tertipu oleh iklan itu. Jika membeli dan kita senang, maka kita
adalah konsumen yang terpuaskan. Jika pilihan kita adalah tidak membeli, maka
kita tidak termakan iklan, tetapi kita juga tak akan pernah tahu apa dan
bagaimana kelebihan maupun kekurangan tentang produk itu. Sah-sah saja jika
seorang politisi atau sebuah partai politik ada yang melakukan pencitraan. Hal
itu memang marak dilakukan belakangan ini karena dianggap berhasil mendulang
suara yang lebih besar. Lahirnya media sosial membuat ruang-ruang untuk
melakukan itu menjadi sangat mudah dan efektif. Partai Nasdem, Demokrat, PDIP,
PKS, PAN dan semua partai yang lainnya, pasti akan membuat dokumentasi untuk
setiap kegiatan kebaikan yang mereka lakukan, pada saat bansos misalnya.
Mereka pasti akan mengunggah semua momen-momen terbaik
mereka dalam bentuk gambar maupun video. Harapannya adalah tentu saja dapat
memberikan citra baik bagi masyarakat luas. Itu semua adalah pencitraan.
Lantas, apa yang salah dengan semua itu? Pelanggaran apa yang mereka lakukan?
Satu-satunya yang coba mereka curi adalah hati para warga negara Indonesia.
Saya tidak tahu apakah ada undang-undang pidana untuk pencurian yang satu ini.
Jika ada? Tak terbayang sesaknya penjara di negeri kita. Setiap individu atau
kelompok pasti ada saat-saat untuk melakukan pencitraan ketika memang sangat
dibutuhkan. Seorang pria yang sedang melakukan pendekatan terhadap seorang
wanita yang ingin dinikahi, pasti akan melakukan semua hal baik agar terlihat
baik di mata sang calon mertuanya. Membawa martabak, rokok, hadiah ini-itu
walaupun tak ada yang berulang tahun. Tak akan ada seorang calon menantu datang
dengan gaya berantakan, membawa sajam dan berbicara kasar terhadap sang calon
mertua, karena itu akan menggagalkan tujuannya untuk mendapatkan perempuan
pujaannya.
Bagi saya itu semua sah-sah saja. yang tidak sah adalah
jika ada satu atau sekelompok orang anggota partai tertentu menggunakan atribut
partai lain dan berbuat buruk dengan tujuan memberikan efek citra tidak baik
bagi parpol atau politisi lawannya, itulah yang tidak sah! Jangan sampai
hadirnya istilah pencitraan ini justru malah membuat sebagian orang ataupun
kelompok jadi enggan untuk melakukan kebaikan. Takut disebut pencitraan tak
berani memberikan bantuan kepada kaum miskin. Takut disebut pencitraan tak mau
beribadah ke Masjid. Jadi, biarkan para politisi memberi kesan citra dirinya,
kita sebagai konsumen hanya tinggal memilih mana yang terbaik untuk kita sendiri.
No comments:
Post a Comment