Fatiya Ramdawati Atuna Studi S1 PPKn UNG |
Pada
era reformasi, partai politik cenderung mengalami konflik internal. Konflik
internal umumnya disebabkan oleh faktor pilihan oposisi dan koalisi.
Partai-partai politik yang terlibat dalam konflik internal, sebagian
kecenderungan memunculkan perpecahan yang berujung pada lahirnya kepengurusan
ganda dan sebagian lagi melahirkan partai-partai baru (Romli, 2018). Konflik
umumnya dapat didefinisakan sebagai relasi psikologis yang tujuannya sangat
erat berkaitan dengan sikap emosional yang bermusuhan maunpun nilai-nilai yang
berbeda (Kartono, 2018: 246). Dalam era reformasi saat ini hampir keseluruhan
partai politik di Indonesia merupakan “peranakan” lahirnya partai baru dari
pecah kongsinya internal partai lama yang dalam dinamikanya mengalami perubahan
karakteristik maupun perubahan pelembagaan. Aminuddin & Ramadlan (2015),
mengacu pada konflik politik Surbakti (1999: 153) membuat klasifikasi terbagu
dalam dua tipe yakni konflik positif dan konflik negatif, konflik positif ialah
yang eksistensinya tidak mengancam struktural maupun sistem politik dan dapat
diselesaikan dengan jalan konstitusi. Sedangkan konflik negatif yaitu konflik
yang dapat mengancam eksistensi suatu sistem politik melalui cara non
konstitusional seperti revolusi dan kudeta.
Konflik
dalam partai politik di Indonesia membenarkan bahwa suatu alirian maupun
ideologi terjadinya konflik disebabkan adanya unsur negatif pada pengembangan
kekokohan partai (Huntington & Simamora, 1983) PKS (Partai Keadilan
Sejahtera) sebagai partai politik islam yang berhasil meningkatkan perolehan
suaranya dalam setiap kali pemilu di tengah tingginya gejala electoral
volatility tentunya tidak terlepas dengan konflik internal yang terjadi
didalamnya. Penempatan PKS sebagai partai islam kedua tersukses tentunya berdasarkan
pada pencapaian PKS dalam setiap pemilu. Pencapaian elektoral PKS temtunya
menjadi sebuah prestasi bagi sebuah partai islam (Muhtadi, 2013). Dalam
perjalanan keberhasilan PKS mengalami momen-momen kritis sepanjang keikut
sertaanya dalam pemilu. Persoalan tersebut tidak memberi dampak yang serius
terhadap performa partai seperti halnya yang dialami oleh beberapa partai
lainnya yang merasakan dampak negatif terhadap perolehan suaranya, PKS justru
mengalami kecenderungan peningkatan perolehan suara di setiap pemilu (Rivai,
2016).
Keberhasilan
tersebut tidak membuat PKS mampu menjaga kohesivitas dan soliditas dalam
internal partai. Mulai dari perbedaan pandangan, perpecahan dukungan pencalonan
dalam pemilu presiden, tidak terakomodasinya usulan di dalam partai, serta
perbedaan pemberian dukungan terhadap calon pimpinan partai di dalam suksesi
internal partai membuat internal partai PKS terdapat celah peluang pengembangan
tipologi partai politik. Gunther & Diamond (2003) menyebutkan tipologi
partai politik saat ini masih terdapat peluang dan celah untuk memberikan
varian partai baru, termasuk pada tipologi kepartaian yang sudah ada. Konflik
internal pun semakin tercium sejak perbedaan pandangan pada pilpres 2004,
munculnya dua kubu dalam internal PKS yakni faksi keadilan dan faksi sejahtera
dengan perbedaan pandangan hidup kader atas sumber daya finansial, baik
pandangan untuk menjadikan PKS sebagai partai yang terbuka bagi non-muslim dan
mewajibkan seluruh caleg PKS menandatangani surat pengunduran diri bertanggal
kosong (Budiatri et al., 2017).
Secara
sederhana, faksi dalam partai politik dapat didefinisikan sebagai pengelompokan
orang di dalam partai yang berkompetisi untuk memperoleh keuntungan kekuasaan
di dalam partai (Romli, 2018). Wacana partai poltik “terbuka” di PKS telah
memunculkan tiga pandangan kader, salah satu konflik yang muncul dalam internal
PKS bahwa terdapat tiga padangan kader yakni mendukung sebagai partai, netral,
dan menolak partai PKS sebagai parpol yang terbuka (Munandar, 2011). Sekalipun
demikian PKS masih sangat tertutup dalam seleksi kandidat dan kaderisasi
politik. Permainan politik yang diinginkan yakni dengan merangkul pemilih dari
berbagai kalangan agar mendapatkan dukungan politik demi menjaga oligarki dan
relasi klientelistik partai (Tomsa, 2012). Pada pertengahan tahun 2018, sebuah
organisasi kemasyarakatan hadir sebagai sebuah gerakan kebangsaan yang diberi
nama Garbi (gerakan arah baru Indonesia) dengan beberapa tokoh inisiatornya
yang merupakan tokoh-tokoh vital sejak menjabat dalam kepengurusan partai PKS.
Diantaranya ialah Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq. Ketiga tokoh
tersebut merupakan penggagas ide arah baru Indonesia sehingga gerakan arah baru
Indonesia (Garbi) bisa dapat mendeklarasikan dirinya di berbagai kota maupun
daerah yang ada di Indonesia.
Melihat kondisi ini tentunya semakin
memberikan sinyal kuat bahwa soliditas dan kohesivitas dalam internal PKS
menjadi tidak kondusif ditambah dengan kader-kader PKS ramai-ramai mengundurkan
diri dan bergabung dalam gerakan arah baru Indonesia. Kehadiran Garbi yang
digagas oleh Anis Matta (Mantan Presiden PKS 2013-2015) merupakan ormas yang
kuat dugaan berangkat akibat kekecewaan karena tidak mendapatkannya ruang dan
perbedaan pandangan dalam internal PKS. Wahyudi (2011: 19) menyebutkan konflik
setidaknya terjadi pada proses kondisi yang mendahuluinya. Permulaan konflik
(antecendents of conflict) merupakan konndisi yang menyebabkan suatu peristiwa
konflik. Kekecewaan (frustration) merupakan pertistiwa yang mengawali munculnya
konflik. Kekecewaan biasanya gejala[1]gejala
yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat diungkapkan secara terbuka oleh masing[1]masing
kelompok maupun individu. Terry & Smith (1990) menambahkan bahwa konflik
umumnya terjadi kesalahpahaman antar invidu ataupun kelompok akibat krisis
memperebutkan sumber daya maupun jabatan, menjadikan berkonfrontasi menjadi
pusat perhatian dan dikelola menjadi kelompok baru.
No comments:
Post a Comment