Monday 9 May 2022

Motif Politik dalam Kelahiran dan Pembentukan Gerakan Arah Baru Indonesia

Fatiya Ramdawati Atuna
Studi S1 PPKn UNG

Pada era reformasi, partai politik cenderung mengalami konflik internal. Konflik internal umumnya disebabkan oleh faktor pilihan oposisi dan koalisi. Partai-partai politik yang terlibat dalam konflik internal, sebagian kecenderungan memunculkan perpecahan yang berujung pada lahirnya kepengurusan ganda dan sebagian lagi melahirkan partai-partai baru (Romli, 2018). Konflik umumnya dapat didefinisakan sebagai relasi psikologis yang tujuannya sangat erat berkaitan dengan sikap emosional yang bermusuhan maunpun nilai-nilai yang berbeda (Kartono, 2018: 246). Dalam era reformasi saat ini hampir keseluruhan partai politik di Indonesia merupakan “peranakan” lahirnya partai baru dari pecah kongsinya internal partai lama yang dalam dinamikanya mengalami perubahan karakteristik maupun perubahan pelembagaan. Aminuddin & Ramadlan (2015), mengacu pada konflik politik Surbakti (1999: 153) membuat klasifikasi terbagu dalam dua tipe yakni konflik positif dan konflik negatif, konflik positif ialah yang eksistensinya tidak mengancam struktural maupun sistem politik dan dapat diselesaikan dengan jalan konstitusi. Sedangkan konflik negatif yaitu konflik yang dapat mengancam eksistensi suatu sistem politik melalui cara non konstitusional seperti revolusi dan kudeta.

Konflik dalam partai politik di Indonesia membenarkan bahwa suatu alirian maupun ideologi terjadinya konflik disebabkan adanya unsur negatif pada pengembangan kekokohan partai (Huntington & Simamora, 1983) PKS (Partai Keadilan Sejahtera) sebagai partai politik islam yang berhasil meningkatkan perolehan suaranya dalam setiap kali pemilu di tengah tingginya gejala electoral volatility tentunya tidak terlepas dengan konflik internal yang terjadi didalamnya. Penempatan PKS sebagai partai islam kedua tersukses tentunya berdasarkan pada pencapaian PKS dalam setiap pemilu. Pencapaian elektoral PKS temtunya menjadi sebuah prestasi bagi sebuah partai islam (Muhtadi, 2013). Dalam perjalanan keberhasilan PKS mengalami momen-momen kritis sepanjang keikut sertaanya dalam pemilu. Persoalan tersebut tidak memberi dampak yang serius terhadap performa partai seperti halnya yang dialami oleh beberapa partai lainnya yang merasakan dampak negatif terhadap perolehan suaranya, PKS justru mengalami kecenderungan peningkatan perolehan suara di setiap pemilu (Rivai, 2016).

Keberhasilan tersebut tidak membuat PKS mampu menjaga kohesivitas dan soliditas dalam internal partai. Mulai dari perbedaan pandangan, perpecahan dukungan pencalonan dalam pemilu presiden, tidak terakomodasinya usulan di dalam partai, serta perbedaan pemberian dukungan terhadap calon pimpinan partai di dalam suksesi internal partai membuat internal partai PKS terdapat celah peluang pengembangan tipologi partai politik. Gunther & Diamond (2003) menyebutkan tipologi partai politik saat ini masih terdapat peluang dan celah untuk memberikan varian partai baru, termasuk pada tipologi kepartaian yang sudah ada. Konflik internal pun semakin tercium sejak perbedaan pandangan pada pilpres 2004, munculnya dua kubu dalam internal PKS yakni faksi keadilan dan faksi sejahtera dengan perbedaan pandangan hidup kader atas sumber daya finansial, baik pandangan untuk menjadikan PKS sebagai partai yang terbuka bagi non-muslim dan mewajibkan seluruh caleg PKS menandatangani surat pengunduran diri bertanggal kosong (Budiatri et al., 2017).

Secara sederhana, faksi dalam partai politik dapat didefinisikan sebagai pengelompokan orang di dalam partai yang berkompetisi untuk memperoleh keuntungan kekuasaan di dalam partai (Romli, 2018). Wacana partai poltik “terbuka” di PKS telah memunculkan tiga pandangan kader, salah satu konflik yang muncul dalam internal PKS bahwa terdapat tiga padangan kader yakni mendukung sebagai partai, netral, dan menolak partai PKS sebagai parpol yang terbuka (Munandar, 2011). Sekalipun demikian PKS masih sangat tertutup dalam seleksi kandidat dan kaderisasi politik. Permainan politik yang diinginkan yakni dengan merangkul pemilih dari berbagai kalangan agar mendapatkan dukungan politik demi menjaga oligarki dan relasi klientelistik partai (Tomsa, 2012). Pada pertengahan tahun 2018, sebuah organisasi kemasyarakatan hadir sebagai sebuah gerakan kebangsaan yang diberi nama Garbi (gerakan arah baru Indonesia) dengan beberapa tokoh inisiatornya yang merupakan tokoh-tokoh vital sejak menjabat dalam kepengurusan partai PKS. Diantaranya ialah Anis Matta, Fahri Hamzah, dan Mahfudz Siddiq. Ketiga tokoh tersebut merupakan penggagas ide arah baru Indonesia sehingga gerakan arah baru Indonesia (Garbi) bisa dapat mendeklarasikan dirinya di berbagai kota maupun daerah yang ada di Indonesia.

 Melihat kondisi ini tentunya semakin memberikan sinyal kuat bahwa soliditas dan kohesivitas dalam internal PKS menjadi tidak kondusif ditambah dengan kader-kader PKS ramai-ramai mengundurkan diri dan bergabung dalam gerakan arah baru Indonesia. Kehadiran Garbi yang digagas oleh Anis Matta (Mantan Presiden PKS 2013-2015) merupakan ormas yang kuat dugaan berangkat akibat kekecewaan karena tidak mendapatkannya ruang dan perbedaan pandangan dalam internal PKS. Wahyudi (2011: 19) menyebutkan konflik setidaknya terjadi pada proses kondisi yang mendahuluinya. Permulaan konflik (antecendents of conflict) merupakan konndisi yang menyebabkan suatu peristiwa konflik. Kekecewaan (frustration) merupakan pertistiwa yang mengawali munculnya konflik. Kekecewaan biasanya gejala[1]gejala yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat diungkapkan secara terbuka oleh masing[1]masing kelompok maupun individu. Terry & Smith (1990) menambahkan bahwa konflik umumnya terjadi kesalahpahaman antar invidu ataupun kelompok akibat krisis memperebutkan sumber daya maupun jabatan, menjadikan berkonfrontasi menjadi pusat perhatian dan dikelola menjadi kelompok baru.


No comments: