Farmin Yusuf Studi S1 PPKn UNG |
Dalam ilmu politik, salah satu
pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami lebih jauh perkembangan partai
politik (parpol) di Indonesia ialah melakukan kajian tentang pelembagaan yang
telah berlangsung lama di dalam suatu parpol. Makna utama dalam pelembagaan
parpol yang dimaksud ialah sebuah proses politik dalam pemantapan parpol, baik
dalam wujud perilaku yang terpola maupun dalam sikap yang sering muncul secara
reaktif dalam perilaku politik (political behavior) yang selalu berpengaruh
langsung terhadap budaya politik (political culture) seseorang.
Dengan kata lain, problem utama tentang
pelembagaan politik ialah sebuah sisi lain dari logika deontik yang selalu saja
secara langsung berurusan dengan konsep-konsep kewajiban, permisibilitas dan
nonpermisibilitas, ataupun suatu keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam
suatu sistem yang koheren atau berkesinambugan yang telah ditetapkan setiap
partai politik.
Seluruh penetapan apa pun di dalam partai politik kini sebetulnya menjadi pedoman operasional partai, dalam seluruh perilaku politiknya yang terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi partai di mata publik. Perilaku semacam ini selama ini terendap menjadi lingkaran budaya yang hadir untuk merespons sekaligus sebagai jalan untuk mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi publik dalam pengertian luas yang
mencakupi kepentingan segenap warga negara.
Di sinilah, perilaku politik di setiap
proses politik dari setiap parpol bisa menunjukkan sosoknya secara
terang-benderang di mata publik. Perilaku dan proses politik Perilaku politik
suatu bangsa sangat terkait dengan landasan filosofi negara beserta evolusi
organ-organ kenegaraan. Selain itu, peran pemerintah yang dapat disebut sebagai
aktor politik sentral, partisipasi dari warga negara, ditambah lagi dengan
media massa yang terus mengembuskan isu-isu politik (political issues) dalam
membentuk pendapat umum. Perilaku politik ini sangat menyatu dengan budaya
politik baik dalam klasifikasi budaya politik yang terus menekankan aspek
homogenitas atau uniformitas berbagai kebudayaan politik. Dengan demikian,
sistem politik yang secara dominanlah merupakan cerminan kebudayaan partisipan
warga negaranya.
Jadi, antara perilaku politik dan
budaya politik terjadi semacam proses individualiasi politik yang mengemuka
sebagai bagian langsung dalam perilaku politik setiap warga negara. Kedua hal
ini, perilaku politik dan budaya politik, terjadi koeksistensi (berdampingan)
dalam proses politik yang jika dikenali dan dijalankan dalam perilaku politik
di dalam sebuah negara, tentu bisa berdaya ledak tinggi, baik ke dalam negeri
sendiri ataupun secara keluar dalam relasinya dengan negara lain.
Kekuatan sebuah proses politik
antarnegara bisa terjadi secara unik dan dapat memperluas jangkauan pengaruhnya
terhadap negara lain secara mondial. Hal itu tecermin seperti dalam salah satu
tesis dasar dari tokoh politik dunia, Mahatma Gandhi, yang mengatakan the weak
can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong. An eye for eye
only ends up making the whole world blind. Konteksnya ialah seorang lemah tidak
dapat memaafkan.
Kemampuan untuk memaafkan hanyalah ada
pada mereka yang kuat. Bila pencungkilan mata dibalas dengan pencungkilan mata,
seluruh dunia akan menjadi buta. Dengan memaafkan, kita memperoleh energi yang
luar biasa. Energi itu pula yang kemudian menjadi kekuatan kita yang bisa terus
menambah semangat dan daya kita untuk terus berjuang demi kebajikan dengan cara
yang bajik pula (dalam Thomas Tokan Pureklolon, Perilaku Politik, Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2020: 200-2001)
Sumber:
https://mediaindonesia.com/opini/357044/partai-dan-pelembagaan-politik.html
No comments:
Post a Comment