Sunday 22 May 2022

Individualisasi Politik dan Pelembagaan Anehkah?

 

Farmin Yusuf
Studi S1 PPKn UNG

Dalam ilmu politik, salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami lebih jauh perkembangan partai politik (parpol) di Indonesia ialah melakukan kajian tentang pelembagaan yang telah berlangsung lama di dalam suatu parpol. Makna utama dalam pelembagaan parpol yang dimaksud ialah sebuah proses politik dalam pemantapan parpol, baik dalam wujud perilaku yang terpola maupun dalam sikap yang sering muncul secara reaktif dalam perilaku politik (political behavior) yang selalu berpengaruh langsung terhadap budaya politik (political culture) seseorang.

Dengan kata lain, problem utama tentang pelembagaan politik ialah sebuah sisi lain dari logika deontik yang selalu saja secara langsung berurusan dengan konsep-konsep kewajiban, permisibilitas dan nonpermisibilitas, ataupun suatu keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam suatu sistem yang koheren atau berkesinambugan yang telah ditetapkan setiap partai politik.

Seluruh penetapan apa pun di dalam partai politik kini sebetulnya menjadi pedoman operasional partai, dalam seluruh perilaku politiknya yang terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi partai di mata publik. Perilaku semacam ini selama ini terendap menjadi lingkaran budaya yang hadir untuk merespons sekaligus sebagai jalan untuk mengatasi 



kesulitan-kesulitan yang dihadapi publik dalam pengertian luas yang mencakupi kepentingan segenap warga negara.

Di sinilah, perilaku politik di setiap proses politik dari setiap parpol bisa menunjukkan sosoknya secara terang-benderang di mata publik. Perilaku dan proses politik Perilaku politik suatu bangsa sangat terkait dengan landasan filosofi negara beserta evolusi organ-organ kenegaraan. Selain itu, peran pemerintah yang dapat disebut sebagai aktor politik sentral, partisipasi dari warga negara, ditambah lagi dengan media massa yang terus mengembuskan isu-isu politik (political issues) dalam membentuk pendapat umum. Perilaku politik ini sangat menyatu dengan budaya politik baik dalam klasifikasi budaya politik yang terus menekankan aspek homogenitas atau uniformitas berbagai kebudayaan politik. Dengan demikian, sistem politik yang secara dominanlah merupakan cerminan kebudayaan partisipan warga negaranya.

Jadi, antara perilaku politik dan budaya politik terjadi semacam proses individualiasi politik yang mengemuka sebagai bagian langsung dalam perilaku politik setiap warga negara. Kedua hal ini, perilaku politik dan budaya politik, terjadi koeksistensi (berdampingan) dalam proses politik yang jika dikenali dan dijalankan dalam perilaku politik di dalam sebuah negara, tentu bisa berdaya ledak tinggi, baik ke dalam negeri sendiri ataupun secara keluar dalam relasinya dengan negara lain.

Kekuatan sebuah proses politik antarnegara bisa terjadi secara unik dan dapat memperluas jangkauan pengaruhnya terhadap negara lain secara mondial. Hal itu tecermin seperti dalam salah satu tesis dasar dari tokoh politik dunia, Mahatma Gandhi, yang mengatakan the weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong. An eye for eye only ends up making the whole world blind. Konteksnya ialah seorang lemah tidak dapat memaafkan.

Kemampuan untuk memaafkan hanyalah ada pada mereka yang kuat. Bila pencungkilan mata dibalas dengan pencungkilan mata, seluruh dunia akan menjadi buta. Dengan memaafkan, kita memperoleh energi yang luar biasa. Energi itu pula yang kemudian menjadi kekuatan kita yang bisa terus menambah semangat dan daya kita untuk terus berjuang demi kebajikan dengan cara yang bajik pula (dalam Thomas Tokan Pureklolon, Perilaku Politik, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020: 200-2001)

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/357044/partai-dan-pelembagaan-politik.html

No comments: