Ristiwinarty Iloponu Studi S1-Administrasi Publik Universitas Bina Taruna Gorontalo |
Setahun
lebih sudah pandemi Covid-19 melanda, tapi Indonesia masih kewalahan mengendalikannya,
apalagi dengan kemunculan varian Delta, yang dianggap lebih cepat menular dan
lebih ganas. Kemunculan varian baru itu tentu tidak dapat dijadikan kambing
hitam atas kegagapan pemerintah Presiden Joko Widodo dalam menangani pandemi.
Keberhasilan
negara-negara lain dalam mengendalikan pandemi tidak terletak pada kehadiran
vaksin semata. Kesuksesannya lebih ditentukan oleh perencanaan dan implementasi
manajemen krisis yang mampu memadukan prioritas kesehatan dan ekonomi
masyarakat. Dan yang terpenting adalah kemampuan pemerintah dalam memprediksi
atau menyediakan proyeksi mengenai gelombang pandemi di masa depan.
Manajemen
krisis yang andal membutuhkan pendekatan ilmiah agar kebijakan dibuat dengan
pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan menurut prinsip keilmiahan.
Dengan cara itu, pemerintah dapat mengidentifikasi masalah dan menganalisisnya
secara jujur dan obyektif serta membuat prediksi atas ancaman masa depan, baik
aspek kesehatan maupun dampaknya pada aspek sosial-ekonomi dan ketahanan
nasional. Pemerintah, dengan demikian, akan mampu memetakan persoalan secara
sektoral dan geografis sehingga dapat dibuat suatu peta jalan kebijakan yang
komprehensif dan tepat.
Pendekatan
ilmiah juga mencegah konflik kepentingan yang tersembunyi di balik suatu
kebijakan publik. Korupsi bantuan sosial untuk masyarakat yang terkena dampak
Covid-19 oleh mantan menteri Juliari adalah contoh nyatanya. Beberapa pihak,
baik masyarakat sipil maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantas
Korupsi, juga memberikan catatan tentang potensi benturan kepentingan dalam
program Kartu Prakerja, pengadaan vaksin Covid-19, hingga pengadaan alat-alat
pendukung dan distribusinya, serta penyelenggaraan vaksinasi.
Potensi
benturan kepentingan ini sangat besar, mengingat anggaran yang disediakan
pemerintah, misalnya untuk program vaksinasi, sangat besar, yaitu lebih dari Rp
130 triliun. Selain itu, manajemen krisis yang andal membutuhkan pemimpin yang
menjadi teladan, kuat, dan kompeten sehingga akan mampu menyediakan indikator
terstruktur, teratur, dan terukur (3T) pada semua upaya pengendalian pandemi.
Rencana kebijakan dan implementasi program yang dihasilkan melalui pendekatan
ilmiah akan efektif jika pemimpin mampu mengorganisasikan semua sumber daya
yang tersedia, baik dalam struktur pemerintahan maupun di masyarakat.
Pemimpin
tidak hanya menjadi panglima perang yang kuat, tapi juga teladan bagi
masyarakat yang dipimpin. Semakin tinggi posisi dan semakin kompeten seorang
pemimpin, seharusnya ia semakin mampu melihat gambaran besar ketika menemukan
masalah dan membuat konsep kerja yang memenuhi indikator 3T. Pemimpin harus
memahami keseluruhan situasi, bukan gambaran parsial yang akan menghasilkan
solusi parsial juga.
Pemerintah
tidak bisa menyalahkan masyarakat yang tak patuh pada protokol kesehatan.
Bagaimanapun, tanggung jawab pemerintah adalah menghadirkan sense of crisis
sejak awal kedatangan pandemi. Namun, sejak kemunculan pandemi di Indonesia
pada Maret 2020, Presiden Jokowi dan beberapa pejabat negara justru menganggap
remeh pandemi. Pemerintah menunjukkan sikap tidak yakin, tak serius, dan tidak
menggunakan pendekatan ilmiah untuk menghadapinya. Inilah yang dengan kuat
telah dicatat oleh masyarakat.
Ketidakseriusan
pemerintah juga dapat dilihat dari perilaku yang tidak dapat dijadikan teladan.
Misalnya, kunjungan Presiden Jokowi ke Nusa Tenggara Timur pada Februari lalu
telah menyebabkan terjadinya kerumunan orang. Seharusnya Satuan Tugas Covid-19
punya keberanian untuk menegur perilaku tersebut, seperti terjadi pada Presiden
Norwegia dan Brasil yang dikenai denda oleh otoritas kesehatan negaranya karena
melanggar protokol kesehatan.
Selain
keteladanan, pemimpin harus memenuhi indikator terstruktur, yaitu mampu
melakukan sinergi dan koordinasi di semua lini manajemen krisis pemerintah,
baik antara pusat dan daerah maupun antara lembaga kementerian dan Satuan Tugas
Covid-19. Semua kebijakan ataupun pernyataan pemerintah seharusnya keluar dari
satu pintu, yaitu melalui Satgas, meskipun dalam prosesnya perlu didiskusikan
bersama dengan lembaga-lembaga terkait.
Namun,
faktanya, sering kali terjadi kesalahan koordinasi dan tidak ada sinergi dalam
kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah melarang mudik pada masa Lebaran lalu,
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno justru membuka semua obyek
pariwisata. Lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem
Makarim mewacanakan pembelajaran tatap muka terbatas, padahal dua pekan
kemudian kasus positif Covid-19 melonjak lagi. Ini menunjukkan tidak adanya
arus informasi ke semua kementerian mengenai prediksi gelombang kedua Covid-19.
Contoh mutakhir adalah pernyataan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir
mengenai obat Ivermectin. Seharusnya fungsi dan izin edar obat ini disampaikan
oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 meskipun produksinya di bawah kewenangan
Kementerian BUMN.
Pemimpin
juga harus mampu memenuhi indikator teratur, yaitu teratur melakukan
program-program yang menjadi kewajibannya, seperti teratur melakukan program tracing,
testing, dan treatment agar memenuhi ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO). Dalam hal masker, pemerintah telah menyampaikan bahwa masyarakat harus
menggunakan masker khusus yang memenuhi standar kesehatan, dan vaksinasi tidak
menjamin tak tertular Covid-19 sehingga tetap harus menjalankan protokol
kesehatan.
Dalam
hal ini, seharusnya pemerintah lebih meningkatkan pembagian masker gratis,
terutama bagi masyarakat kelompok bawah. Manajemen krisis yang andal mampu
menyusun indikator terukur yang jelas dan dapat diuji yang menentukan kapan
pandemi berakhir atau kapan saatnya memprioritaskan pemulihan ekonomi. Ini
sangat penting agar tidak terjadi pemborosan anggaran dalam penanganan
Covid-19. Jika melihat situasi saat ini, berapa sesungguhnya biaya yang telah
dikeluarkan negara? Apakah itu masih lebih murah bila sejak awal memberlakukan
lockdown sesuai dengan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan?
Perhitungan
biaya dan waktu ini menjadi indikator bagi efisiensi dan efektivitas manajemen
krisis pemerintah. Melihat utang pemerintah pada rumah sakit rujukan dan
tersendatnya pencairan insentif tenaga kesehatan pada saat rumah sakit
kewalahan menerima lonjakan jumlah pasien, masyarakat akan bertanya bagaimana
efektivitas dan alokasi utang pemerintah untuk menangani pandemi.
Melihat
dua kali kegagapan pemerintah dalam menghadapi pandemi pada 2020 dan 2021,
apakah masyarakat masih menaruh harapan bahwa pemerintah akan mampu mengatasi
krisis di negara ini? Ini membutuhkan jawaban yang jujur, baik dari masyarakat
maupun pemerintah. Sangat mungkin justru yang saat ini muncul di masyarakat
adalah harapan bahwa Presiden Jokowi akan mengibarkan “bendera putih” dalam
melawan Covid-19 dan krisis ekonomi. Barangkali itu akan lebih baik bagi semua
orang.
Sumber Bacaan :
https://koran.tempo.co/read/opini/465979/pandemi-dan-gagapnya-kepemimpinan-jokowi
No comments:
Post a Comment