Monday 16 May 2022

NEGARA DAN ELIT POLITIK



Devi Ramadhani Djafar
Studi S1 PPKn UNG

Menyusul tumbangnya rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998, sistem politik mengalami perubahan dan era reformasi memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di Indonesia. Proses demokratisasi yang salah satunya terejawantahkan penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa. Di era demokratisasi dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan, kemunculan dan peran elit poltik lokal tidak bebas dari campur tangan pemerintah.

Negara dan Elit Lokal dalam Konsep Strukturasi Struktur, sebagaimana diungkapkan Giddens di atas, selain dapat membatasi (constraining) dapat pula memberdayakan (enabling) pelaku (agency). Dikarenakan struktur dimaknai sebagai aturan (rules) dan sumber daya (resources), maka struktur dapat ‘diatur’ atau ‘dikendalikan’ oleh negara. Adapun artinya, negara (dalam hal ini pemerintah) dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menjadikan struktur sebagai sesuatu hal yang membatasi atau memberdayakan pelaku. Apabila negara dengan kewenangannya dapat ‘mengatur’ atau ‘mengendalikan’ struktur, maka elit politik lokal diposisikan sebagai pelaku atau ‘agency’ yang keberadaannya dipengaruhi oleh struktur.

Struktur dinyatakan membatasi elit politik lokal, apabila negara bertindak sedemikian rupa sehingga aturan dan sumber daya yang ada akan membatasi atau mengekang ruang gerak elit politik lokal. Sebaliknya, struktur dinyatakan memberdayakan elit politik lokal, apabila aturan dan sumber daya yang dikendalikan negara membuka peluang atau memberdayakan elit politik lokal untuk memperoleh kemudahan atau keuntungan bagi dirinya. Dalam konteks hubungannya dengan elit politik lokal sebagai pelaku, tindakan yang dilakukan negara dalam mengendalikan struktur sangat mungkin akan menjadikan struktur tersebut membatasi atau mengekang bagi elit politik lokal dari etnis tertentu, namun tindakan yang sama akan menjadikan struktur cenderung memberdayakan bagi elit politik lokal dari etnis yang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena ’constraining’ ataupun ’enabling’-nya struktur bagi ‘agency’ dipengaruhi pula oleh kondisi dan kepentingan pelaku.

Sebagai ilustrasi dalam sistem politik yang bercorak otoritarian sentralistis, wacana sentralisasi dan stabilitas (gugus struktur signifikasi), kuatnya kontrol pemerintah pusat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan (gugus struktur dominasi), dan keleluasaan pemerintah pusat memberi ‘reward’ dan ‘sanksi’ (gugus struktur legitimasi) kesemuanya dapat dikendalikan oleh negara; ternyata ketiga gugus struktur tersebut dapat dimaknai sebagai pembatasan atau pengekangan oleh elit politik lokal dari etnis tertentu, tetapi dapat pula dimaknai sebagai pemberdayaan bagi elit politik lokal dari etnis yang lainnya.

Melanjutkan ilustrasi di atas, sebagai contoh, elit politik lokal tertentu yang berasal dari etnis kecil tetapi mempunyai kemampuan atau kapasitas unggul, akan cenderung memaknai struktur yang ada relatif memberdayakan mereka. Adapun alasannya karena negara dengan pemerintahan yang bercorak otoritarian sentralistis dan menekankan pada stabilitas akan lebih mempertimbangkan kemampuan atau kapasitas mereka, dan hal ini jelas memberi keuntungan atau peluang bagi elit politik lokal dari etnis kecil tetapi berkemampuan.

Oleh karena itu, ilustrasi tersebut dimaknai bahwa struktur yang ada relatif mengekang atau membatasi bagi elit politik lokal yang tidak mempunyai kemampuan atau kapasitas yang memadai walaupun mereka berasal dari etnis besar . Struktur yang dimaknai sebagai aturan dan sumber daya dapat mempengaruhi elit politik lokal sebagai pelaku dalam bentuk pembatasan ataupun  pemberdayaan; namun di sisi lain elit politik lokal dengan kreativitas yang dimilikinya dapat menyiasati sebagai upaya mempengaruhi struktur yang ada. Hal ini selaras dengan pernyataan Giddens di atas bahwa hubungan antara pelaku dengan struktur bersifat dualitas atau timbal balik. Persoalannya adalah terletak pada elit politik lokal itu sendiri, apakah yang bersangkutan mampu atau tidak menciptakan kreativitas guna menyiasati struktur yang ada.


No comments: