Devi Ramadhani Djafar Studi S1 PPKn UNG |
Menyusul tumbangnya rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998, sistem politik mengalami perubahan dan era reformasi memberi peluang bagi berlangsungnya demokratisasi di Indonesia. Proses demokratisasi yang salah satunya terejawantahkan penerapan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa. Di era demokratisasi dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan, kemunculan dan peran elit poltik lokal tidak bebas dari campur tangan pemerintah.
Negara
dan Elit Lokal dalam Konsep Strukturasi Struktur, sebagaimana diungkapkan
Giddens di atas, selain dapat membatasi (constraining) dapat pula memberdayakan
(enabling) pelaku (agency). Dikarenakan struktur dimaknai sebagai aturan
(rules) dan sumber daya (resources), maka struktur dapat ‘diatur’ atau
‘dikendalikan’ oleh negara. Adapun artinya, negara (dalam hal ini pemerintah)
dengan kewenangan yang dimilikinya dapat menjadikan struktur sebagai sesuatu
hal yang membatasi atau memberdayakan pelaku. Apabila negara dengan
kewenangannya dapat ‘mengatur’ atau ‘mengendalikan’ struktur, maka elit politik
lokal diposisikan sebagai pelaku atau ‘agency’ yang keberadaannya dipengaruhi
oleh struktur.
Struktur
dinyatakan membatasi elit politik lokal, apabila negara bertindak sedemikian
rupa sehingga aturan dan sumber daya yang ada akan membatasi atau mengekang
ruang gerak elit politik lokal. Sebaliknya, struktur dinyatakan memberdayakan
elit politik lokal, apabila aturan dan sumber daya yang dikendalikan negara
membuka peluang atau memberdayakan elit politik lokal untuk memperoleh
kemudahan atau keuntungan bagi dirinya. Dalam konteks hubungannya dengan elit
politik lokal sebagai pelaku, tindakan yang dilakukan negara dalam
mengendalikan struktur sangat mungkin akan menjadikan struktur tersebut
membatasi atau mengekang bagi elit politik lokal dari etnis tertentu, namun
tindakan yang sama akan menjadikan struktur cenderung memberdayakan bagi elit politik
lokal dari etnis yang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena ’constraining’
ataupun ’enabling’-nya struktur bagi ‘agency’ dipengaruhi pula oleh kondisi dan
kepentingan pelaku.
Sebagai
ilustrasi dalam sistem politik yang bercorak otoritarian sentralistis, wacana
sentralisasi dan stabilitas (gugus struktur signifikasi), kuatnya kontrol
pemerintah pusat dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan (gugus struktur
dominasi), dan keleluasaan pemerintah pusat memberi ‘reward’ dan ‘sanksi’
(gugus struktur legitimasi) kesemuanya dapat dikendalikan oleh negara; ternyata
ketiga gugus struktur tersebut dapat dimaknai sebagai pembatasan atau
pengekangan oleh elit politik lokal dari etnis tertentu, tetapi dapat pula
dimaknai sebagai pemberdayaan bagi elit politik lokal dari etnis yang lainnya.
Melanjutkan
ilustrasi di atas, sebagai contoh, elit politik lokal tertentu yang berasal
dari etnis kecil tetapi mempunyai kemampuan atau kapasitas unggul, akan
cenderung memaknai struktur yang ada relatif memberdayakan mereka. Adapun
alasannya karena negara dengan pemerintahan yang bercorak otoritarian
sentralistis dan menekankan pada stabilitas akan lebih mempertimbangkan
kemampuan atau kapasitas mereka, dan hal ini jelas memberi keuntungan atau
peluang bagi elit politik lokal dari etnis kecil tetapi berkemampuan.
Oleh
karena itu, ilustrasi tersebut dimaknai bahwa struktur yang ada relatif
mengekang atau membatasi bagi elit politik lokal yang tidak mempunyai kemampuan
atau kapasitas yang memadai walaupun mereka berasal dari etnis besar . Struktur
yang dimaknai sebagai aturan dan sumber daya dapat mempengaruhi elit politik
lokal sebagai pelaku dalam bentuk pembatasan ataupun pemberdayaan; namun di sisi lain elit politik
lokal dengan kreativitas yang dimilikinya dapat menyiasati sebagai upaya
mempengaruhi struktur yang ada. Hal ini selaras dengan pernyataan Giddens di
atas bahwa hubungan antara pelaku dengan struktur bersifat dualitas atau timbal
balik. Persoalannya adalah terletak pada elit politik lokal itu sendiri, apakah
yang bersangkutan mampu atau tidak menciptakan kreativitas guna menyiasati
struktur yang ada.
No comments:
Post a Comment