Mohamad Ramdan Ahmad Studi S1 PPKn UNG |
Praperadilan
merupakan suatu pemeriksaan perkara di sidang pengadilan pidana yang dilakukan oleh
hakim tunggal. Pemeriksaan tersebut hanya terkait dengan prosedur yang
dilakukan aparat penegak hukum sebelum berkas perkara dilimpahkan ke
pengadilan, dan belum menyentuh pokok perkaranya. Praperadilan bukan lembaga
yang berdiri sendiri seperti halnya lembaga pengadilan, tetapi hanya sebagai
bagian dari kewenangan pengadilan negeri. Praperadilan diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lazimnya
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Fungsi lembaga
praperadilan adalah sebagai sarana pengawasan secara horizontal dengan maksud
untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran.
Praperadilan
dibentuk sebagai sarana pengontrol tindakan aparat penegak hukum dalam
menjalankan tugasnya agar tidak bertindak sewenang-wenang. Dengan adanya praperadilan,
aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa terhadap seorang tersangka
tetap berdasarkan undang-undang dan tidak bertentangan dengan hukum. Tindakan
kontrol/pengawasan atas jalannya hukum acara pidana itu dalam rangka melindungi
hak-hak tersangka atau terdakwa. Dengan demikian, pada prinsipnya fungsi utama
pelembagaan praperadilan dalam KUHAP ialah untuk melakukan pengawasan
horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama
ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tidak
bertentangan dengan ketentuan undang-undang.
Dengan putusan ini, saksi korban atau pelapor,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan adalah termasuk dalam
pengertian "pihak ketiga yang berkepentingan" sebagaimana diatur
dalam Pasal 80 KUHAP yang dapat mengajukan permintaan pemeriksaan praperadilan
tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Pengawasan
yang dilakukan oleh lembaga praperadilan adalah pengawasan bagaimana seorang aparat
penegak hukum melaksanakan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum tidak
sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, bagi tersangka atau
keluarganya berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi apabila tindakan
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
LSM/ORMAS
agar dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dalam pengajuan
praperadilan atas penghentian penyidikan atau penuntutan perkara pidana, maka
harus memiliki suatu kepentingan. Hal itu selaras dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 yang memperluas frasa “pihak ketiga yang
berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP. Putusan ini menyatakan bahwa yang
termasuk ke dalam pihak ketiga yang berkepentingan adalah saksi korban atau
pelapor, dan LSM/ORMAS yang mewakili masyarakat luas. Putusan Mahkamah
Konstitusi ini merujuk pada pertimbangan Putusan Nomor 76/PUU-X/2012 yang
menyatakan bahwa LSM/ORMAS yang mengajukan praperadilan harus memiliki
kepentingan dan tujuan yang sama dengan masyarakat luas yang diwakilinya, yaitu
memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).
Kriteria
kepentingan yang dimaksud dalam Putusan Nomor 111/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel
adalah kepentingan
tertentu yang dikaitkan dengan tujuan pendirian LSM/ORMAS yang terdapat
pada anggaran
dasarnya. Apabila pendirian LSM/ORMAS untuk tujuan tertentu saja, maka kepentingannya
juga bersifat tertentu. Sebaliknya apabila pendirian LSM/ORMAS untuk tujuan umum,
maka kepentingannya juga bersifat umum. Salah satu syarat pengajuan
praperadilan dalam Putusan Nomor 111/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel, yaitu LSM/ORMAS
memiliki kepentingan tertentu. Setelah mengetahui kepentingan dan tujuan
pendiriannya, hakim selanjutnya juga mengaitkan dengan perkara yang diajukan
praperadilan. Upaya ini untuk mengetahui “Apakah kepentingan dan tujuan
pendirian LSM/ORMAS itu sama dengan perkara yang diajukan praperadilan?”.
Sebagai simpulan yang dimaksud
dengan pihak ketiga yang berkepentingan bukan hanya saksi korban tindak pidana
atau pelapor, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas. Dengan demikian,
interpretasi mengenai pihak ketiga tidak hanya terbatas pada saksi korban atau
pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa
diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama
yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy)
seperti Lembaga Swadaya Masyarakat atau Organisasi Masyarakat lainnya karena
pada hakikatnya KUHAP adalah instrumen hukum untuk menegakkan hukum
pidana. Peran serta masyarakat baik perorangan warga negara ataupun
perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama untuk memperjuangkan
kepentingan umum (public interests advocacy) sangat diperlukan dalam
pengawasan penegakan hukum.
No comments:
Post a Comment