Wednesday 18 May 2022

Mobilisasi Etnis dan Pemekaran Wilayah sebagai Strategi Menyiasati Struktur Perubaha

Taufik Akbar Mokodompit
Studi S1 PPKn

Yang terjadi dalam relasi kekuasaan akan membawa perubahan pada cara bagaimana kelompok (dalam hal ini kelompok etnis) memaknai dirinya dan hubungannya dengan kelompok-kelompok lainnya (Harold R. Isaacs:1997,41). Dengan demikian perubahan relasi kekuasaan dapat pula membawa dampak pada elit politik lokal. Elit politik lokal dari etnis tertentu yang selama ini dibatasi atau dikekang oleh struktur, dengan adanya perubahan relasi kekuasaan sangat mungkin akan memperoleh peluang atau diberdayakan oleh struktur. Atau sebaliknya, elit politik lokal yang selama ini memperoleh peluang atau diberdayakan, dengan adanya perubahan tersebut akan dibatasi atau dikekang oleh struktur. Sebagaimana diungkap di awal tulisan ini bahwa dalam bingkai sistem politik yang otoritarian sentralistis, negara (dalam hal ini pemerintah) dapat dinyatakan sepenuhnya mengatur atau mengendalikan struktur.

Pada era sistem politik tersebut struktur, yang dimaknai sebagi aturan ataupun sumber daya yang tersedia, sepenuhnya berada di bawah kendali negara. Kungkungan atmosphere seperti ini ternyata dapat dimaknai sebagai pemberdayaan yang memberi keuntungan bagi elit politik lokal dari etnis tertentu; yakni mereka yang menjadi elit politik melalui proses penunjukan, bukan melalui proses pemilihan warga masyarakat. Terjadinya perubahan sistem politik menjadi demokrasi desentralistis, membawa dampak perubahan struktur yang ada. Struktur yang baru membuka peluang adanya kompetisi terbuka melalui proses pemilihan untuk meraih kekuasaan.

Bahkan lebih jauh dapat dinyatakan bahwa dalam sistem politik yang baru, tiga gugus struktur mengalami perubahan di mana wacana sentralisasi mulai meredup dan sebagai pengganti muncul wacana desentralisasi (gugus struktur signifikasi), kendali yang semula secara ketat diterapkan pemerintah pusat mengalami perubahan dengan kehadiran pemerintah lokal yang tidak sepenuhnya dikontrol dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan (gugus struktur dominasi), dan dalam hal memberi ‘reward’ dan ‘sanksi’ tidak lagi sepenuhnya ada di tangan pemerintah pusat, namun keleluasaan untuk melakukan hal tersebut ada dalam genggaman pemerintah daerah (gugus struktur legitimasi). Sudah barang tentu adanya perubahan tersebut disikapi oleh elit politik lokal sebagai pelaku dengan menyiasatinya agar struktur tidak menjadi pengekang yang membatasi bagi mereka.

Apabila sebelum terjadi perubahan, struktur yang ada dimaknai memberdayakan bagi elit politik lokal dari etnis tertentu; maka dengan terjadinya perubahan mereka memaknai struktur yang baru sebagai pembatas atau pengekang dalam hal meraih kekuasaan. Untuk merespon perubahan tersebut elit politik lokal yang dibatasi atau dikekang oleh struktur yang baru harus menyusun strategi guna memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Salah satu strategi mobilisasi kelompok etnis dilakukan melalui upaya pemekaran wilayah14. Pemekaran wilayah marak seiring terbukanya sistem politik dengan dilaksanakannya prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi. Diterapkannya prinsip-prinsip ini membawa dampak, antara lain, dalam wujud semakin besar kewenangan yang melekat pada pemerintah daerah. Besarnya kewenangan tersebut menjadi salah satu pemicu bagi kecenderungan terbentuknya pemerintah daerah yang baru melalui proses pemekaran. Dengan kewenangan yang relatif besar dan dilandasi argumen demi peningkatan kualitas pelayanan publik, maka perlu dilakukan pemekaran wilayah untuk membentuk pemerintah daerah baru. Namun di balik argumen tersebut ditengarai bahwa pembentukan pemerintah daerah baru akan memberi peluang yang lebih besar bagi mereka yang memburu kekuasaan. Terbentuknya pemerintah daerah baru melalui proses pemekaran membawa konsekwensi bertambahnya jumlah posisi jabatan, baik politis maupun birokratis, di tingkat lokal. Adanya tambahan jumlah posisi jabatan tersebut tentu saja memberi peluang lebih besar bagi mereka yang berkompetisi memperebutkan kekuasaan untuk menduduki jabatan tersebut, walaupun kandidat yang bersaing untuk memperebutkannya juga dimungkinkan bertambah jumlahnya. Dalam kaitannya dengan etnisitas, pembentukan pemerintah daerah baru melalui proses pemekaran wilayah ternyata mempunyai kaitan yang relatif erat dengan isu primordial.

Sehubungan dengan isu tersebut, upaya pemekaran wilayah pemerintahan tidak jarang dikaitkan dengan isu putra daerah. Hal ini biasanya terjadi pada kasus di mana pemekaran wilayah terjadi di wilayah yang relatif kental warna etnisitasnya. Pada kasus pemekaran wilayah yang dilakukan atas dasar alasan etnisitas, isu putra daerah biasanya dimunculkan oleh kelompok etnis yang mengusulkan pemekaran wilayah. Dihembuskan wacana bahwa yang paling layak dan tepat menjadi pejabat politik di wilayah pemekaran adalah mereka yang berpredikat putra daerah, dan mereka sebagai putra daerah harus menjadi tuan rumah di wilayah sendiri. Sebagai ilustrasi kasus yang terjadi di Meybrat, Provinsi Papua Barat, menunjukkan hal tersebut15. Mobilisasi massa menuntut pembentukan Meybrat sebagai kabupaten sendiri relatif mudah terwujud karena tokohtokoh etnis Meybrat selalu mendengungkan isu bahwa orang Meybrat harus menjadi tuan rumah di tanah sendiri, dan untuk mewujudkannya jabatan-jabatan yang ada pada pemerintahan baru harus diisi oleh orang Meybrat sebagai putra daerah.

 


No comments: