Taufik Akbar Mokodompit Studi S1 PPKn |
Yang
terjadi dalam relasi kekuasaan akan membawa perubahan pada cara bagaimana
kelompok (dalam hal ini kelompok etnis) memaknai dirinya dan hubungannya dengan
kelompok-kelompok lainnya (Harold R. Isaacs:1997,41). Dengan demikian perubahan
relasi kekuasaan dapat pula membawa dampak pada elit politik lokal. Elit
politik lokal dari etnis tertentu yang selama ini dibatasi atau dikekang oleh
struktur, dengan adanya perubahan relasi kekuasaan sangat mungkin akan
memperoleh peluang atau diberdayakan oleh struktur. Atau sebaliknya, elit
politik lokal yang selama ini memperoleh peluang atau diberdayakan, dengan
adanya perubahan tersebut akan dibatasi atau dikekang oleh struktur.
Sebagaimana diungkap di awal tulisan ini bahwa dalam bingkai sistem politik
yang otoritarian sentralistis, negara (dalam hal ini pemerintah) dapat dinyatakan
sepenuhnya mengatur atau mengendalikan struktur.
Pada
era sistem politik tersebut struktur, yang dimaknai sebagi aturan ataupun
sumber daya yang tersedia, sepenuhnya berada di bawah kendali negara.
Kungkungan atmosphere seperti ini ternyata dapat dimaknai sebagai pemberdayaan
yang memberi keuntungan bagi elit politik lokal dari etnis tertentu; yakni
mereka yang menjadi elit politik melalui proses penunjukan, bukan melalui
proses pemilihan warga masyarakat. Terjadinya perubahan sistem politik menjadi
demokrasi desentralistis, membawa dampak perubahan struktur yang ada. Struktur
yang baru membuka peluang adanya kompetisi terbuka melalui proses pemilihan
untuk meraih kekuasaan.
Bahkan
lebih jauh dapat dinyatakan bahwa dalam sistem politik yang baru, tiga gugus
struktur mengalami perubahan di mana wacana sentralisasi mulai meredup dan
sebagai pengganti muncul wacana desentralisasi (gugus struktur signifikasi),
kendali yang semula secara ketat diterapkan pemerintah pusat mengalami
perubahan dengan kehadiran pemerintah lokal yang tidak sepenuhnya dikontrol
dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan (gugus struktur dominasi), dan dalam
hal memberi ‘reward’ dan ‘sanksi’ tidak lagi sepenuhnya ada di tangan
pemerintah pusat, namun keleluasaan untuk melakukan hal tersebut ada dalam
genggaman pemerintah daerah (gugus struktur legitimasi). Sudah barang tentu
adanya perubahan tersebut disikapi oleh elit politik lokal sebagai pelaku
dengan menyiasatinya agar struktur tidak menjadi pengekang yang membatasi bagi
mereka.
Apabila
sebelum terjadi perubahan, struktur yang ada dimaknai memberdayakan bagi elit
politik lokal dari etnis tertentu; maka dengan terjadinya perubahan mereka
memaknai struktur yang baru sebagai pembatas atau pengekang dalam hal meraih
kekuasaan. Untuk merespon perubahan tersebut elit politik lokal yang dibatasi
atau dikekang oleh struktur yang baru harus menyusun strategi guna memperoleh
dan mempertahankan kekuasaan. Salah satu strategi mobilisasi kelompok etnis
dilakukan melalui upaya pemekaran wilayah14. Pemekaran wilayah marak seiring
terbukanya sistem politik dengan dilaksanakannya prinsip-prinsip demokrasi dan
desentralisasi. Diterapkannya prinsip-prinsip ini membawa dampak, antara lain,
dalam wujud semakin besar kewenangan yang melekat pada pemerintah daerah.
Besarnya kewenangan tersebut menjadi salah satu pemicu bagi kecenderungan
terbentuknya pemerintah daerah yang baru melalui proses pemekaran. Dengan
kewenangan yang relatif besar dan dilandasi argumen demi peningkatan kualitas
pelayanan publik, maka perlu dilakukan pemekaran wilayah untuk membentuk
pemerintah daerah baru. Namun di balik argumen tersebut ditengarai bahwa
pembentukan pemerintah daerah baru akan memberi peluang yang lebih besar bagi
mereka yang memburu kekuasaan. Terbentuknya pemerintah daerah baru melalui
proses pemekaran membawa konsekwensi bertambahnya jumlah posisi jabatan, baik
politis maupun birokratis, di tingkat lokal. Adanya tambahan jumlah posisi
jabatan tersebut tentu saja memberi peluang lebih besar bagi mereka yang
berkompetisi memperebutkan kekuasaan untuk menduduki jabatan tersebut, walaupun
kandidat yang bersaing untuk memperebutkannya juga dimungkinkan bertambah
jumlahnya. Dalam kaitannya dengan etnisitas, pembentukan pemerintah daerah baru
melalui proses pemekaran wilayah ternyata mempunyai kaitan yang relatif erat
dengan isu primordial.
Sehubungan
dengan isu tersebut, upaya pemekaran wilayah pemerintahan tidak jarang
dikaitkan dengan isu putra daerah. Hal ini biasanya terjadi pada kasus di mana
pemekaran wilayah terjadi di wilayah yang relatif kental warna etnisitasnya.
Pada kasus pemekaran wilayah yang dilakukan atas dasar alasan etnisitas, isu
putra daerah biasanya dimunculkan oleh kelompok etnis yang mengusulkan
pemekaran wilayah. Dihembuskan wacana bahwa yang paling layak dan tepat menjadi
pejabat politik di wilayah pemekaran adalah mereka yang berpredikat putra
daerah, dan mereka sebagai putra daerah harus menjadi tuan rumah di wilayah
sendiri. Sebagai ilustrasi kasus yang terjadi di Meybrat, Provinsi Papua Barat,
menunjukkan hal tersebut15. Mobilisasi massa menuntut pembentukan Meybrat
sebagai kabupaten sendiri relatif mudah terwujud karena tokohtokoh etnis
Meybrat selalu mendengungkan isu bahwa orang Meybrat harus menjadi tuan rumah
di tanah sendiri, dan untuk mewujudkannya jabatan-jabatan yang ada pada
pemerintahan baru harus diisi oleh orang Meybrat sebagai putra daerah.
No comments:
Post a Comment