Saturday 23 April 2022

Demokrasi Dinodai Oleh Para Elit Politi


Farhan Rahim
Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo

Sebagai negara berdaulat, Indonesia telah beberapa kali mengubah model cita-cita demokrasinya, dari demokrasi terpimpin era Sukarno ke demokrasi era reformasi. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan atas nama kedaulatan rakyat; untuk rakyat, untuk rakyat, untuk rakyat, untuk kepentingan umum, dan untuk membangun pemerintahan yang stabil dan sejahtera. 

Kepentingan tersebut adalah kepentingan membangun bangsa yang adil, makmur dan sejahtera. Cita-cita ini sudah didambakan sejak lahirnya ide demokrasi, lahir di atas roda pemerintahan, dengan semboyan dari rakyat, rakyat dan rakyat. rakyat. 

Namun, ini hanya omong kosong, dan gagasan demokrasi yang diisukan mulai ternoda dan ternoda, dan bahkan sejak lahir, itu jauh dari bebas dan terbuka. Lihatlah demokrasi era Sukarno, atau kediktatoran Suharto. Pada masa itu, kebebasan berekspresi sangat dibatasi, dan suara-suara dari pinggiran kota tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menyusup ke gedung-gedung mewah Senayan. 

Dan belakangan ini, konsep demokrasi dikritik oleh para elit politik. Kita lihat saja, BJP, pemilu (pemilu) yang seharusnya menjadi tolak ukur kebebasan berpendapat, kebebasan memilih pemimpin, rakyat berhak menentukan siapa pemimpin negara ini. Namun telah dinodai oleh tindakan penguasa, pembelian suara rakyat (politik uang), dan manipulasi politik yang dilakukan tidak mencerminkan kedekatan dengan rakyat dan membatasi kebebasan memilih rakyat. 

Pilkada pasca-konflik di berbagai daerah, kesimpangsiuran pemilih, dan saling tuding antar calon adalah contoh kecil betapa tercorengnya demokrasi di negeri ini. Dinodai oleh elit penguasa yang enggan turun dan mencoba bangkit sebagai penguasa. Penguasa dan politisi dapat menyelesaikan masalah dengan berdebat dan membuat pernyataan satu sama lain, tetapi lihatlah kaum proletar bertindak sebagai algojo, dan pendukungnya hanya mengandalkan fanatisme. 

Mereka tidak pernah membuat pernyataan, tetapi terlibat dalam konfrontasi fisik, bahkan dengan benda tajam yang menyebabkan perkelahian. Semuanya berakhir dengan kekerasan, kekerasan yang terjadi, taktik politik yang ada adalah coretan dari demokrasi yang ada di negeri ini. Inikah wajah demokrasi Indonesia? Ide-ide yang dihasilkan oleh pemikiran murni harus terdampar karena penguasa hanya mencari kekuasaan dan tidak mempertimbangkan nasib anak-anak kecil. Pemerintahan yang semula untuk rakyat, untuk rakyat, dan untuk rakyat telah berubah demi kekuasaan, untuk penguasa, dan untuk penguasa. 

Lalu, apakah kita sebagai kaum intelektual hanya menjadi penonton? Menyiapakan popcorn dan segelas teh hangat seperti saat sedang menonton sebuah film di bioskop. Kaum itelektual yang berkoar-koar atas nama demokrasi, sudah saatnya bergerak untuk menghapus coretan-coretan yang menimpa konsepsi demokrasi. Membesihkan dan mengusap noda-noda demokrasi yang semakin hari makin  pekat serta menumpas generasi tua yang menyusahkan rakyat.  Kita generasi muda berpendidikan harus mengatakan tidak pada rezim-rezim penguasa yang otoriter, untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik. 

Sumber Bacaan

Almond, Gabriel. and Sydney Verba. 1963. The Civic Culture. Princeton: NJ. Princeton University Press. 

Apter, David. 1990. The Politics of Modernization. Chicago: University of Chicago Press. 



No comments: