Indra A. Imam Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo |
Ada yang salah dalam cara berpolitik
kita saat ini. Kita makin meninggalkan kesantunan budi pekerti (a civility)
demi mengejar cara berpolitik yang mengedepankan akal sehat (rationality). Kita
merasa bahwa berpolitik dengan keadaban merupakan hal yang tidak kontekstual.
Bahkan, kita mungkin merasa hal itu sebagai bentuk kebodohan. Kemudian, kita
semakin merasa harus rasional dalam berpolitik. Di sini, rasionalitas kemudian
identik dengan sikap dan perilaku yang berorientasi pada jangka pendek,
berorientasi pada kepentingan individu atau kelompok, dan juga culas (subtile).
Cara berpolitik yang rasional seperti ini semakin mapan dalam politik kita hari
ini. Keadaban dan rasionalitas sebenarnya merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisahkan dalam politik. Politik memerlukan kebaikan budi pekerti sebagai fondasi
sikap dan perilaku. Hal ini diwujudkan dengan imajinasi dalam membawa
masyarakat ke suatu tatanan tertentu di masa depan.
Selanjutnya, imajinasi tersebut
diterjemahkan ke dalam sikap dan perilaku yang cerdas. Politik yang rasional
tanpa keadaban akan melahirkan sikap dan perilaku pragmatis. Pun demikian juga
sebaliknya. Politik yang beradab tanpa rasionalitas akan melahirkan demagogi.
Dengan demikian, keadaban dan rasionalitas dalam politik merupakan dua sisi
dari satu mata uang. Apakah mungkin untuk menyatukan kedua hal tersebut dalam
politik? Kita sering mendengar cerita tentang tokoh-tokoh politik (dalam dan
luar negeri) yang memiliki kemampuan untuk menguasai kedua hal tersebut dalam
diri mereka. Dalam tataran keadaban, mereka memiliki budi pekerti yang luhur.
Hal ini terlihat dari imajinasi ideal mereka tentang sebuah tatanan masyarakat
yang sejahtera.
Sedangkan dalam tataran rasionalitas,
mereka berpolitik dengan cerdas untuk mewujudkan imajinasi tersebut. Mereka
bernegosiasi dan berkolaborasi dengan kolega politiknya di parlemen secara
lihai, mereka mengorganisasi partai politiknya secara serius, dan mereka
berdebat secara argumentatif terkait dengan kebijakan publik. Semua praktek
politik tersebut dilandasi dengan keyakinan yang kuat akan masyarakat yang
makmur, meskipun imajinasi mereka tentang hal itu mungkin berbeda-beda. Dalam
diri orang-orang seperti ini, keadaban dan rasionalitas telah menjadi sesuatu
yang tak terpisahkan. Dalam konteks ini, kita dapat membuat polarisasi sikap
dan perilaku dalam berpolitik, yaitu negarawan dan politisi. Negarawan adalah
mereka yang berpolitik dengan tingkat kematangan keadaban dan intelektualitas
yang tinggi. Sedangkan politisi adalah mereka yang berpolitik dengan hanya
mengandalkan pada rasionalitas.
Para politisi, dengan demikian, memang
seringkali terlihat cerdas dan pintar, namun tidak bijak. Sayangnya, panggung
politik nasional kita saat ini justru semakin banyak melahirkan aktor dengan
tipe politisi. Peran sebagai negarawan menjadi semakin tidak menarik. Tidak
mengherankan, dalam periode reformasi saat ini, kita mengalami defisit
negarawan dan surplus politisi. Berbagai sikap dan perilaku politisi yang
cerdas namun tidak beradab menjadi tontonan rutin bagi masyarakat dalam pentas
politik kita saat ini. Hal ini terlihat dari maraknya berbagai kasus
penyelewengan kekuasaan dan semakin menurunnya etika serta fatsun politik.
Politik kita kemudian terlihat sangat rasional, namun juga buas, kejam, serta
liar. Politik juga terlihat sama sekali tidak menyenangkan Kita juga sering
mendengar dari pengalaman negara-negara lain di mana keadaban dan rasionalitas
dapat melebur menjadi satu dalam politik.
Mungkin cara berpolitik di negara-negara
kawasan Skandinavia dapat kita jadikan contoh baik. Di negara-negara ini,
politik terlihat sangat santun dan menyenangkan. Para politisi juga terlihat
demikian cerdas dalam membuat kebijakan. Tidak mengherankan, demokrasi di
negara-negara ini kemudian dapat mendorong pada peningkatan kesejahteraan
sosial. Berbagai indikator menunjukkan hal ini. Sebagai contoh, di negara[1]negara
ini praktek penyalahgunaan kekuasaan sangat rendah, baik yang dilakukan oleh
para politisi maupun birokratnya. Contoh yang lain, kesenjangan sosial antara
mereka yang paling kaya dan mereka yang paling miskin juga sangat rendah. Di
negara-negara ini, tingkat kesejahteraan masyarakat juga sangat tinggi. Dari
pengalaman negara-negara ini, kita bisa melihat bahwa jika keadaban dan
rasionalitas menjadi cara berpolitik yang tak terpisahkan, maka demokrasi dapat
mendorong pada peningkatan kemakmuran rakyat.
Tantangan untuk mengembangkan cara
berpolitik dengan santun sekaligus cerdas di demokrasi-demokrasi baru seperti
Indonesia memang tidak mudah. Banyak sekali faktor yang menghambat cara
berpolitik yang luhur sekaligus cerdas. Kebijakan-kebijakan politik era Orde
Baru tidak mampu menghasilkan para politisi yang berbudi pekerti sekaligus
pintar. Mereka yang memiliki kemampuan itu saat ini tidak banyak lagi. Sebagian
besar telah meninggal dunia. Beberapa yang lain tidak lagi menempati
posisi-posisi strategis kekuasaan. Sedangkan yang sedikit tersisa di kekuasaan
justru semakin gagap dalam menyikapi perubahan konteks yang begitu cepat dan
masif.
Di sinilah sebenarnya kita melihat
begitu strategisnya keberadaan para politisi muda. Sayangnya, demokratisasi
kita sejauh ini belum cukup memberikan fasilitasi pendidikan politik bagi para
politisi muda. Lembaga-lembaga politik kita telah membingkai para politisi muda
untuk segera berorientasi pada kekuasaan, terutama lembaga pemilu. Sedangkan
pada sisi yang lain, kultur demokrasi kita juga masih sangat labil. Dengan
struktur dan kultur seperti ini, pada satu sisi, para politisi muda kita
dipaksa untuk bersikap dan berperilaku secara sangat rasional dalam memaknai
kekuasaan. Pada sisi yang lain, struktur dan kultur seperti ini tidak
menyediakan ruang dan waktu yang memadai bagi para politisi muda kita untuk
memiliki keadaban politik.
Tidak mengherankan, cara berpolitik dari
generasi muda kita pun semakin rasional, tapi tidak cukup beradab. Salah satu
penyebab dari kondisi ini adalah karena partai-partai politik belum mengalami
proses pelembagaan yang optimal. Secara umum, partai-partai politik di
Indonesia memang masih dalam usia remaja. Namun, dalam proses demokratisasi saat
ini, mereka dipaksa untuk menanggung beban berat dari orang tua. Tidak
mengherankan, seringkali partai-partai politik tidak mampu menjalankan peran
idealnya. Mereka juga selalu tertinggal dalam merespon isu yang berkembang di
masyarakat. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik
semakin menurun dari waktu ke waktu Partai-partai politik juga belum mampu
menjalankan fungsi-fungsi dasarnya dengan baik, terutama pendidikan politik dan
kaderisasi kepemimpinan. Dominasi politisi tua dengan paradigma politik yang
sudah usang masih bertahan di kalangan partai politik kita saat ini.
Peran para politisi muda dalam mengelola
partai politik dengan paradigma, gagasan, dan cara berpolitik yang baru masih
terhambat. Sejauh ini, partai politik hanya menyediakan dua pilihan bagi para
politisi muda kita, yaitu mengikuti paradigma lama atau keluar dari partai
politik. Dua pilihan yang sama-sama tidak baik. Di sinilah kita melihat
pentingnya relasi antara partai politik dan politisi muda. Partai politik
seyogyanya memfasilitasi dengan baik para generasi muda untuk berkiprah dalam
politik. Melalui pendidikan politik, peran partai politik sangat penting dalam
membentuk keadaban politik dan meningkatkan kecerdasan politik dari para
politisi muda.
Sumber Bacaan : https://www.republika.id/posts/25124/krisis-keadaban-politik
No comments:
Post a Comment