Thursday 21 April 2022

KEADABAN DALAM POLITIK DAN RASIONALITAS

 


Indra A. Imam
Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo

Ada yang salah dalam cara berpolitik kita saat ini. Kita makin meninggalkan kesantunan budi pekerti (a civility) demi mengejar cara berpolitik yang mengedepankan akal sehat (rationality). Kita merasa bahwa berpolitik dengan keadaban merupakan hal yang tidak kontekstual. Bahkan, kita mungkin merasa hal itu sebagai bentuk kebodohan. Kemudian, kita semakin merasa harus rasional dalam berpolitik. Di sini, rasionalitas kemudian identik dengan sikap dan perilaku yang berorientasi pada jangka pendek, berorientasi pada kepentingan individu atau kelompok, dan juga culas (subtile). Cara berpolitik yang rasional seperti ini semakin mapan dalam politik kita hari ini. Keadaban dan rasionalitas sebenarnya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dalam politik. Politik memerlukan kebaikan budi pekerti sebagai fondasi sikap dan perilaku. Hal ini diwujudkan dengan imajinasi dalam membawa masyarakat ke suatu tatanan tertentu di masa depan.

Selanjutnya, imajinasi tersebut diterjemahkan ke dalam sikap dan perilaku yang cerdas. Politik yang rasional tanpa keadaban akan melahirkan sikap dan perilaku pragmatis. Pun demikian juga sebaliknya. Politik yang beradab tanpa rasionalitas akan melahirkan demagogi. Dengan demikian, keadaban dan rasionalitas dalam politik merupakan dua sisi dari satu mata uang. Apakah mungkin untuk menyatukan kedua hal tersebut dalam politik? Kita sering mendengar cerita tentang tokoh-tokoh politik (dalam dan luar negeri) yang memiliki kemampuan untuk menguasai kedua hal tersebut dalam diri mereka. Dalam tataran keadaban, mereka memiliki budi pekerti yang luhur. Hal ini terlihat dari imajinasi ideal mereka tentang sebuah tatanan masyarakat yang sejahtera.

Sedangkan dalam tataran rasionalitas, mereka berpolitik dengan cerdas untuk mewujudkan imajinasi tersebut. Mereka bernegosiasi dan berkolaborasi dengan kolega politiknya di parlemen secara lihai, mereka mengorganisasi partai politiknya secara serius, dan mereka berdebat secara argumentatif terkait dengan kebijakan publik. Semua praktek politik tersebut dilandasi dengan keyakinan yang kuat akan masyarakat yang makmur, meskipun imajinasi mereka tentang hal itu mungkin berbeda-beda. Dalam diri orang-orang seperti ini, keadaban dan rasionalitas telah menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Dalam konteks ini, kita dapat membuat polarisasi sikap dan perilaku dalam berpolitik, yaitu negarawan dan politisi. Negarawan adalah mereka yang berpolitik dengan tingkat kematangan keadaban dan intelektualitas yang tinggi. Sedangkan politisi adalah mereka yang berpolitik dengan hanya mengandalkan pada rasionalitas.

Para politisi, dengan demikian, memang seringkali terlihat cerdas dan pintar, namun tidak bijak. Sayangnya, panggung politik nasional kita saat ini justru semakin banyak melahirkan aktor dengan tipe politisi. Peran sebagai negarawan menjadi semakin tidak menarik. Tidak mengherankan, dalam periode reformasi saat ini, kita mengalami defisit negarawan dan surplus politisi. Berbagai sikap dan perilaku politisi yang cerdas namun tidak beradab menjadi tontonan rutin bagi masyarakat dalam pentas politik kita saat ini. Hal ini terlihat dari maraknya berbagai kasus penyelewengan kekuasaan dan semakin menurunnya etika serta fatsun politik. Politik kita kemudian terlihat sangat rasional, namun juga buas, kejam, serta liar. Politik juga terlihat sama sekali tidak menyenangkan Kita juga sering mendengar dari pengalaman negara-negara lain di mana keadaban dan rasionalitas dapat melebur menjadi satu dalam politik.

 Mungkin cara berpolitik di negara-negara kawasan Skandinavia dapat kita jadikan contoh baik. Di negara-negara ini, politik terlihat sangat santun dan menyenangkan. Para politisi juga terlihat demikian cerdas dalam membuat kebijakan. Tidak mengherankan, demokrasi di negara-negara ini kemudian dapat mendorong pada peningkatan kesejahteraan sosial. Berbagai indikator menunjukkan hal ini. Sebagai contoh, di negara[1]negara ini praktek penyalahgunaan kekuasaan sangat rendah, baik yang dilakukan oleh para politisi maupun birokratnya. Contoh yang lain, kesenjangan sosial antara mereka yang paling kaya dan mereka yang paling miskin juga sangat rendah. Di negara-negara ini, tingkat kesejahteraan masyarakat juga sangat tinggi. Dari pengalaman negara-negara ini, kita bisa melihat bahwa jika keadaban dan rasionalitas menjadi cara berpolitik yang tak terpisahkan, maka demokrasi dapat mendorong pada peningkatan kemakmuran rakyat.

Tantangan untuk mengembangkan cara berpolitik dengan santun sekaligus cerdas di demokrasi-demokrasi baru seperti Indonesia memang tidak mudah. Banyak sekali faktor yang menghambat cara berpolitik yang luhur sekaligus cerdas. Kebijakan-kebijakan politik era Orde Baru tidak mampu menghasilkan para politisi yang berbudi pekerti sekaligus pintar. Mereka yang memiliki kemampuan itu saat ini tidak banyak lagi. Sebagian besar telah meninggal dunia. Beberapa yang lain tidak lagi menempati posisi-posisi strategis kekuasaan. Sedangkan yang sedikit tersisa di kekuasaan justru semakin gagap dalam menyikapi perubahan konteks yang begitu cepat dan masif.

Di sinilah sebenarnya kita melihat begitu strategisnya keberadaan para politisi muda. Sayangnya, demokratisasi kita sejauh ini belum cukup memberikan fasilitasi pendidikan politik bagi para politisi muda. Lembaga-lembaga politik kita telah membingkai para politisi muda untuk segera berorientasi pada kekuasaan, terutama lembaga pemilu. Sedangkan pada sisi yang lain, kultur demokrasi kita juga masih sangat labil. Dengan struktur dan kultur seperti ini, pada satu sisi, para politisi muda kita dipaksa untuk bersikap dan berperilaku secara sangat rasional dalam memaknai kekuasaan. Pada sisi yang lain, struktur dan kultur seperti ini tidak menyediakan ruang dan waktu yang memadai bagi para politisi muda kita untuk memiliki keadaban politik.

 Tidak mengherankan, cara berpolitik dari generasi muda kita pun semakin rasional, tapi tidak cukup beradab. Salah satu penyebab dari kondisi ini adalah karena partai-partai politik belum mengalami proses pelembagaan yang optimal. Secara umum, partai-partai politik di Indonesia memang masih dalam usia remaja. Namun, dalam proses demokratisasi saat ini, mereka dipaksa untuk menanggung beban berat dari orang tua. Tidak mengherankan, seringkali partai-partai politik tidak mampu menjalankan peran idealnya. Mereka juga selalu tertinggal dalam merespon isu yang berkembang di masyarakat. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin menurun dari waktu ke waktu Partai-partai politik juga belum mampu menjalankan fungsi-fungsi dasarnya dengan baik, terutama pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan. Dominasi politisi tua dengan paradigma politik yang sudah usang masih bertahan di kalangan partai politik kita saat ini.

 Peran para politisi muda dalam mengelola partai politik dengan paradigma, gagasan, dan cara berpolitik yang baru masih terhambat. Sejauh ini, partai politik hanya menyediakan dua pilihan bagi para politisi muda kita, yaitu mengikuti paradigma lama atau keluar dari partai politik. Dua pilihan yang sama-sama tidak baik. Di sinilah kita melihat pentingnya relasi antara partai politik dan politisi muda. Partai politik seyogyanya memfasilitasi dengan baik para generasi muda untuk berkiprah dalam politik. Melalui pendidikan politik, peran partai politik sangat penting dalam membentuk keadaban politik dan meningkatkan kecerdasan politik dari para politisi muda.

Sumber Bacaan : https://www.republika.id/posts/25124/krisis-keadaban-politik

No comments: