Wednesday 20 April 2022

KACAMATA DEMOKRASI INTERNAL PARTAI: ISU DAN AGENDA POLITIK

 

Miranda Trumpi
Mahasiswa S1 PPKn UNG

Ada yang harus diperbaiki dari rekrutmen politik dan kandidasi internal partai politik karena berbiaya tinggi. Masalah rekrutmen dan  kandidasi semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi ketika dalam setiap seleksi kandidat dikotori oleh transaksi politik uang bernama mahar politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap seleksi kandidat terutama kandidat calon kepala daerah terdapat sejumlah uang - disebut ‘mahar politik’- yang harus dibayarkan kepada partai politik. Mahar politik semakin menjauhkan partai politik dari demokrasi (intra-party-democracy). 

Seorang kandidat yang hendak mencalonkan diri harus memiliki kekuatan modal finansial atau disokong oleh kekuatan bisnis yang memberikan dukungan finansial untuk membiayai ongkos politik yang besar. Mereka yang mampu menyediakan mahar politik lebih tinggi diutamakan dalam proses politik internal partai. Akibatnya kader-kader muda potensial yang telah bekerja untuk partai akan tetapi tidak memiliki cukup modal uang besar secara otomatis akan tersingkir dari proses kandidasi di internal partai. Politik Kaum Muda: Pengalaman dan Agenda Kaum muda telah membuktikan diri dalam setiap momentum politik di negeri ini.

Mereka tampil sebagai penerobos di front line saat elit-elit negeri enak-enakan menikmati kekuasaan. Kaum muda selalu berada dalam barisan rakyat untuk meluruskan kekuasaan yang bengkok. Dalam setiap perubahan politik yang ‘revolusioner’ mereka selalu mengambil jalan ekstra-parlementer dengan slogan Mendidik Rakyat dengan Pergerakan dan Mendidik Penguasa dengan Perlawanan. Mereka terlibat dalam kerja-kerja ideologis dan politis sekaligus. Demikianlah fatsun politik kaum muda. Setelah reformasi tidak sedikit kaum muda yang memutuskan diri bergabung dengan partai politik dan memilih perjuangan melalui parlemen. Namun keberadaan mereka tidak terlalu efektif dan bahkan cenderung termarjinalisasi dalam proses-proses politik formal, baik pada level partai politik maupun parlemen. Hal ini disebabkan karena elit politik kita masih disesaki oleh generasi-generasi tua (old politicians).

Kita tidak mengerti mungkin para old politicians ini masih ingin berkuasa hingga akhir hayatnya. Tanda-tanda itu semakin nampak jika kita lihat elit-elit partai politik tingkat nasional dipenuhi oleh old politicians ini. Meski pengecualian untuk tingkat daerah. Kita juga tidak mengerti apakah pidato Megawati pada penganugerahan gelar doktor honoris causa bidang politik dan pemerintahan oleh Universitas Padjajaran Bandung, yang menegaskan bahwa tahun 2019 adalah waktu bagi generasi muda tampil sebagai pemimpin politik (Kompas, 26/5/2016) sungguh akan membuka jalan bagi tampilnya kaum muda ke panggung politik. Apakah ini sinyal dari Megawati dan old politicians yang lain bahwa telah tiba masanya bagi mereka untuk pensiun dari panggung politik Indonesia? Keraguan tersebut akan hilang jika partai politik serius dalam menyiapkan kaum muda untuk menempati posisi-posisi penting di internal partai maupun dalam kontek politik yang lebih luas? Hal ini bisa dimulai dengan merancang sistem dan mekanisme kederisasi, rekrutmen dan kandidasi yang inklusif bagi kaum muda.

 Hal tersebut harus Sementara partai politik mengembangkan sistem dan mekanisme rekrutmen dan kandidasi yang inklusif, kaum muda sendiri harus terus mengasah integritas dan kapasitas diri sebagai calon pemimpin [1] pemimpin politik dan menggalang diri dalam kaukus politisi muda lintas partai patut dilakukan. Metode Kandidasi yang Inklusif Satu di antara fungsi klasik partai politik adalah menyiapkan para kandidat untuk menduduki jabatan-jabatan publik di pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tujuan partai politik untuk menyusun nominasi dan memenangkan pemilu untuk mengontrol dan menguasai organisasi-organisasi pemerintahan dan public offices (White, 2006: 5). Kandidasi menempati posisi sangat penting dalam proses politik untuk menyeleksi siapa yang akan dinominasikan sebagai kandidat. Saking pentingnya, Gallagher dan Marsh menyebut seleksi kandidat sebagai ‘secret garden of politics’ (Hazan dan Rahat, 2006: 110).

Yang ingin disampaikan di sini bukan kandidasi yang bersifat rahasia dan tipu-tipu, tapi kandidasi yang mencerminkan nilai dan prinsip demokrasi serta terbuka bagi publik. Perbincangan dapat dimulai dari siapa yang berhak (who is eligible) untuk menentukan siapa yang menominasikan (who nominates) dan yang dinominasikan (who is nominated) sebagai kandidat eksekutif maupun legislatif (Norris, 2006: 89-96). Hal pertama dan utama yang harus dilakukan oleh partai politik adalah mengembangkan lembaga selectorate internal yang inklusif dilakukan oleh partai karena berpijak pada perundang[1]undangan yang semakin memberikan tempat kepada munculnya pemimpin-pemimpin muda dalam politik. Undang-undang telah memberikan peluang yang luas bagi tampilnya kaum muda untuk menjadi pemimpin politik baik itu di eksekutif maupun legislatif.  inclusiveness of the selectorate) bagi semua kader partai dan para kandidat yang akan mencalonkan diri. Inklusifitas selectorate memperhatikan dimensi dan aspek-aspek penting dari demokrasi.

Sebagai kesimpulan dalam opini ini ada  empat aspek penting dari demokrasi agar suatu selectorate dapat dikatakan inklusif. Pertama, partisipasi politik anggota partai politik dalam seluruh proses kandidasi. Partisipasi politik dapat diatur sesuai tingkatan dan tanggungjawab anggota di masing-masing partai. Setiap anggota secara demokratis diberi kesempatan untuk mengajukan kandidat pada pemilihan kepala daerah atau calon anggota legislatif di daerah pemilihan tertentu. Pada fase ini titik tekannya bukan pada kuantitas partisipan akan tetapi kualitas partisipasi mereka dalam mengajukan kandidat. Kedua, proses kandidasi harus mencerminkan representasi di internal partai, baik representasi ideologis, ide-ide, simbol-simbol dan kepentingan tertentu serta kelompok-kelompok sosial, seperti perempuan dan minoritas. Ketiga, proses kandidasi harus memperhatikan asas kompetisi yang adil dan fair bagi seluruh kader partai. Hal ini dapat dicapai jika sudah tersedia sistem dan mekanisme kandidasi yang bisa menjadi rujukan bersama. Setiap calon kandidat tunduk pada sistem dan mekanisme yang berlaku. Aspek keempat adalah responsiveness. Selectorate harus responsif terhadap input dari seluruh anggota partai, anggota parlemen dan agensi partai politik serta masukan-masukan publik yang memiliki perhatian terhadap proses kandidasi (public attentive) dalam menyeleksi dan menentukan kandidat.

Sumber Bacaan : Insan Kamil, Kepala Sekolah Politisi Muda dan Wakil Direktur Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta. 


No comments: