Miranda Trumpi Mahasiswa S1 PPKn UNG |
Ada yang harus diperbaiki dari rekrutmen politik dan kandidasi internal partai politik karena berbiaya tinggi. Masalah rekrutmen dan kandidasi semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi ketika dalam setiap seleksi kandidat dikotori oleh transaksi politik uang bernama mahar politik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap seleksi kandidat terutama kandidat calon kepala daerah terdapat sejumlah uang - disebut ‘mahar politik’- yang harus dibayarkan kepada partai politik. Mahar politik semakin menjauhkan partai politik dari demokrasi (intra-party-democracy).
Seorang kandidat yang hendak mencalonkan diri harus
memiliki kekuatan modal finansial atau disokong oleh kekuatan bisnis yang
memberikan dukungan finansial untuk membiayai ongkos politik yang besar. Mereka
yang mampu menyediakan mahar politik lebih tinggi diutamakan dalam proses
politik internal partai. Akibatnya kader-kader muda potensial yang telah
bekerja untuk partai akan tetapi tidak memiliki cukup modal uang besar secara
otomatis akan tersingkir dari proses kandidasi di internal partai. Politik Kaum
Muda: Pengalaman dan Agenda Kaum muda telah membuktikan diri dalam setiap
momentum politik di negeri ini.
Mereka
tampil sebagai penerobos di front line saat elit-elit negeri enak-enakan
menikmati kekuasaan. Kaum muda selalu berada dalam barisan rakyat untuk
meluruskan kekuasaan yang bengkok. Dalam setiap perubahan politik yang
‘revolusioner’ mereka selalu mengambil jalan ekstra-parlementer dengan slogan
Mendidik Rakyat dengan Pergerakan dan Mendidik Penguasa dengan Perlawanan.
Mereka terlibat dalam kerja-kerja ideologis dan politis sekaligus. Demikianlah
fatsun politik kaum muda. Setelah reformasi tidak sedikit kaum muda yang
memutuskan diri bergabung dengan partai politik dan memilih perjuangan melalui
parlemen. Namun keberadaan mereka tidak terlalu efektif dan bahkan cenderung
termarjinalisasi dalam proses-proses politik formal, baik pada level partai
politik maupun parlemen. Hal ini disebabkan karena elit politik kita masih
disesaki oleh generasi-generasi tua (old politicians).
Kita
tidak mengerti mungkin para old politicians ini masih ingin berkuasa hingga
akhir hayatnya. Tanda-tanda itu semakin nampak jika kita lihat elit-elit partai
politik tingkat nasional dipenuhi oleh old politicians ini. Meski pengecualian
untuk tingkat daerah. Kita juga tidak mengerti apakah pidato Megawati pada
penganugerahan gelar doktor honoris causa bidang politik dan pemerintahan oleh
Universitas Padjajaran Bandung, yang menegaskan bahwa tahun 2019 adalah waktu
bagi generasi muda tampil sebagai pemimpin politik (Kompas, 26/5/2016) sungguh
akan membuka jalan bagi tampilnya kaum muda ke panggung politik. Apakah ini
sinyal dari Megawati dan old politicians yang lain bahwa telah tiba masanya
bagi mereka untuk pensiun dari panggung politik Indonesia? Keraguan tersebut
akan hilang jika partai politik serius dalam menyiapkan kaum muda untuk
menempati posisi-posisi penting di internal partai maupun dalam kontek politik
yang lebih luas? Hal ini bisa dimulai dengan merancang sistem dan mekanisme
kederisasi, rekrutmen dan kandidasi yang inklusif bagi kaum muda.
Hal tersebut harus Sementara partai politik
mengembangkan sistem dan mekanisme rekrutmen dan kandidasi yang inklusif, kaum
muda sendiri harus terus mengasah integritas dan kapasitas diri sebagai calon
pemimpin [1] pemimpin
politik dan menggalang diri dalam kaukus politisi muda lintas partai patut
dilakukan. Metode Kandidasi yang Inklusif Satu di antara fungsi klasik partai
politik adalah menyiapkan para kandidat untuk menduduki jabatan-jabatan publik
di pemerintahan. Hal ini sesuai dengan tujuan partai politik untuk menyusun
nominasi dan memenangkan pemilu untuk mengontrol dan menguasai organisasi-organisasi
pemerintahan dan public offices (White, 2006: 5). Kandidasi menempati posisi
sangat penting dalam proses politik untuk menyeleksi siapa yang akan
dinominasikan sebagai kandidat. Saking pentingnya, Gallagher dan Marsh menyebut
seleksi kandidat sebagai ‘secret garden of politics’ (Hazan dan Rahat, 2006:
110).
Yang
ingin disampaikan di sini bukan kandidasi yang bersifat rahasia dan tipu-tipu,
tapi kandidasi yang mencerminkan nilai dan prinsip demokrasi serta terbuka bagi
publik. Perbincangan dapat dimulai dari siapa yang berhak (who is eligible)
untuk menentukan siapa yang menominasikan (who nominates) dan yang
dinominasikan (who is nominated) sebagai kandidat eksekutif maupun legislatif
(Norris, 2006: 89-96). Hal pertama dan utama yang harus dilakukan oleh partai
politik adalah mengembangkan lembaga selectorate internal yang inklusif
dilakukan oleh partai karena berpijak pada perundang[1]undangan yang semakin
memberikan tempat kepada munculnya pemimpin-pemimpin muda dalam politik.
Undang-undang telah memberikan peluang yang luas bagi tampilnya kaum muda untuk
menjadi pemimpin politik baik itu di eksekutif maupun legislatif. inclusiveness of the selectorate) bagi semua
kader partai dan para kandidat yang akan mencalonkan diri. Inklusifitas
selectorate memperhatikan dimensi dan aspek-aspek penting dari demokrasi.
Sebagai kesimpulan dalam opini ini ada empat aspek penting dari demokrasi agar suatu selectorate dapat dikatakan inklusif. Pertama, partisipasi politik anggota partai politik dalam seluruh proses kandidasi. Partisipasi politik dapat diatur sesuai tingkatan dan tanggungjawab anggota di masing-masing partai. Setiap anggota secara demokratis diberi kesempatan untuk mengajukan kandidat pada pemilihan kepala daerah atau calon anggota legislatif di daerah pemilihan tertentu. Pada fase ini titik tekannya bukan pada kuantitas partisipan akan tetapi kualitas partisipasi mereka dalam mengajukan kandidat. Kedua, proses kandidasi harus mencerminkan representasi di internal partai, baik representasi ideologis, ide-ide, simbol-simbol dan kepentingan tertentu serta kelompok-kelompok sosial, seperti perempuan dan minoritas. Ketiga, proses kandidasi harus memperhatikan asas kompetisi yang adil dan fair bagi seluruh kader partai. Hal ini dapat dicapai jika sudah tersedia sistem dan mekanisme kandidasi yang bisa menjadi rujukan bersama. Setiap calon kandidat tunduk pada sistem dan mekanisme yang berlaku. Aspek keempat adalah responsiveness. Selectorate harus responsif terhadap input dari seluruh anggota partai, anggota parlemen dan agensi partai politik serta masukan-masukan publik yang memiliki perhatian terhadap proses kandidasi (public attentive) dalam menyeleksi dan menentukan kandidat.
Sumber
Bacaan : Insan Kamil, Kepala
Sekolah Politisi Muda dan Wakil Direktur Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment