Tuesday 26 April 2022

PEMERINTAHAN DESA PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH

Ayub Jahala
Studi S1-Ilmu Pemerintahan Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo

A. PENDAHULUAN

Ada era yang ditandai dengan pemberian otonomi yang seluas- luasnya dan ada era lain yang mencatumkan pemberian otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, namun dengan kecenderungan yang lebih mengarah pada pergeseran kuat menuju pengutamaan dekonsentrasi.

Namun demikian, juga sukar untuk disangkal bahwa otonomi daerah yang antara lain dimaksudkan untukpemerataan pembangunan, ada kecenderungan telah memunculkan “raja-raja” kecil baru di daerah yang lebih menitik beratkan perhatiannya pada upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketimbang pada upaya mensejahterakan masyarakat.

     Kedua, berkaitan dengan proses implementasi, yang antara lain disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan penafsiran, perbedaan kepentingan dan berbagai perbedaan yang lain, termasuk perbedaan kebutuhan, kemampuan dan kondisi dari masing-masing daerah, serta berbagai sumber daya yang lain yang ada di daerah.

Mencermati dinamika lingkungan strategis yang berubah dengan laju yang semakin tinggi, maka diperlukan format penyelenggaraan negara yang luwes dan memiliki pada satu sisi kemampuan untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan pada sisi lain memiliki ketahanan yang tangguh terhadapberbagai ancaman yang timbul.

     Model sentralisasi jelas sulit dikembangkan untuk mencapai kinerja seperti itu, khususnya bagi Indonesia yang memiliki wilayah yang begitu luas, jumlah penduduk yang besar, serta tingkat keragaman sosial budaya yang tinggi.

 

B. PEMBAHASAN

     Selain itu, dalam upaya menemukenali hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya dampak negatif dalam implementasi kedua UU tersebut, maka nampaknya sudah perlu dilakukan penelitian/ pengkajian secara menyeluruh dan mendasar berbagai persoalan yang erat kaitannya dengan kedua UU tersebut, termasuk UU politik dan produk hukum lainnya, sembarimenjaring pemikiran-pemikiran strategis, menampung aspirasi masyarakat dan daerah, sekaligus mencoba meramu kembali model otonomi daerah yang lebih komprehensif dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia, sesuai dengan perkembangan aspirasi masyarakat, kecenderungan dinamika lingkungan global, serta kesiapan masyarakat dan stakeholder lainnya dalam menerima dan menerapkan otonomi tersebut.

     Dari segi keanggotaan, semua anggota LMD ditunjuk oleh Kepala Desa (selanjutnya disebut Kades), sedangkan Kades dan Sekretarisnya ex-officio menjadi Ketua dan Sekretaris lembaga tersebut Selain LMD, di desa juga dibentuk LKMD yang diharapkan berfungsi menjadi wadah penggerak partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan, pendorong kegotongroyongan masyarakat, sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, dan membantu Kades dalam mengkoordinasikan pembangunan.

     Dalam konteks Otonomi daerah dan implikasinya terhadap pengaturan tentang desa dan proses pembangunan desa, Peraturan Perundang-Undangan yang cukup relevan diketengahkan selain pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan konstitusionalnya, adalah Peraturan Perundang- Undangan yang mengatur tentang bentuk dan susunan pemerintahan daerah termasuk pemerintahan desa.

 

     Pada sisi lain dalam kerangka konsep good governance yang berorientasi pada masyarakat, hasil riset advokasi yang dilakukan oleh Dwipayana dkk., (2003: 22-23) sebagai agenda kerja dari Institute for Research and Empowerment (IRE) kerjasama the Ford Foundation di lima desa yakni: Desa Gadungan (Wedi, Klaten); Duwet (Ngawen, Klaten); Wukirsari (Imogiri, Bantul); Jenarwetan (Purwodadi, Purworejo); dan Grogol (Weru, Sukoharjo), dikemukakan pemetaan governance di level desa yang terdiri dari empat elemen yakni: negara (Pemerintah desa), masyarakat politik (BPD), masyarakat sipil (organisasi masyarakat, institusi lokal dan warga masyarakat), serta masyarakat ekonomi (arena produksi dan distribusi yang dilakukan oleh pelaku dan organisasi ekonomi desa).

     Desentralisasi hendaknya dapat meningkatkan stabilitas politik melalui demokratisasi dan liberalisasi, sebagai reaksi terhadap instabilitas politik yang diciptakan oleh pemerintahan yang sentralistik; Meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi negara di semua lini, bidang dan sektor, mulai dari tingkat yangpaling atas sampai yang paling bawah; Meningkatkan efisiensi ekonomi dan menejerial dengan memberikan dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang lebih menitik beratkan kepada prinsipprinsip penggunaan dana yang efektif; • Meningkatkan respons dan kepekaan pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan dan tuntutan yang diajukan oleh berbagai kelompok kepentingan di dalam masyarakat; • Mendorong unit-unit pemerintahan/ administrasi negara di daerah agar lebih mandiri didalam memecahkan berbagai permasalahan pembangunan ; dan mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk memilih dan menentukan sarana, metoda atau alat demi tercapainya kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program pembangunan di daerah.

     Pasal 200 ayat (1) menyebutkan “Dalam pemerintahan daerah kabupaten /kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa”, sedangkan Pemerintah desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa (pasal 201 ayat 1) Ditinjau dari landasan pemikiran pengaturan mengenai desa, nampaknya apa yang termaktub dalam UU Nomor 32/2004, tidaklah jauh berbeda dengan UU Nomor 22/1999.

 

C. PENUTUP

     Dalam kerangka konsep good governance dan untuk mewujudkan kemitraan serta penerapan/penjabaran prinsip-prinsip dari konsep tersebut dalam proses pembangunan di desa dibutuhkan kehadiran pemerintah desa yang partisipatif (Participatory village Government) yakni pemerintah yang mampu menciptakan dan/atau memberi kesempatan serta peluang seluruh elemen atau pemangku kepentingan (stakeholders) yang beraktivitas di wilayah kerjanya, utamanya sektor swasta dan masyarakat madani (masyarakat warga/Civil Society) untuk terlibat dalam seluruh rangkaian proses pembangunan.

 

     Secara teoritis, apabila pemerintah desa memberikan kesempatan/peluang seluruh elemen desa dalam proses pembangunan (pemerintah desa yang partisipatif), maka efektivitas pembangunan dalam arti tingkat kesesuaian program pemerintah desa dengan apa yang dibutuhkan dan dirasakan masyarakat desa juga akan semakin tinggi.

 

     Fenomena adanya beberapa ketentuan dalam peraturan perundang- undangan yang ternyata kurang seirama dengan kondisi riil di lapangan, maka nampaknya sudah perlu dilakukan harmonisasi substansi hukum dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat melalui penelitian/pengkajian secara menyeluruh dan mendasar berbagai persoalan yang erat kaitannya dengan berbagai fenomena tersebut.

 

     Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam pengaturan tentang desa, termasuk penataan kelembagaannya, seyogyanya lebih luwes sesuai kondisi, adat istiadat dan nilai-nilai budaya desa setempat, sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak lagi diatur dengan model yang seragam dan uniform dari pusat.

 

     Pemerintah nasional, pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) tetap berkewajiban memfasilitasi agar pemerintahan desa berjalan lancar dan dapat mensejahterakan masyarakatnya tanpa mematikan akses penyaluran aspirasi dan tuntutan masyarakat, sekaligus akan menumbuhkembangkan kreativitas dan prakarsa masyarakat, memberdayakan daerah serta menghargai keanekaragaman nilai-nilai sosial budaya setempat.

 

Sumber Bacaan :

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/publications/99462-ID-kajian-tentang-pemerintahan-desa-

 

No comments: