Ayub Jahala Studi S1-Ilmu Pemerintahan Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo |
A. PENDAHULUAN
Ada era yang ditandai dengan
pemberian otonomi yang seluas- luasnya dan ada era lain yang mencatumkan
pemberian otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, namun dengan
kecenderungan yang lebih mengarah pada pergeseran kuat menuju pengutamaan
dekonsentrasi.
Namun demikian, juga sukar
untuk disangkal bahwa otonomi daerah yang antara lain dimaksudkan
untukpemerataan pembangunan, ada kecenderungan telah memunculkan “raja-raja”
kecil baru di daerah yang lebih menitik beratkan perhatiannya pada upaya
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ketimbang pada upaya mensejahterakan
masyarakat.
Kedua, berkaitan dengan proses
implementasi, yang antara lain disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan
penafsiran, perbedaan kepentingan dan berbagai perbedaan yang lain, termasuk
perbedaan kebutuhan, kemampuan dan kondisi dari masing-masing daerah, serta
berbagai sumber daya yang lain yang ada di daerah.
Mencermati dinamika
lingkungan strategis yang berubah dengan laju yang semakin tinggi, maka
diperlukan format penyelenggaraan negara yang luwes dan memiliki pada satu sisi
kemampuan untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan pada sisi lain
memiliki ketahanan yang tangguh terhadapberbagai ancaman yang timbul.
Model sentralisasi jelas sulit
dikembangkan untuk mencapai kinerja seperti itu, khususnya bagi Indonesia yang
memiliki wilayah yang begitu luas, jumlah penduduk yang besar, serta tingkat
keragaman sosial budaya yang tinggi.
B. PEMBAHASAN
Selain itu, dalam upaya menemukenali
hal-hal yang menjadi pemicu terjadinya dampak negatif dalam implementasi kedua
UU tersebut, maka nampaknya sudah perlu dilakukan penelitian/ pengkajian secara
menyeluruh dan mendasar berbagai persoalan yang erat kaitannya dengan kedua UU
tersebut, termasuk UU politik dan produk hukum lainnya, sembarimenjaring
pemikiran-pemikiran strategis, menampung aspirasi masyarakat dan daerah,
sekaligus mencoba meramu kembali model otonomi daerah yang lebih komprehensif
dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia, sesuai dengan perkembangan
aspirasi masyarakat, kecenderungan dinamika lingkungan global, serta kesiapan
masyarakat dan stakeholder lainnya dalam menerima dan menerapkan otonomi
tersebut.
Dari segi keanggotaan, semua anggota LMD
ditunjuk oleh Kepala Desa (selanjutnya disebut Kades), sedangkan Kades dan
Sekretarisnya ex-officio menjadi Ketua dan Sekretaris lembaga tersebut Selain
LMD, di desa juga dibentuk LKMD yang diharapkan berfungsi menjadi wadah
penggerak partisipasi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan
pembangunan, pendorong kegotongroyongan masyarakat, sarana komunikasi antara
pemerintah dan masyarakat, dan membantu Kades dalam mengkoordinasikan
pembangunan.
Dalam konteks Otonomi daerah dan
implikasinya terhadap pengaturan tentang desa dan proses pembangunan desa,
Peraturan Perundang-Undangan yang cukup relevan diketengahkan selain pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan konstitusionalnya, adalah
Peraturan Perundang- Undangan yang mengatur tentang bentuk dan susunan
pemerintahan daerah termasuk pemerintahan desa.
Pada sisi lain dalam kerangka konsep good
governance yang berorientasi pada masyarakat, hasil riset advokasi yang
dilakukan oleh Dwipayana dkk., (2003: 22-23) sebagai agenda kerja dari
Institute for Research and Empowerment (IRE) kerjasama the Ford Foundation di
lima desa yakni: Desa Gadungan (Wedi, Klaten); Duwet (Ngawen, Klaten);
Wukirsari (Imogiri, Bantul); Jenarwetan (Purwodadi, Purworejo); dan Grogol
(Weru, Sukoharjo), dikemukakan pemetaan governance di level desa yang terdiri dari
empat elemen yakni: negara (Pemerintah desa), masyarakat politik (BPD),
masyarakat sipil (organisasi masyarakat, institusi lokal dan warga masyarakat),
serta masyarakat ekonomi (arena produksi dan distribusi yang dilakukan oleh
pelaku dan organisasi ekonomi desa).
Desentralisasi hendaknya dapat
meningkatkan stabilitas politik melalui demokratisasi dan liberalisasi, sebagai
reaksi terhadap instabilitas politik yang diciptakan oleh pemerintahan yang
sentralistik; Meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi negara di
semua lini, bidang dan sektor, mulai dari tingkat yangpaling atas sampai yang
paling bawah; Meningkatkan efisiensi ekonomi dan menejerial dengan memberikan
dukungan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan-tujuan
pembangunan yang lebih menitik beratkan kepada prinsipprinsip penggunaan dana
yang efektif; • Meningkatkan respons dan kepekaan pemerintah terhadap pemenuhan
kebutuhan dan tuntutan yang diajukan oleh berbagai kelompok kepentingan di
dalam masyarakat; • Mendorong unit-unit pemerintahan/ administrasi negara di
daerah agar lebih mandiri didalam memecahkan berbagai permasalahan pembangunan
; dan mendukung dan mendorong pemerintah daerah untuk memilih dan menentukan
sarana, metoda atau alat demi tercapainya kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
program-program pembangunan di daerah.
Pasal 200 ayat (1) menyebutkan “Dalam
pemerintahan daerah kabupaten /kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri
dari Pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa”, sedangkan Pemerintah desa
terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa (pasal 201 ayat 1) Ditinjau dari
landasan pemikiran pengaturan mengenai desa, nampaknya apa yang termaktub dalam
UU Nomor 32/2004, tidaklah jauh berbeda dengan UU Nomor 22/1999.
C. PENUTUP
Dalam kerangka konsep good governance dan untuk mewujudkan kemitraan
serta penerapan/penjabaran prinsip-prinsip dari konsep tersebut dalam proses
pembangunan di desa dibutuhkan kehadiran pemerintah desa yang partisipatif
(Participatory village Government) yakni pemerintah yang mampu menciptakan
dan/atau memberi kesempatan serta peluang seluruh elemen atau pemangku
kepentingan (stakeholders) yang beraktivitas di wilayah kerjanya, utamanya
sektor swasta dan masyarakat madani (masyarakat warga/Civil Society) untuk
terlibat dalam seluruh rangkaian proses pembangunan.
Secara teoritis, apabila pemerintah desa
memberikan kesempatan/peluang seluruh elemen desa dalam proses pembangunan
(pemerintah desa yang partisipatif), maka efektivitas pembangunan dalam arti
tingkat kesesuaian program pemerintah desa dengan apa yang dibutuhkan dan
dirasakan masyarakat desa juga akan semakin tinggi.
Fenomena adanya beberapa ketentuan dalam
peraturan perundang- undangan yang ternyata kurang seirama dengan kondisi riil
di lapangan, maka nampaknya sudah perlu dilakukan harmonisasi substansi hukum
dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat melalui
penelitian/pengkajian secara menyeluruh dan mendasar berbagai persoalan yang
erat kaitannya dengan berbagai fenomena tersebut.
Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam
pengaturan tentang desa, termasuk penataan kelembagaannya, seyogyanya lebih
luwes sesuai kondisi, adat istiadat dan nilai-nilai budaya desa setempat,
sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak lagi diatur dengan model yang
seragam dan uniform dari pusat.
Pemerintah nasional, pemerintah daerah
(propinsi dan kabupaten) tetap berkewajiban memfasilitasi agar pemerintahan
desa berjalan lancar dan dapat mensejahterakan masyarakatnya tanpa mematikan
akses penyaluran aspirasi dan tuntutan masyarakat, sekaligus akan
menumbuhkembangkan kreativitas dan prakarsa masyarakat, memberdayakan daerah
serta menghargai keanekaragaman nilai-nilai sosial budaya setempat.
Sumber Bacaan :
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://media.neliti.com/media/publications/99462-ID-kajian-tentang-pemerintahan-desa-
No comments:
Post a Comment