Irmawati Halid Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo |
Setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam rangka implementasi penyederhanaan birokrasi, yaitu penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan dan penyesuaian sistem kerja. Dalam mendukung optimalisasi penerapan sistem baru ini dibutuhkan kolaborasi antar dan intra unit organisasi sehingga akan mendorong terwujudnya kualitas output yang akuntabel. Dalam memenuhi kebutuhan atas kolaborasi tersebut, Pejabat Fungsional dan pelaksana dapat ditugaskan baik itu di dalam unit organisasi maupun antar unit organisasi. Sistem kerja setelah penyederhanaan birokrasi selain berorientasi pada hasil juga harus tetap memperhatikan proses. Proses-proses yang dinilai menghambat pencapaian hasil diperlukan rekayasa ulang. Setiap pegawai di dalam sistem kerja tersebut diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan cekatan dalam menanggapi permasalahan baik dari internal maupun eksternal organisasi.
Menurut
berbagai studi, komunikasi langsung secara tatap muka dirasa lebih efektif
dibandingkan dengan penggunaan surat elektronik/ email. Komunikasi tatap muka
mengajarkan kita untuk berbicara santun terhadap orang yang usianya di atas
kita, membantu mengembangkan kecerdasan emosional serta pembentukan sikap dan
karakter. Oleh karena itu, komunikasi tatap muka tetap diperlukan agar kita
bisa menjadi pribadi yang bisa menghargai perbedaan pendapat.
Namun,
dengan adanya penyederhanaan birokrasi tak hanya mengubah tatanan organisasi
yang telah ada, tetapi hal ini juga berdampak pada budaya etika berorganisasi
yang telah terbangun sejak lama. Semenjak pengurangan eselonisasi, budaya
hormat terhadap pegawai senior ataupun pimpinan tampak memudar apalagi ditambah
dengan meningkatnya penggunaan teknologi sebagai pengganti komunikasi secara
tatap muka. Anggapan ini tidaklah salah karena berkat teknologi pekerjaan
terasa menjadi lebih efektif dan efisien. Namun sebagai makhluk sosial,
komunikasi secara tatap muka tetap lebih disukai dibandingkan komunikasi
melalui perantara teknologi.
Walaupun
saat ini penyebutan istilah pimpinan telah digantikan dengan penggunaan istilah
baru seperti koordinator dan sub koordinator, akan tetapi melekatnya penggunaan
istilah lama dalam memori kita menjadikan istilah baru dalam penyebutan
pimpinan tersebut seperti tidak bermakna. Apalagi dengan adanya penyetaraan
jabatan, jabatan fungsional tertentu yang sejatinya merupakan jabatan utama,
sedangkan penugasan koordinator ataupun sub koordinator hanyalah tugas
tambahan, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.
Menjadi
pemimpin di era pasca penyederhanaan birokrasi bukanlah hal yang mudah.
Tuntutan untuk mengumpulkan poin seringkali terabaikan dengan rutinitas sebagai
pemangku dalam lingkup organisasi. Pemimpin hasil penyetaraan juga dianggap
memiliki posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Seringkali
pegawai kemudian terlalu berani dalam mengemukan pendapatnya tanpa melihat
status dalam organisasi dan mengabaikan etika dalam berkomunikasi.
Pandemi
yang telah berlangsung selama dua tahun juga turut andil dalam pergeseran nilai
ini. Pegawai yang semula terbiasa menghadap pimpinan secara langsung kini
menjadi tercukupkan hanya dengan melalui pesan singkat. Pergeseran nilai etika
ini tentu saja harus segera dicari jalan keluarnya karena berpotensi
menimbulkan perselisihan bahkan perpecahan dalam organisasi. Kendati demikian,
di satu sisi perubahan pola kerja ini mau tidak mau harus dilalui karena
tuntutan zaman. Di era teknologi informasi seluruh perangkat kerja birokrasi
akan melakukan penyesuaian menggunakan teknologi digital yang membuat interaksi
tatap muka bawahan dan pimpinan menjadi semakin jarang. Dampaknya, sakralitas
pemimpin seperti saat sebelum penyederhanaan birokrasi perlahan-lahan akan
semakin memudar.
Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan adanya kegiatan yang dilakukan oleh stakeholder dalam rangka pemahaman etika dalam berorganisasi. Kegiatan ini sekiranya menjadi agenda wajib yang diikuti oleh seluruh pegawai. Dengan pemahaman etika berorganisasi diharapkan semua pegawai dapat menjalankan perannya sesuai dengan porsi masing-masing. Organisasi juga dapat berjalan dengan baik tanpa ada perselisihan akibat adanya perbedaan cara pandang.
Sumber
Bacaan :
https://bkd.jabarprov.go.id/artikel/271-birokrasi-pasca-penyederhanaan-birokrasi-pemda-provinsi-jabar-kembangkan-mekanisme-kerja-baru-team-of-teams-tots
No comments:
Post a Comment