Friday 22 April 2022

PENYEDERHANAAN BIROKRASI LANGKAH KONGKRIT DALAM POLITIK


Irmawati Halid
Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo

        Tahun 2020-2021 merupakan masa di mana terjadi perubahan besar dalam sistem birokrasi yang ada di Indonesia. Semula sistem berjenjang/ hierarki berubah menjadi sistem kerja kolaboratif dan dinamis. Penyederhanaan birokrasi ini merupakan bagian dari program prioritas kerja Presiden di bidang Reformasi Birokrasi. Tujuannya untuk mewujudkan pengelolaan pemerintah yang bersih, efektif, dan tepercaya. Sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Adanya perubahan ini tidak hanya menghapus struktur birokrasi dan mengalihkan Pejabat Administrasi menjadi Pejabat Fungsional semata, namun juga dilakukan melalui perubahan sistem kerja, yang semula berjenjang dan silo berubah menjadi sistem kerja yang kolaboratif dan dinamis. Bentuk dari transformasi sistem kerja tersebut menekankan pada kerja tim yang berorientasi pada hasil dengan didukung oleh tata kelola pemerintahan digital. Dukungan tata kelola pemerintahan tersebut ditujukan untuk mempercepat pengambilan keputusan yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian kinerja bersama.

Setidaknya ada tiga tahapan yang harus dilalui dalam rangka implementasi penyederhanaan birokrasi, yaitu penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan dan penyesuaian sistem kerja. Dalam mendukung optimalisasi penerapan sistem baru ini dibutuhkan kolaborasi antar dan intra unit organisasi sehingga akan mendorong terwujudnya kualitas output yang akuntabel. Dalam memenuhi kebutuhan atas kolaborasi tersebut, Pejabat Fungsional dan pelaksana dapat ditugaskan baik itu di dalam unit organisasi maupun antar unit organisasi. Sistem kerja setelah penyederhanaan birokrasi selain berorientasi pada hasil juga harus tetap memperhatikan proses. Proses-proses yang dinilai menghambat pencapaian hasil diperlukan rekayasa ulang. Setiap pegawai di dalam sistem kerja tersebut diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan cekatan dalam menanggapi permasalahan baik dari internal maupun eksternal organisasi.

Menurut berbagai studi, komunikasi langsung secara tatap muka dirasa lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan surat elektronik/ email. Komunikasi tatap muka mengajarkan kita untuk berbicara santun terhadap orang yang usianya di atas kita, membantu mengembangkan kecerdasan emosional serta pembentukan sikap dan karakter. Oleh karena itu, komunikasi tatap muka tetap diperlukan agar kita bisa menjadi pribadi yang bisa menghargai perbedaan pendapat.

Namun, dengan adanya penyederhanaan birokrasi tak hanya mengubah tatanan organisasi yang telah ada, tetapi hal ini juga berdampak pada budaya etika berorganisasi yang telah terbangun sejak lama. Semenjak pengurangan eselonisasi, budaya hormat terhadap pegawai senior ataupun pimpinan tampak memudar apalagi ditambah dengan meningkatnya penggunaan teknologi sebagai pengganti komunikasi secara tatap muka. Anggapan ini tidaklah salah karena berkat teknologi pekerjaan terasa menjadi lebih efektif dan efisien. Namun sebagai makhluk sosial, komunikasi secara tatap muka tetap lebih disukai dibandingkan komunikasi melalui perantara teknologi.

Walaupun saat ini penyebutan istilah pimpinan telah digantikan dengan penggunaan istilah baru seperti koordinator dan sub koordinator, akan tetapi melekatnya penggunaan istilah lama dalam memori kita menjadikan istilah baru dalam penyebutan pimpinan tersebut seperti tidak bermakna. Apalagi dengan adanya penyetaraan jabatan, jabatan fungsional tertentu yang sejatinya merupakan jabatan utama, sedangkan penugasan koordinator ataupun sub koordinator hanyalah tugas tambahan, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya.

Menjadi pemimpin di era pasca penyederhanaan birokrasi bukanlah hal yang mudah. Tuntutan untuk mengumpulkan poin seringkali terabaikan dengan rutinitas sebagai pemangku dalam lingkup organisasi. Pemimpin hasil penyetaraan juga dianggap memiliki posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Seringkali pegawai kemudian terlalu berani dalam mengemukan pendapatnya tanpa melihat status dalam organisasi dan mengabaikan etika dalam berkomunikasi.

Pandemi yang telah berlangsung selama dua tahun juga turut andil dalam pergeseran nilai ini. Pegawai yang semula terbiasa menghadap pimpinan secara langsung kini menjadi tercukupkan hanya dengan melalui pesan singkat. Pergeseran nilai etika ini tentu saja harus segera dicari jalan keluarnya karena berpotensi menimbulkan perselisihan bahkan perpecahan dalam organisasi. Kendati demikian, di satu sisi perubahan pola kerja ini mau tidak mau harus dilalui karena tuntutan zaman. Di era teknologi informasi seluruh perangkat kerja birokrasi akan melakukan penyesuaian menggunakan teknologi digital yang membuat interaksi tatap muka bawahan dan pimpinan menjadi semakin jarang. Dampaknya, sakralitas pemimpin seperti saat sebelum penyederhanaan birokrasi perlahan-lahan akan semakin memudar.

Untuk menjembatani hal tersebut diperlukan adanya kegiatan yang dilakukan oleh stakeholder dalam rangka pemahaman etika dalam berorganisasi. Kegiatan ini sekiranya menjadi agenda wajib yang diikuti oleh seluruh pegawai. Dengan pemahaman etika berorganisasi diharapkan semua pegawai dapat menjalankan perannya sesuai dengan porsi masing-masing. Organisasi juga dapat berjalan dengan baik tanpa ada perselisihan akibat adanya perbedaan cara pandang.

Sumber Bacaan :

https://bkd.jabarprov.go.id/artikel/271-birokrasi-pasca-penyederhanaan-birokrasi-pemda-provinsi-jabar-kembangkan-mekanisme-kerja-baru-team-of-teams-tots

No comments: