Friday 22 April 2022

CANDU KEKUASAAN MEMPERKUAT HADIRNYA DINASTI POLITIKDI INDONESIA


Sandri J. Dotutinggi 
Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo

Kekuasaan untuk sebagian besar para penguasa dinegeri ini sudah menjadi candu yang memberikan kenikmatan sangat mendalam bagi penguasa tersebut untuk terus menjalankan kekuasaan sehingga akan dilakukan segalah cara agar dapat mempertahankan kekuasaan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Nicollo Machiavelli dalam bukunya yang berjudul II Principe (Sang Pangeran) buku yang didalamnya memuat tentang bagaimana cara mencapai,dan mempertahankan kekuasaan, Machiavelli berpendapat kekuasaan harus direbut dengan cara bagaimana pun tak peduli menggunakan trik paling kotor sekalipun.

Jika melihat realitas politik yang ada indonesia, argumentasi Hobbes tentang hasrat kekuasaan tampaknya masih sangat relevan. Setelah reformasi 1998, indonesia mulai mengadopsi sistem demokrasi yang terbuka bahkan cenderung liberal. Terbukannya ruang publik politis menjadi kesempatan bagi siapapun untuk berkontestasi untuk mendapatkan kekuasaan melalui pemilihan umum, kesempatan untuk mendapatkan posisi kekuasaan terbuka bagi siapapun baik tingkat lokal maupun nasional. Akan tetapi dalam memperebutkan posisi kekuasaan tersebut seringkali ditemukan strategi yang mencederai demokrasi salah satunya dinasti politik.

Dinasti politik merupakan implementasi kekuasaan yang mana anggota keluarga dari seorang pemimpin akan  mendapatkan posisi strategis dalam suatu struktur pemerintahan dengan demikian kekuasaan yang ada hanya terpusat dalam lingkup keluarganya saja. Jika diartikan secara umum dinasti politik adalah proses dimana regenerasi kekuasaan hanya diarahkan untuk kelompok atau golongan tertentu, dengan tujuan agar kekuasaan terus dipertahankan dalam suatu pemerintahan, sederhannya dinasti politik adalah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun temurun dijalankan oleh keluarga maupun kerabat dekat. Disisi lain dinasti politik juga merupakan strategi politik manusia yang ditujukan untuk memperoleh kekuasaan agar kekuasaan tersebut tetap ada dipihak aktor tersebut dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.

Sejatihnya memang tidak ada larangan bagi siapapun untuk turut ambil bagian dalam pertarungan politik serta berpartisipasi dalam pemilu karena yang akan menentukan kemenangan adalah rakyat, sehingga sah-sah saja ketika seseorang mencalonkan diri dalam perhelatan kontestasi perebutan kekuasaan. Akan tetapi tidak hanya melihat pada persoalan aspek legal prosedural tapi ada juga aspek lain yang perlu diperhatikan salah satunya aspek subtansial moral, hal ini terkait bagaimana jabatan publik tidak hanya melulu dikuasai oleh sekelompok orang,keluarga,maupun kerabat.jabatan publik sejatihnya memberikan  penekanan perlu adanya sirkulasi politik sehingga kekuasaan tersebut terus berotasi dan menciptkan iklim demokrasi sebagaimana mestinya. Dinasti politik harus diakui lahir dari candu kekuasaan dari penguasa jabatan publik untuk terus mempertahankan posisi kekuasaannya, bahkan otonomi yang bertujuan memeratakan pembangunan justru melahirkan raja-raja kecil yang memiliki hasrat untuk menjadikan kekuasaanya sebagai alat dalam memperkaya diri sendiri dan keluarganya.

Sebagai kesimpulan jika perebutan kekuasaan jabatan publik akan terus seperti ini maka menjadi hal lumrah manakala politik praktis diidentik dengan konspirasi, politik uang, konflik serta perilaku-perilaku korupsi, candu keuasaan yang telah melekat pada diri seorang penguasa akan terus memotivasi dirinya untuk melakukan segala cara demi mempertahakan kekuasaan terus ada dilingkungan dirinya dan keluarganya, dapat dilihat dari banyaknya kepala daerah yang membangun dinasti politik dan kemudian terjerat kasus korupsi, bentuk nyata dari dinasti politik sangat erat dengan penyelewengan kekuasaan.

Sumber Bacaan : Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah 

No comments: