Sandri J. Dotutinggi Studi S1 PPKn Universitas Negeri Gorontalo |
Kekuasaan
untuk sebagian besar para penguasa dinegeri ini sudah menjadi candu yang
memberikan kenikmatan sangat mendalam bagi penguasa tersebut untuk terus
menjalankan kekuasaan sehingga akan dilakukan segalah cara agar dapat
mempertahankan kekuasaan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Nicollo Machiavelli dalam bukunya yang
berjudul II Principe (Sang Pangeran) buku yang didalamnya memuat tentang
bagaimana cara mencapai,dan mempertahankan kekuasaan, Machiavelli berpendapat
kekuasaan harus direbut dengan cara bagaimana pun tak peduli menggunakan trik
paling kotor sekalipun.
Jika melihat realitas politik yang ada
indonesia, argumentasi Hobbes tentang hasrat kekuasaan tampaknya masih sangat
relevan. Setelah reformasi 1998, indonesia mulai mengadopsi sistem demokrasi
yang terbuka bahkan cenderung liberal. Terbukannya ruang publik politis menjadi
kesempatan bagi siapapun untuk berkontestasi untuk mendapatkan kekuasaan
melalui pemilihan umum, kesempatan untuk mendapatkan posisi kekuasaan terbuka
bagi siapapun baik tingkat lokal maupun nasional. Akan tetapi dalam
memperebutkan posisi kekuasaan tersebut seringkali ditemukan strategi yang
mencederai demokrasi salah satunya dinasti politik.
Dinasti
politik merupakan implementasi kekuasaan yang mana anggota keluarga dari
seorang pemimpin akan mendapatkan posisi
strategis dalam suatu struktur pemerintahan dengan demikian kekuasaan yang ada
hanya terpusat dalam lingkup keluarganya saja. Jika diartikan secara umum
dinasti politik adalah proses dimana regenerasi kekuasaan hanya diarahkan untuk
kelompok atau golongan tertentu, dengan tujuan agar kekuasaan terus
dipertahankan dalam suatu pemerintahan, sederhannya dinasti politik adalah rezim
kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun temurun
dijalankan oleh keluarga maupun kerabat dekat. Disisi lain dinasti politik juga
merupakan strategi politik manusia yang ditujukan untuk memperoleh kekuasaan
agar kekuasaan tersebut tetap ada dipihak aktor tersebut dengan cara mewariskan
kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang masih mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.
Sejatihnya memang tidak ada larangan bagi siapapun untuk turut ambil bagian dalam pertarungan politik serta berpartisipasi dalam pemilu karena yang akan menentukan kemenangan adalah rakyat, sehingga sah-sah saja ketika seseorang mencalonkan diri dalam perhelatan kontestasi perebutan kekuasaan. Akan tetapi tidak hanya melihat pada persoalan aspek legal prosedural tapi ada juga aspek lain yang perlu diperhatikan salah satunya aspek subtansial moral, hal ini terkait bagaimana jabatan publik tidak hanya melulu dikuasai oleh sekelompok orang,keluarga,maupun kerabat.jabatan publik sejatihnya memberikan penekanan perlu adanya sirkulasi politik sehingga kekuasaan tersebut terus berotasi dan menciptkan iklim demokrasi sebagaimana mestinya. Dinasti politik harus diakui lahir dari candu kekuasaan dari penguasa jabatan publik untuk terus mempertahankan posisi kekuasaannya, bahkan otonomi yang bertujuan memeratakan pembangunan justru melahirkan raja-raja kecil yang memiliki hasrat untuk menjadikan kekuasaanya sebagai alat dalam memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Sebagai
kesimpulan jika perebutan kekuasaan jabatan publik akan terus seperti ini maka
menjadi hal lumrah manakala politik praktis diidentik dengan konspirasi,
politik uang, konflik serta perilaku-perilaku korupsi, candu keuasaan yang
telah melekat pada diri seorang penguasa akan terus memotivasi dirinya untuk
melakukan segala cara demi mempertahakan kekuasaan terus ada dilingkungan
dirinya dan keluarganya, dapat dilihat dari banyaknya kepala daerah yang
membangun dinasti politik dan kemudian terjerat kasus korupsi, bentuk nyata
dari dinasti politik sangat erat dengan penyelewengan kekuasaan.
Sumber Bacaan : Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah
No comments:
Post a Comment