Audy
Anastasya Putri Hariyanto S1 Ilmu Pemerintahan Universitas Nahdatul Ulama |
BLT minyak goreng senilai Rp. 300.000 tidak akan menyelesaikan masalah utama. Cuma sebatas usaha untuk menghibur masyarakat. Realisasi BLT minyak goreng sudah banyak dilakukan terutama di kota Gorontalo walaupun masih belum merata secara keseluruhan hanya pada beberapa kecamatan,program dari pemerintah pusat ini dinilai sangat efektif sebagai bentuk menyelamatkan wajah pemerintah. Pemerintah memang sudah lama kehilangan muka di hadapan pelaku pasar dan masyarakat konsumen indonesia.terutama ketika dituntut untuk mengintervensi pasar.
Sebelum minyak goreng dan
minyak dunia,disambung soal BLT minyak goreng mempermainkan menteri perdagangan
dan pemerintah,harga tes pcr juga pernah mempermalukan istana Resiko
gagal intervensi memang tidak murah. Selain di permalukan,ada biaya yang harus dikeluarkan.
Bisa dari kocek negara,bisa pula disosor secara halus dari saku rakyat atau
konsumen.dengan kata lain jika pemerintah lepas tangan, otomatis kocek rakyat
yang jadi korban. Ambil contoh soal intervensi harga PCR beberapa waktu lalu
ketika itu,jokowi mengeluhkan harga tes PCR yang terlalu tinggi dan meminta
agar segera diturunkan.keluhan jokowi kemudian ditindaklanjuti oleh Kementrian
kesehatan dan instansi terkait,ternyata kurang mampu menekan harga secara signifikan.
Harga tes PCR yang sebelumnya berkisar Rp 300.000 hanya turun menjadi
Rp275.000.
Saat ini jika pemerintah mau
dan serius ingin menstabilisasi minyak goreng dan harga tes PCR sesuai harga Perekonomiannya, harganya sangat
berpeluang turun lebih dari itu, mengingat beberapa hasil Investigasi
jurnalistik telah membuktikan bahwa harga tes PCR bisa ditekan
sampai level Rp100.000-Rp150.000 Sayangnya pemerintah perintah bergeming
padahal,imbas negatif harga tes PCR itu cukup besar. Bayangkan saja pemegang
tiket pesawat Gorontalo-Jakarta dengan harga Rp1 juta misalnya.Harga test
PCR-nya mencapai 27,5 persen dari harga tiket pesawat. Jika harga tiketnya di
bawah satu juta, bisa dipastikan presentasi beban biaya Tes PCR jauh
lebih besar lagi.
biaya tambahan tersebut
sangat tidak produktif untuk masyarakat pengguna angkutan udara atau
kereta,meskipun menjadi sumber pendapatan lucrative bagi pelaku usaha tes PCR
dan sejenisnya. Akibat sikap pemerintah,terutama presiden,yang hanya mampu
mengeluh,sementara mata publik mulai beralih kepada beberapa pejabat pemerintah
yang ikut terlibat di dalam bisnis tes PCR di sisi lain,beban biaya tambahan tes
PCR mau tak mau harus ditanggung oleh konsumen moda transportasi. Ada
penambahan biaya Rp 275 ribu di setiap satu juta harga tiket pesawat atau
kereta. Padahal,sejatinya pemerinta mampu melakukan intervensi dengan efek
signifikan Pada ekosistem usaha tes PCR karena memiliki counter intuition untuk
menciptakan kebijakan parallel pricing (dual track pricing) yang sangat
berpeluang menekan harga tes PCR secara umum.
Pemerintah memiliki
jaringan rumah sakit negeri mulai dari pusat, provinsi, sampai pada kabupaten
dan kecamatan. ini bisa digunakan untuk menciptakan harga tes PCR baru
yang lebih rendah. Jika mau, pemerintah bisa mengintervensi dengan cara
menciptakan harga baru layanan tes PCR di lembaga-lembaga tersebut.permintaan
baru tes PCR akan akan terbentuk karena muncul harga yang lebih murah,yang
kemudian akan memaksa usaha-usaha PCR swasta untuk menyesuaikan harga agar
tidak akan ditinggalkan konsumen.sayangnya sedari dulu,pemerintah tidak identik
dengan upaya-upaya bergenre kerja keras semacam itu. Jadi sorry to say, nasib
harga PCR adalah nasib yang dialami oleh harga minyak goreng Karena dilandasi
logika yang sama.Pemerintah berusaha melakukan intervensi ketika harga minyak
goreng sudah menggila lewat subsidi, kemudian disambung BLT minyak goreng.
PEMDA (pemerintah
daerah) khususnya di Provinsi Gorontalo mengeluarkan kebijakan rem mendadak
dengan memaksakan harga satu kilogram minyak goreng kemasan premium menjadi
Rp14.000 rupiah dan minyak goreng curah menjadi Rp11.500 tapi tidak diikuti
optimalisasi pasar yang akan memastikan hasil intervensi bisa
bekerja secara maksimal.bahkan celakanya,pemerintah hanya bergantung pada
perusahaan retail nasional yang memiliki kapasitas distribusi terbatas.
Walhasil yang di pajang di minimarket-minimarket ketika itu hanya label harga
versi pemerintah tanpa ada barangnya.para penjaga minimarket berkilah stok
habis.Hanya segelintir konsumen minyak goreng yang berhasil menggondolnya
pulang,sementra mayoritas konsumenharus membayar di atas harga yang ditetapkan
pemerintah karena stok lama yang dibeli distributor atau peritel sebelum harga
dinyatakan turun.dan memang minyak goreng tersebut tidak di beli di gerai ritel
modern,tapi rerata didapatkan di kios-kios kecil di dekat kawasan-kawasan
pemukiman. Sekitar sebulan lebih darma minyak goreng berlangsung.
Bahkan saking hebohnya masalah ini
mampu mengalahkan serial drama Layangan putus. “sehingga membuat tante-tante pa
saya pe kompleks so jaga ba karlota akan pemerintah,gara-gara kenapa poli ini minyak
goreng so mahal”.ini pertanda ibu-ibu rumah tangga sudah mulai tidak percaya
terhadap pemerintahan, bahkan melebihi ketidak percayaan Kinan terhadap
suaminya Aris dalam serial film layangan putus. Menteri perdagangan berusaha
tampil heroik sepanjang rentang waktu kebijakan HET(Harga eceran tertinggi) diberlakukan.sudah
menyerupai drama karena begitu sulit ditebak arahnya.
Benar saja, jelang penghujung cerita, sang menteri yang sebelumnya
sesumbar dengan heroik dan sedikit arogan akan melakukan “ini itu”dan
akan”begini begitu” untuk untuk menormalisasi harga minyak goreng,justru
berubah menjadi pesakitan yang mengaku tak bertenaga lagi berhadapan dengan
mafia minyak.what? mafia minyak goreng? Ya, setidaknya demikian pertanyaan sang
menteri di hadapan para anggota DPR yang terhormat ketika itu. Negara kalah
oleh mafia bdan sampai sekarang mafia-mafia itu tidak pernah di bongkar.ya
sudahlah.terserah saja mau menuduh siapa atau apa.selama belum ada para
tertuduh yang di dakwah,selama itu pula para pemimpin Negara harus
menimbang-nimbang apakah sang mentri masih layak dipertahankan atau tidak.
Yang jelas,pengakuan tersebut menjadi sinyal
kuat bahwa kebijakan HET minyak goreng atau kebijakan
intervensi harga minyak goreng telah gagal.upaya pemerintah pusat
maupun didaerah,dengan segala arogansi dan sesumbar,untuk menstabilisasi harga
jual minyak goreng dan mengamankan pasokan,
berakhir dengan gaya politis, yakni kambing hitam. Isu mafia minyak goreng
dilemparkan ke dalam kuali politik
yang berisi minyak goreng mendidih,lalu digoreng di ruang publik sejadi-jadinya.
Dan hasilnya sampai hari ini, nihil, karena memang bukan itu perkara
utamanya.justru kegagalan pemerintahan membenahi ekosistem dan tata kelola minyak goreng nasional adalah penyebab
utamanya. Namun, lagi-lagi pemerintah menyikapi kegagalan intervensi dengan intervensi lainnya,yakni
BLT minyak goreng.
Kebijakan bergenre
Conditional Cash Transfer tersebut digadang-gadang menjadi senjata
baru untuk berhadapan dengan dengan harga
minyak goreng yang tak kunjung pulih. Masalahnya,selain berbagai penelitian
menunjukan bahwa Conditinal Cash Transfer tidak berkorelasi dengan peningkatan
taraf hidup masyarakat,yang terjadi adalah selalu tidak tepat sasaran.sudah
begitu sangat rentan dari aksi garong para koruptor. Masih ingat dana bansos yang di sosor mantan Mensos? BLT minyak
goreng justru bertentangan dengan jurus kambing hitam pemerintah tempo hari.
Jika memang ada mafia,yang dibongkar dan dihukum dulu.sampai
sekarang? Nihil. Bisa jadi, dana BLT minyak goreng untuk 20 jutaan masyarakat
plus 2,5 juta pedagang gorengan akan pindah di
saku mafia tersebut.
Namanya kan BLT
minyak goreng gunanya untuk mendistribusikan kelebihan bayar masyarakat atas harga
minyak goreng yang mahal dengan kata lain,BLT minyak goreng adalah jurus halus pemerintah untuk menyenangkan para mafia
minyak goreng yang digadang-gadang oleh menteri perdagangan sebagai biang kerok kenaikan harga dan
kelangkaan supply. Boleh jadi,sebagian besar masyarakat penerimaanya akan menganggap BLT sebagai berkah ramadhan.faktanya jauh
dari sebelum BLT minyak goreng daya beli masyarakat sudah tergerus beberapa
ribu perak dari setiap kilogram pembelian minyak goreng. Dan ketika daya beli
yang terkikis tersebut disubstitusi oleh pemerintah oleh BLT minyak goreng
(boleh jadi dipakai untuk konsumsi kebutuhan lainya oleh penerimanya) tidak berarti daya beli masyarakat atas minyak goreng pulih.
Memberi 3 bulan bahkan tak cukup
untuk mensubstitusi pengikisan daya beli
minyak goreng masyarakat yang berlangsung sejak beberapa bulan jelang akhir
2021 lalu. Apalagi untuk menghadapi pengikisan daya beli lebih lanjut dari
kemungkinan situasi normal baru minyak goreng di bulan-bulan
mendatang jika harganya tidak turun. Lantas mengapa memilih BLT atau Cash
Transfer selalu di pilih? Apakah pemerintah memang ingin menolong rakyat?
narasinya memang diarahkan demikian,namun
secara teori BLT (tiga bulan) akan akan menyelamatkan performa matematis perekonomian nasional kuartal satu dan dua tahun ini (mempertahankan data kontribusi konsumsi rumah tangga pada PDB),sebagai keberlanjutan performa ekonomi kuartal keempat
(akhir) tahun lalu.
Artinya, pemerintah utamanya ingin menyelamatkan mika saja,terutama di mata para anggota G20 dan para kreditor plus calon kreditor yang akan memegang surat utang pemerintah. tak lebih. Karena sesumbar bahwa uang Rp300.000 bisa memperbaiki daya beli masyarakat yang sudah berteriak-berteriak sejak dua tahun lalu karena kesulitan ekonomi,di saat utang negara menumpuk mendekati awan biru tanpa tahu uangnya kemana.tak banyak yang percaya. Ya, saya percaya bahwa masyarakat pastinya pesimis dengan angka BLT minyak goreng Rp300 ribu itu jika digunakan untuk keluar dari kesulitan ekonomi. namun, masyarakat akan sangat terhibur menerimanya,meskipun akan kembalikan lagi kepada, hmm, para mafia-mafia minyak goreng versi pemerintah tersebut. Siapa yang tak senang dijadikan mediator atau broker, toh. Mediator antara mafia minyak goreng versi pemerintah dengan BLT minyak goreng. Uangnya numpang lewat saja di rekening masyarakat. Ibarat bahasa surat resmi yang berbunyi: “Dear Mafia minyak goreng. Bersama surat ini saya titipkan BLT minyak goreng melalui perantara 20 jutaan masyarakat dan 2,5 juta tukang gorengan,yang akan membeli minyak dengan tambahan biaya dari BLT di harga di harga versi “ayank mafia.”
Sumber Bacaan :
https://www.beritasatu.com/kesehatan/845281/jokowi-turunkan-harga-tes-pcr-jadi-rp-300000
https://www.suara.com/partner/content/gopos/2022/02/15/130751/minyak-goreng-langka-di-gorontalo
1 comment:
🙏🏻🙌🏻
Post a Comment