Dita lasiami Mahasiswa S1 PPKn UNG |
Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengubah sistem Pemilu
legislatif dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional
terbuka, menjadi titik balik pola rekruitmen di panggung politik Indonesia.
Dalam sistem proporsional terbuka, tidak lagi melihat kapabilitas figur calon
legislatif. Asal mendapat suara terbanyak, maka dia lah yang sah menduduki
kursi wakil rakyat. Selain partai yang sudah menyaring (seleksi) calon, maka
strategi kampanye dari calon legislator yang sangat menentukan apa akan
terpilih atau tidak. Sistem ini menjadikan pertarungan (kompetisi) antar calon
legislator dalam satu wadah partai menjadi sangat terbuka.
Persaingan
inilah yang kemudian memicu calon legislator mengerahkan segala daya dan
upayanya untuk memenangkan kursi wakil rakyat. Termasuk di dalamnya dengan
menghalalkan segala cara. Pengalaman dua kali pemilu, pada 2009 dan 2014 yang
baru saja berlalu, kompetisi para calon legislator lebih banyak dimenangkan
oleh mereka yang memiliki modal (kantong) tebal. Sementara mereka yang
berkantong tipis, bukannya tidak ada, tapi sangat jarang yang bisa memenangkan
pemilu legislatif. Selain modal dana yang cukup, seorang calon legislator tetap
harus memiliki modal sosial yang memadai. Kalaupun modal sosialnya kecil,
dengan dana yang cukup, dalam waktu yang singkat dapat dipoles menjadi seolah-olah bermodal sosial
yang banyak.
Seringkali
ditemui, tiba-tiba saja ada orang yang terlihat begitu dermawan, peduli
terhadap sesama, menyumbang tempat ibadah, menyantuni fakir miskin, yatim
piatu, membantu orang sakit, menjenguk orang sakit, dan lain sebagainya. Bahkan
yang tidak pernah kita bayangkan, ada yang membangun jalan, jembatan, lapangan
olahraga dan fasilitas umum lainnya dengan dana pribadi. Belum lagi biaya yang harus di keluarkan untuk
mencetak atribut dan bahan sosialisasi dirinya, seperti untuk pembuatan poster,
kaos, spanduk, banner dan lain-lain yang tidak bisa dibilang sedikit. Selain
itu untuk biaya koordinasi tim pemenangan dan akomodasi pertemuan dengan warga
juga memakan biaya yang tidak kecil.
Namun di sisi lain sistem
pemilu dengan proporsional tertutup sebagaimana pengalaman pemilu di Indonesia,
yang lebih menekankan pada aspek otoritas partai politik juga tidak sepenuhnya
dapat menjawab problem legislator selama ini. Mendasarkan pada evaluasi kedua
sistem pemilu tersebut, pemerintah saat ini sedang mengajukan RUU pemilu dengan
sistem proporsional terbuka terbatas. Dengan sistem ini, pemerintah mengandaikan
pemilih diberi kebebasan untuk memilih wakilnya dengan batasan tertentu dalam
bilangan pembagi, di sisi lain partai politik memiliki otoritas untuk
memprioritaskan kader-kader terbaiknya. Bahasan sistem pemilu dalan RUU ini
akan menjadi pokok bahasan krusial bagi semua partai politik.
Masing-masing sistem
pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan, namun ada dua hal substansial yang
bisa menjadi catatan untuk perbaikan demokrasi di Indonesia. Pertama; sistem
pemilu dengan daftar proporsional terbuka mensyaratkan adanya pemilih yang
rasional. Kedua, kita belum memiliki sistem kepartaian yang matang karena
partai politik dalam menyusun daftar legislatornya masih mengedepankan
oligarki-feodal, nepotis dan transaksional. Pada situasi ini akan sulit untuk
menghasilkan legislator yang berkualitas. Namun tidak ada pilihan lain bagi
partai politik untuk bersikap pragmatis dalam menghadapi pemilih yang tidak
rasional. Pada posisi ini, baik partai politik maupun pemilih memiliki
kontribusi yang sama dalam memahalkan ongkos politik. Tentu kondisi ini tidak
ideal. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk keluar dari situasi di atas?
Mengharapkan pemilih menjadi rasional tentu butuh waktu yang panjang, ini
asumsi dengan pendekatan bottom up, begitu juga memimpikan partai yang matang
juga membutuhkan waktu yang lama. Karena itu pendekatan rasional yang bisa
dilakukan.
Sebagai kesimpulan Langkah
adalah top down, yaitu bagaimana memaksa partai politik untuk melakukan
perbaikan di internal mereka untuk bisa menyodorkan calon legislator yang
berkualitas. Partai politik semestinya memiliki standarisasi yang ketat dalam
rekruitmen kader. Standarisasi yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik,
meliputi kompetensi, integritas dan kinerja kadernya. Pada posisi ini
Undang-Undang Partai Politik kita belum sepenuhnya mewadahi kebutuhan partai
politik yang ideal dan terstandarisasi. Oleh karenanya, agenda mendesak
berikutnya adalah mendorong adanya UU Partai Politik yang dapat mewadahi proses
rekrutmen politik berkualitas di dalam internal partai politik. Pemilu 2019
akan tetap digelar. Menggunakan sistem pemilu apapun, tampaknya ongkos politik
mahal tidak bisa dihindari. Namun kalau partai politik sejak dini tidak
melakukan rekrutmen yang berkualitas, tentu ini menjadi langkah mundur. Perlu
ada kesadaran yang mendasar bagi pemilih, partai politik dan legislatornya,
bahwa praktik jual beli suara dalam pemilu adalah perbuatan yang merendahkan
martabat, hina dan menyebabkan hilangnya makna demokrasi.
Sumber Bacaan: Hendro T. Subiyantoro, S.E., M.M. Artikel
Opini Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Prov. Jawa Timur
No comments:
Post a Comment