Thursday 21 April 2022

PEMILU DAN PILKADA : MODAL CALEG MEMANG MAHAL

 


Dita lasiami
Mahasiswa S1 PPKn UNG

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD mengubah sistem Pemilu legislatif dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka, menjadi titik balik pola rekruitmen di panggung politik Indonesia. Dalam sistem proporsional terbuka, tidak lagi melihat kapabilitas figur calon legislatif. Asal mendapat suara terbanyak, maka dia lah yang sah menduduki kursi wakil rakyat. Selain partai yang sudah menyaring (seleksi) calon, maka strategi kampanye dari calon legislator yang sangat menentukan apa akan terpilih atau tidak. Sistem ini menjadikan pertarungan (kompetisi) antar calon legislator dalam satu wadah partai menjadi sangat terbuka.

Persaingan inilah yang kemudian memicu calon legislator mengerahkan segala daya dan upayanya untuk memenangkan kursi wakil rakyat. Termasuk di dalamnya dengan menghalalkan segala cara. Pengalaman dua kali pemilu, pada 2009 dan 2014 yang baru saja berlalu, kompetisi para calon legislator lebih banyak dimenangkan oleh mereka yang memiliki modal (kantong) tebal. Sementara mereka yang berkantong tipis, bukannya tidak ada, tapi sangat jarang yang bisa memenangkan pemilu legislatif. Selain modal dana yang cukup, seorang calon legislator tetap harus memiliki modal sosial yang memadai. Kalaupun modal sosialnya kecil, dengan dana yang cukup, dalam waktu yang singkat dapat  dipoles menjadi seolah-olah bermodal sosial yang banyak.

Seringkali ditemui, tiba-tiba saja ada orang yang terlihat begitu dermawan, peduli terhadap sesama, menyumbang tempat ibadah, menyantuni fakir miskin, yatim piatu, membantu orang sakit, menjenguk orang sakit, dan lain sebagainya. Bahkan yang tidak pernah kita bayangkan, ada yang membangun jalan, jembatan, lapangan olahraga dan fasilitas umum lainnya dengan dana pribadi.  Belum lagi biaya yang harus di keluarkan untuk mencetak atribut dan bahan sosialisasi dirinya, seperti untuk pembuatan poster, kaos, spanduk, banner dan lain-lain yang tidak bisa dibilang sedikit. Selain itu untuk biaya koordinasi tim pemenangan dan akomodasi pertemuan dengan warga juga memakan biaya yang tidak kecil.

Namun di sisi lain sistem pemilu dengan proporsional tertutup sebagaimana pengalaman pemilu di Indonesia, yang lebih menekankan pada aspek otoritas partai politik juga tidak sepenuhnya dapat menjawab problem legislator selama ini. Mendasarkan pada evaluasi kedua sistem pemilu tersebut, pemerintah saat ini sedang mengajukan RUU pemilu dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Dengan sistem ini, pemerintah mengandaikan pemilih diberi kebebasan untuk memilih wakilnya dengan batasan tertentu dalam bilangan pembagi, di sisi lain partai politik memiliki otoritas untuk memprioritaskan kader-kader terbaiknya. Bahasan sistem pemilu dalan RUU ini akan menjadi pokok bahasan krusial bagi semua partai politik.

Masing-masing sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan, namun ada dua hal substansial yang bisa menjadi catatan untuk perbaikan demokrasi di Indonesia. Pertama; sistem pemilu dengan daftar proporsional terbuka mensyaratkan adanya pemilih yang rasional. Kedua, kita belum memiliki sistem kepartaian yang matang karena partai politik dalam menyusun daftar legislatornya masih mengedepankan oligarki-feodal, nepotis dan transaksional. Pada situasi ini akan sulit untuk menghasilkan legislator yang berkualitas. Namun tidak ada pilihan lain bagi partai politik untuk bersikap pragmatis dalam menghadapi pemilih yang tidak rasional. Pada posisi ini, baik partai politik maupun pemilih memiliki kontribusi yang sama dalam memahalkan ongkos politik. Tentu kondisi ini tidak ideal. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk keluar dari situasi di atas? Mengharapkan pemilih menjadi rasional tentu butuh waktu yang panjang, ini asumsi dengan pendekatan bottom up, begitu juga memimpikan partai yang matang juga membutuhkan waktu yang lama. Karena itu pendekatan rasional yang bisa dilakukan.

Sebagai kesimpulan Langkah adalah top down, yaitu bagaimana memaksa partai politik untuk melakukan perbaikan di internal mereka untuk bisa menyodorkan calon legislator yang berkualitas. Partai politik semestinya memiliki standarisasi yang ketat dalam rekruitmen kader. Standarisasi yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, meliputi kompetensi, integritas dan kinerja kadernya. Pada posisi ini Undang-Undang Partai Politik kita belum sepenuhnya mewadahi kebutuhan partai politik yang ideal dan terstandarisasi. Oleh karenanya, agenda mendesak berikutnya adalah mendorong adanya UU Partai Politik yang dapat mewadahi proses rekrutmen politik berkualitas di dalam internal partai politik. Pemilu 2019 akan tetap digelar. Menggunakan sistem pemilu apapun, tampaknya ongkos politik mahal tidak bisa dihindari. Namun kalau partai politik sejak dini tidak melakukan rekrutmen yang berkualitas, tentu ini menjadi langkah mundur. Perlu ada kesadaran yang mendasar bagi pemilih, partai politik dan legislatornya, bahwa praktik jual beli suara dalam pemilu adalah perbuatan yang merendahkan martabat, hina dan menyebabkan hilangnya makna demokrasi.

Sumber Bacaan:  Hendro T. Subiyantoro, S.E., M.M. Artikel Opini Wakil Ketua DPD Partai Gerindra Prov. Jawa Timur

No comments: