Thursday 21 April 2022

BLT MINYAK GORENG BUKAN SOLUSI

 

Audy Anastasya Putri Hariyanto
S1 Ilmu Pemerintahan Universitas Nahdatul Ulama

           BLT minyak goreng senilai Rp. 300.000 tidak akan menyelesaikan masalah utama. Cuma sebatas usaha untuk menghibur masyarakat. Realisasi BLT minyak goreng sudah banyak dilakukan terutama di kota Gorontalo walaupun masih belum merata secara keseluruhan hanya pada beberapa kecamatan,program dari pemerintah pusat ini dinilai sangat efektif  sebagai bentuk menyelamatkan wajah pemerintah. Pemerintah memang sudah lama kehilangan muka di hadapan pelaku pasar dan masyarakat konsumen indonesia.terutama ketika dituntut untuk mengintervensi pasar. 

        Sebelum minyak goreng dan minyak dunia,disambung soal BLT minyak goreng mempermainkan menteri perdagangan dan pemerintah,harga tes  pcr juga pernah mempermalukan istana Resiko gagal intervensi memang tidak murah. Selain di permalukan,ada biaya yang harus dikeluarkan. Bisa dari kocek negara,bisa pula disosor secara halus dari saku rakyat atau konsumen.dengan kata lain jika pemerintah lepas tangan, otomatis kocek rakyat yang jadi korban. Ambil contoh soal intervensi harga PCR beberapa waktu lalu ketika itu,jokowi mengeluhkan harga tes PCR yang terlalu tinggi dan meminta agar segera diturunkan.keluhan jokowi kemudian ditindaklanjuti oleh Kementrian kesehatan dan instansi terkait,ternyata kurang mampu menekan harga secara signifikan. Harga tes PCR yang sebelumnya berkisar Rp 300.000 hanya turun menjadi Rp275.000.

        Saat ini jika pemerintah mau dan serius ingin menstabilisasi minyak goreng dan harga tes PCR sesuai harga Perekonomiannya, harganya sangat berpeluang turun lebih dari itu, mengingat beberapa hasil Investigasi jurnalistik telah membuktikan bahwa  harga tes PCR bisa ditekan sampai level Rp100.000-Rp150.000 Sayangnya pemerintah perintah bergeming padahal,imbas negatif harga tes PCR itu cukup besar. Bayangkan saja pemegang tiket pesawat Gorontalo-Jakarta dengan harga Rp1 juta misalnya.Harga test PCR-nya mencapai 27,5 persen dari harga tiket pesawat. Jika harga tiketnya di bawah satu juta, bisa dipastikan presentasi beban biaya Tes PCR  jauh lebih besar lagi.

        biaya tambahan tersebut sangat tidak produktif untuk masyarakat pengguna angkutan udara atau kereta,meskipun menjadi sumber pendapatan lucrative bagi pelaku usaha tes PCR dan sejenisnya. Akibat sikap pemerintah,terutama presiden,yang hanya mampu mengeluh,sementara mata publik mulai beralih kepada beberapa pejabat pemerintah yang ikut terlibat di dalam bisnis tes PCR di sisi lain,beban biaya tambahan tes PCR mau tak mau harus ditanggung oleh konsumen moda transportasi. Ada penambahan biaya Rp 275 ribu di setiap satu juta harga tiket pesawat atau kereta. Padahal,sejatinya pemerinta mampu melakukan intervensi dengan efek signifikan Pada ekosistem usaha tes PCR karena memiliki counter intuition untuk menciptakan kebijakan parallel pricing (dual track pricing) yang sangat berpeluang menekan harga tes PCR secara umum.

        Pemerintah memiliki jaringan rumah sakit negeri mulai dari pusat, provinsi, sampai pada kabupaten dan kecamatan. ini bisa digunakan untuk menciptakan harga tes PCR baru yang lebih rendah. Jika mau, pemerintah bisa mengintervensi dengan cara menciptakan harga baru layanan tes PCR di lembaga-lembaga tersebut.permintaan baru tes PCR akan akan terbentuk karena muncul harga yang lebih murah,yang kemudian akan memaksa usaha-usaha PCR swasta untuk menyesuaikan harga agar tidak akan ditinggalkan konsumen.sayangnya sedari dulu,pemerintah tidak identik dengan upaya-upaya bergenre kerja keras semacam itu. Jadi sorry to say, nasib harga PCR adalah nasib yang dialami oleh harga minyak goreng Karena dilandasi logika yang sama.Pemerintah berusaha melakukan intervensi ketika harga minyak goreng sudah menggila lewat subsidi, kemudian disambung BLT minyak goreng.

         PEMDA (pemerintah daerah) khususnya di Provinsi Gorontalo mengeluarkan kebijakan rem mendadak dengan memaksakan harga satu kilogram minyak goreng kemasan premium menjadi Rp14.000 rupiah dan minyak goreng curah menjadi Rp11.500 tapi tidak diikuti optimalisasi pasar yang akan  memastikan hasil intervensi bisa bekerja secara maksimal.bahkan celakanya,pemerintah hanya bergantung pada perusahaan retail nasional yang memiliki kapasitas distribusi terbatas. Walhasil yang di pajang di minimarket-minimarket ketika itu hanya label harga versi pemerintah tanpa ada barangnya.para penjaga minimarket berkilah stok habis.Hanya segelintir konsumen minyak goreng yang berhasil menggondolnya pulang,sementra mayoritas konsumenharus membayar di atas harga yang ditetapkan pemerintah karena stok lama yang dibeli distributor atau peritel sebelum harga dinyatakan turun.dan memang minyak goreng tersebut tidak di beli di gerai ritel modern,tapi rerata didapatkan di kios-kios kecil di dekat kawasan-kawasan pemukiman. Sekitar sebulan lebih darma minyak goreng  berlangsung.

       Bahkan saking hebohnya masalah ini mampu mengalahkan serial drama Layangan putus. “sehingga membuat tante-tante pa saya pe kompleks so jaga ba karlota akan pemerintah,gara-gara kenapa poli ini minyak goreng so mahal”.ini pertanda ibu-ibu rumah tangga sudah mulai tidak percaya terhadap pemerintahan, bahkan melebihi ketidak percayaan Kinan terhadap suaminya Aris dalam serial film layangan putus. Menteri perdagangan berusaha tampil heroik sepanjang rentang waktu kebijakan HET(Harga eceran tertinggi) diberlakukan.sudah menyerupai drama  karena begitu sulit ditebak arahnya. 

             Benar saja, jelang penghujung cerita, sang menteri yang sebelumnya sesumbar dengan heroik dan sedikit arogan akan melakukan “ini itu”dan akan”begini begitu” untuk untuk menormalisasi harga minyak goreng,justru berubah menjadi pesakitan yang mengaku tak bertenaga lagi berhadapan dengan mafia minyak.what? mafia minyak goreng? Ya, setidaknya demikian pertanyaan sang menteri di hadapan para anggota DPR yang terhormat ketika itu. Negara kalah oleh mafia bdan sampai sekarang mafia-mafia itu tidak pernah di bongkar.ya sudahlah.terserah saja mau menuduh siapa atau apa.selama belum ada para tertuduh yang di dakwah,selama itu pula para pemimpin Negara harus menimbang-nimbang apakah sang mentri masih layak dipertahankan atau tidak.

         Yang jelas,pengakuan tersebut menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan HET minyak goreng atau kebijakan intervensi  harga minyak goreng telah gagal.upaya pemerintah pusat maupun didaerah,dengan segala arogansi dan sesumbar,untuk menstabilisasi harga jual minyak goreng dan mengamankan pasokan, berakhir dengan gaya politis, yakni kambing hitam. Isu mafia minyak goreng dilemparkan  ke dalam kuali politik yang berisi minyak goreng mendidih,lalu digoreng di ruang publik sejadi-jadinya. Dan hasilnya sampai hari ini, nihil, karena memang bukan itu perkara utamanya.justru kegagalan pemerintahan membenahi ekosistem dan tata kelola minyak goreng nasional adalah penyebab utamanya. Namun, lagi-lagi pemerintah menyikapi kegagalan intervensi dengan intervensi lainnya,yakni BLT minyak goreng.

             Kebijakan bergenre Conditional Cash Transfer tersebut digadang-gadang menjadi senjata baru untuk berhadapan dengan dengan harga minyak goreng yang tak kunjung pulih. Masalahnya,selain berbagai penelitian menunjukan bahwa Conditinal Cash Transfer tidak berkorelasi dengan peningkatan taraf hidup masyarakat,yang terjadi adalah selalu tidak tepat sasaran.sudah begitu sangat rentan dari aksi garong para koruptor. Masih ingat dana bansos yang di sosor mantan Mensos? BLT minyak goreng justru bertentangan dengan jurus kambing hitam pemerintah tempo hari. Jika memang ada mafia,yang dibongkar dan dihukum dulu.sampai sekarang? Nihil. Bisa jadi, dana BLT minyak goreng untuk 20 jutaan masyarakat plus 2,5 juta pedagang gorengan akan pindah di saku mafia tersebut.

              Namanya kan BLT minyak goreng gunanya untuk mendistribusikan kelebihan bayar masyarakat atas harga minyak goreng yang mahal dengan kata lain,BLT minyak goreng adalah jurus halus pemerintah untuk menyenangkan para mafia minyak goreng yang digadang-gadang oleh menteri perdagangan sebagai biang kerok kenaikan harga dan kelangkaan supply. Boleh jadi,sebagian besar masyarakat penerimaanya akan menganggap BLT sebagai berkah ramadhan.faktanya jauh dari sebelum BLT minyak goreng daya beli masyarakat sudah tergerus beberapa ribu perak dari setiap kilogram pembelian minyak goreng. Dan ketika daya beli yang terkikis tersebut disubstitusi oleh pemerintah oleh BLT minyak goreng (boleh jadi dipakai untuk konsumsi kebutuhan lainya oleh penerimanya) tidak berarti daya beli masyarakat atas minyak goreng pulih. 

            Memberi 3 bulan bahkan tak cukup untuk mensubstitusi pengikisan daya beli minyak goreng masyarakat yang berlangsung sejak beberapa bulan jelang akhir 2021 lalu. Apalagi untuk menghadapi pengikisan daya beli lebih lanjut dari kemungkinan situasi normal baru  minyak goreng di bulan-bulan mendatang jika harganya tidak turun. Lantas mengapa memilih BLT atau Cash Transfer selalu di pilih? Apakah pemerintah memang ingin menolong rakyat? narasinya memang diarahkan demikian,namun secara teori BLT (tiga bulan) akan akan menyelamatkan performa matematis perekonomian nasional kuartal satu dan dua tahun ini (mempertahankan data kontribusi konsumsi rumah tangga  pada PDB),sebagai keberlanjutan performa ekonomi kuartal keempat (akhir) tahun lalu. 

            Artinya, pemerintah utamanya ingin menyelamatkan mika saja,terutama di mata para anggota G20 dan para kreditor plus calon kreditor yang akan memegang surat utang pemerintah. tak lebih. Karena sesumbar bahwa uang Rp300.000 bisa memperbaiki daya beli masyarakat yang sudah berteriak-berteriak sejak dua tahun lalu karena kesulitan ekonomi,di saat utang negara menumpuk mendekati awan biru tanpa tahu uangnya kemana.tak banyak yang percaya. Ya, saya percaya bahwa masyarakat pastinya pesimis dengan angka BLT minyak goreng Rp300 ribu itu jika digunakan untuk keluar dari kesulitan ekonomi. namun, masyarakat akan sangat terhibur menerimanya,meskipun akan kembalikan lagi kepada, hmm, para mafia-mafia minyak goreng versi pemerintah tersebut. Siapa yang tak senang dijadikan  mediator atau broker, toh. Mediator antara mafia minyak goreng versi pemerintah dengan BLT minyak goreng. Uangnya numpang lewat saja di rekening masyarakat. Ibarat bahasa surat resmi yang berbunyi: “Dear Mafia minyak goreng. Bersama surat ini saya titipkan BLT minyak goreng melalui perantara 20 jutaan masyarakat dan 2,5 juta tukang gorengan,yang akan membeli minyak dengan tambahan biaya dari BLT di harga di harga versi “ayank mafia.” 

Sumber Bacaan : 

https://www.timesindonesia.co.id/read/news/406036/wali-kota-gorontalo-berharap-blt-minyak-goreng-bisa-meringankan-beban-warga

https://lifestyle.bisnis.com/read/20210816/106/1430131/epidemiolog-ui-harga-tes-pcr-bisa-ditekan-hingga-rp150-ribu-antigen-rp70-ribu

https://www.beritasatu.com/kesehatan/845281/jokowi-turunkan-harga-tes-pcr-jadi-rp-300000

https://www.suara.com/partner/content/gopos/2022/02/15/130751/minyak-goreng-langka-di-gorontalo






1 comment:

Audyaph said...

🙏🏻🙌🏻